Santri, Integritas Kepribadian dan Kepemimpinann
Santri, Integritas Kepribadian dan Kepemimpinann
Oleh: Imdad Robbani Zuhri
Melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, apapun latarbelakang sosialnya, kini, telah menjadi sejenis keharusan. Entah bagaimana, hal ini seolah-olah menjadi suatu hal yang begitu tak terhindarkan. Dalam beberapa kasus, melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, berarti usaha penjaminan masa depan setidaknya dari dua segi, finansial dan sosial. Yang pertama, berarti bahwa dengan memasuki perguruan tinggi – khususnya yang bersifat keahlian – seseorang akan diharapkan untuk memiliki keahlian yang akan menjamin masa depannya kelak. Dari segi sosial, menjadi seorang mahasiswa memiliki dampak yang tidak sedikit bagi masyarakat kita, karena, entah bagaimana, ia dianggap sebagai orang terdidik yang memiliki “kelas tersendiri” di tengah masyarakat.
Bagi seorang santri, seseorang yang diharapkan memiliki kesadaran beragama lebih baik daripada masyarakat awam, kuliah seharusnya berarti bertambah luasnya cakrawala berpikir. Pada masa kuliah, dia dituntut untuk lebih bisa memutuskan lebih banyak hal menurut pertimbangannya sendiri. Belajar mengambil keputusan sendiri dan membuat pilihan yang baik itulah salah satu pelajaran yang bisa seorang santri petik ketika belajar di perguruan tinggi, setelah sebelumnya dia dibentuk sedemikian rupa dalam pesantren. Pembentukan seorang santri, untuk menyebutkan demikian, alam pesantren tentulah berorientasi untuk membentuk santri beragama yang memiliki komitmen ilmiah dan amaliah terhadap ajaran agamanya. Tentu saja komitmen ilmiah ini tergantung kepada pilihan studi santri yang bersangkutan.
Hanya saja, kenyataan tidaklah selalu berbanding lurus dengan harapan yang ditetapkan. Santri di perguruan tinggi, perguruan tinggi Islam misalnya, tidaklah selalu memperlihatkan ciri kesantriannya. Yang saya maksud di sini bukanlah ciri fisikal yang kasat mata, bersarung misalnya, tapi lebih kepada ciri perilaku keseharian. Dalam beberapa kasus, seorang santri, dalam perilaku sehari-hari, tampak lebih tidak “nyantri” daripada orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren. Dia tampak lebih sering menyerupai (maaf) terpidana yang lepas dari penjara dan merasakan kebebasan untuk menggunakannya secara tidak bertanggung jawab. Penanaman nilai moral keagamaan yang selama bertahun-tahun dilakukan seolah menguap begitu saja saat dia memasuki bangku kuliah.
Tentu saja ada banyak pengecualian dari kasus di atas. Namun setidaknya demikianlah gambaran dari sebagian teman kita yang berkuliah. Untuk mengantisipasi hal itu, seorang santri perlu mempersiapkan sedini mungkin hal-hal yang diperlukan untuk menyongsong masa belajar di perguruan tinggi.
Ketika di pesantren, seorang santri seharusnya sadar hanya merupakan salah satu tahapan belajar. Karenanya dia harus memaksimalkan potensi dan daya yang dimiliki untuk menyerap hal-hal berguna yang ada di pesantren. Dia tidak perlu terlalu memikirkan hal lain di luar yang dia pelajari di pesantren. Melakukan hal ini – dalam banyak kasus – hanya akan menguras tenaga seseorang yang berakibat pada berkurangnya energi belajar. Belajar di pesantren tidak hanya berarti belajar ilmu-ilmu, dalam arti pelajaran di sekolah atau di asrama. Yang tidak kalah pentingnya adalah “ilmu hidup” yang hanya dia dapatkan apabila dia merenungi dan memikirkan yang dia hadapi sembari menerapkan ilmu-ilmu (akhlak dan lain-lain) yang dipelajari dari kitab dan buku. Karena menerapkan dan mengamalkan ilmu di pesantren jauh lebih mudah dibanding dengan di luar pesantren. Dan jika pengalaman ilmu itu telah mendarahdaging, maka hal itu akan menjadi benteng moral yang kuat.
Mempelajari setiap pelajaran yang disukai dan dipilih, apapun itu, dengan serius. Hal ini akan menjadi dasar kelak ketika melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah berdoa kepada pada sang pencipta dan memohon doa kepada orang tua agar segala hal yang menjadi visi nurani kita – integritas kepribadian, reputasi dan citra diri, visi keilmuan dan ekspektasi perjuangan – terus bersinergi dengan tempaan alam dan tantangan realitas sehingga seluruh godaan artifisial yang bersifat hedonistik bukan malah melemahkan kepribadian kita tapi justru mempertajam determinasi diri dan memperkokoh nilai-nilai kepribadian positif dan insting kepemimpinan kita.
Sejarah telah mengajarkan begitu banyak pelajaran yang dapat kita gali dan kaji. Salah satu yang cukup penting adalah bahwa pemimpin besar tidak mesti melahirkan dengan kejeniusan atau keilmuan yang tinggi. Karakter kepemimpinan dibangun dari kepedulian dan kesensitifan atas kondisi riil kehidupan di sekitarnya dan terus berusaha mencari solusi atas berbagai problema yang menimpa masyarakat dan lingkungannya di berbagai lini kehidupan. Kalangan pemimpin besar Indonesia seperti KH. Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan, M. Natsir, M. Hatta, untuk menyebut sebagian kecil di antaranya telah membuktikan hal itu.[]