Seabad Perjuangan Wanita di Panggung Politik
Oleh A Fatih Syuhud
Bali Post, Senin Wage, 24 Nopember 2003
BULAN Oktober seratus tahun yang lalu, sekelompok wanita di Inggris melancarkan kampanye menuntut diberikannya hak pilih bagi wanita. Perjuangan itu dipimpin oleh Emmeline Pankhurst dan Women Social and Political Union (WSPU) serta putrinya, Christabel, pada Oktober 1903. Perjuangan mereka akhirnya berhasil menelorkan Equal Franchise Act yang disahkan pada 2 Juli 1928, 25 tahun kemudian dan hanya beberapa minggu sebelum Emmeline meninggal dunia.
WSPU menggunakan cara non-kekerasan dan kekerasan untuk mencapai perjuangan mereka. Kelompok pejuang wanita itu kemudian ditahan. Mereka terus melakukan mogok makan. Pada saat tertentu, Emmeline ditahan hampir setiap bulan dalam setahun. Tetapi pada akhir usaha mereka, kelompok wanita ini berhasil mendapatkan hak pilihnya. Memang, kalangan suffragist (kebalikan dari aliran suffragett yang dianut Emmeline) memperjuangkan hal yang sama dengan menggunakan cara yang lebih halus. Saat ini, Fawcett Society, yang dibentuk oleh Millicent Fawcett, masih eksis dan terus berjuang untuk mendapatkan quota representasi wanita yang lebih besar dalam politik Inggris. Mereka berpendapat ada empat C yang mencegah wanita dari berpartisipasi secara lebih luas dalam dunia Politik, yaitu Culture (budaya), Childcare (pemeliharaan anak), Cash (dana) dan Confidence (kepercayaan diri).
Di era kontemporer saat ini, ide dan pemikiran bahwa wanita merupakan makhluk yang lebih rendah dibanding lelaki dan karenanya tidak pantas untuk memilih dan dipilih, tampak aneh dan lucu. Namun, ide itu eksis dan terjadi baru seratus tahun lalu, di salah satu bangsa yang dianggap lebih “maju” peradabannya.
Dewasa ini, kaum wanita sudah menganggap lumrah terhadap banyak hal. Di negeri ini, wanita tidak perlu lagi berjuang untuk mendapatkan hak pilihnya. Persamaan hak politik dijamin dalam Konstitusi UUD ’45. Kendati penghalang legal atas persamaan wanita dan lelaki sudah tidak ada, kita tahu bahwa rintangan mental masih eksis. Jauh di dalam psikis kaum lelaki, kaum wanita masih dianggap sebagai agak inferior dalam banyak segi: dari perspektif gender, ketidakmampuan dalam menggunakan rasionalitas, dalam berpartisipasi di berbagai proses politik dan ekonomi sebagai manusia dewasa. Tidak ada yang akan mengatakan hal ini secara terbuka karena akan dianggap blunder secara politis. Tetapi kalau kita tengok di bawah permukaan, pancinglah kaum lelaki dalam soal ini ketika mereka lagi kurang waspada, maka sikap asli mereka akan tampak.
Kontroversi tentang sah tidaknya Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI pada pemilu 1999 yang diluncurkan oleh sejumlah parpol, menguatkan sinyalemen ini.
Hal-hal lain yang memperkuat asumsi ini terbukti dalam debat berkepanjangan di DPR tentang quota kursi bagi wanita di DPR. Kita tetap memakai alasan yang sama. Apa hukum yang mendasari? Formula apa yang akan dipakai? Apakah sepertiga, seperempat, separuh atau tidak sama sekali? Setelah ritual diskusi, debat, dan polemik yang berkepanjangan di berbagai media, hasilnya tetap sama. Sikap kita tetap tidak berbeda dengan seratus tahun lalu.
Isu Sulit
“Perbuatan bukan perkataan” adalah motto kaum wanita yang memperjuangkan hak pilih mereka di Inggris. Emmeline Pankhurst adalah seorang wanita yang mengesankan, hidup dan perjuangannya bergaung sampai detik ini. Dia menikah dengan Richard Pankhurst, seorang pengacara di Manchester yang memprakarsai rancangan undang-undang hak pilih wanita pertama. Ia juga memformulasikan Married Women’s Property Act tahun 1870 dan 1882 yang membolehkan wanita untuk memiliki harta hasil keringat sendiri dan juga benda-benda yang mereka beli sendiri sebelum atau sesudah perkawinan.
Berbagi kekuasaan politik dengan wanita masih tetap menjadi isu yang sulit, termasuk di negeri semacam Inggris, tempat kelahiran gerakan suffragett (hak pilih). Ketika lebih dari 100 wanita terpilih di Parlemen Inggris pada 1997, yang mengantar kemenangan Partai Buruh pimpinan Tony Blair, media langsung merendahkan wanita-wanita ini dengan menyebut mereka sebagai “Blair’s Babes”. Implikasi di balik deskripsi itu adalah bahwa wanita-wanita tersebut menjadi anggota parlemen karena jasa dari pendekar politik mereka (baca, Tony Blair) dan bukan karena kemampuan mereka sendiri.
Wanita juga terpilih dalam jumlah besar di Wales dan Skotlandia pada 1999. Tetapi mereka tidak mendapatkan perlakuan yang merendahkan seperti dalam kasus wanita di Westminster. Baik di Wales maupun Skotlandia, wanita malah mengalahkan jumlah anggota parlemen laki-laki. Setelah pemilu 2003, parlemen Welsh menjadi yang pertama di dunia di mana wanita sama jumlahnya dengan laki-laki di parlemen. Tetapi di Westminster jumlah anggota parlemen wanita menurun pada pemilu 2001 dan Partai Buruh, yang berperan sangat signifikan dalam menambah jumlah wanita di Parlemen, hanya berhasil mendapatkan 95 kursi bagi anggota parlemen wanita, dibanding 100 kursi lebih pada pemilu sebelumnya.
Jumlah ini mungkin tampak kurang signifikan tetapi dengan adanya fakta bahwa wanita bekerja keras untuk menambah jumlah mereka untuk mencapai 18 persen di parlemen, hilangnya satu kursi sekalipun menjadi penting. Secara historis antara tahun 1918, ketika wanita pertama terpilih menduduki kursi parlemen Inggris sampai tahun 2001, hanya 173 wanita yang pernah terpilih.
Apakah dari paparan di atas kita dapat berkesimpulan bahwa pembagian kekuasaan (power-sharing) antara lelaki dan wanita dapat diterima sepanjang tidak berisiko tinggi?
Menarik untuk dicatat bagaimana kasus sejumlah kecil politisi wanita, khususnya yang pernah terlibat skandal korupsi, secara konstan dimunculkan sebagai alasan untuk tidak memberikan konsesi khusus pada wanita. Tetapi perjuangan kalangan gerakan suffraget bukanlah menuntut keistimewaan khusus. Yang mereka inginkan adalah kesamaan hak sebagaimana yang dimiliki lelaki. Senada dengan ini, adanya tuntutan bahwa semakin banyak wanita yang memasuki lembaga parlemen bukanlah berdasarkan asumsi bahwa wanita memiliki hak-hak khusus atau bahwa mereka akan menjadi pemimpin yang lebih baik (kendati terkadang itulah yang terjadi). Tetapi bahwa mereka memiliki hak yang sama untuk berada di sana sebagaimana juga lelaki.
Dalam medan permainan yang tidak sejajar, membantu mereka untuk mendapatkan kursi dewan melalui quota atau cara lain adalah perlu dan hendaknya tidak dilihat sebagai perlakuan khusus. Sayangnya, ketika emosi irasional terlibat, maka argumen rasional biasanya tidak akan jalan. Dalam bidang partisipasi wanita dalam dunia politik, rasionalitas selalu menjadi korban pertama.
Penulis, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Agra University, India