Peta Jalan Damai India-Pakistan
A Fatih Syuhud
PERTEMUAN puncak antara Perdana Menteri India Manmohan Singh dan Presiden Pakistan Pervez Musharraf semakin membuktikan bahwa dalam dunia diplomasi (sebagaimana dalam kriket, olahraga populer di kawasan ini) hasil dari pertemuan tingkat tinggi sering berupa kebalikan dari prediksi sebelumnya.
Apabila pertemuan puncak di Agra pada Juli 2001 hanya menghasilkan kepahitan dan jalan buntu, maka hari-hari menjelang pertemuan puncak pada pertengahan April tampak kedua pihak bersikap low profile dan berhati-hati. Namun, hasil pertemuan saat ini dianggap banyak analis kedua negara sebagai paling sukses dan menjanjikan banyak harapan cerah ke depan.
Pernyataan bersama yang dibacakan PM India mengandung enam aspek yang patut dicatat sebagai fondasi utama peta jalan damai antara India dan Pakistan.
Pertama, penekanan bahwa proses damai yang saat ini sedang berjalan tak dapat berubah (irreversible). Kedua pihak mengatakan bahwa apapun yang terjadi di masa depan tidak akan bertolak belakang dengan apa yang sudah dicapai saat ini dimulai dan ditingkatkannya lalu lintas perbatasan dan hubungan antarmasyarakat seperti olahraga dan kesenian, serta gencatan senjata di sepanjang Garis Kontrol (GK) dan di sungai es Siachen. ‘Ngambek’-nya India dengan memutus seluruh hubungan udara, darat, dan laut dengan Pakistan menyusul serangan militan pada 13 Desember 2001 di gedung Parlemen diharapkan tidak akan terulang.
Kedua, bahwa terorisme tidak akan diberi kesempatan untuk mengganggu hubungan. Formulasi khusus patut dicatat bahwa kedua pemimpin berjanji untuk tidak membiarkan terorisme mengganggu proses damai. Terorisme yang dimaksud di sini bukanlah retorika yang biasa dipakai India untuk menghantam Pakistan tetapi ia bermakna sebuah masalah yang harus dihadapi secara bersama oleh kedua negara. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Islamabad akan terus berusaha menjamin bahwa insiden terorisme tidak direncanakan atau dilancarkan dari teritorial yang dikontrolnya; New Delhi juga berjanji untuk tidak overreaktif pada insiden terorisme yang kemungkinan terjadi di masa depan.
Dengan kata lain, India dan Pakistan secara bersama telah sepakat tidak akan memberikan hak pada teroris untuk memveto proses damai melalui aksi kekerasan yang dramatis.
Ketiga, tujuan membahas isu Jammu dan Kashmir (JK) adalah untuk mencapai ‘penyelesaian final.’ Sebelumnya, pada 24 September 2004 pernyataan yang dikeluarkan di New York mengatakan ‘kemungkinan sejumlah opsi untuk penyelesaian dan negosiasi damai soal JK,’ sementara pada 6 Januari 2005 pernyataan bersama menegaskan ‘penyelesaian damai atas seluruh isu bilateral, termasuk Jammu dan Kashmir, sampai memuaskan kedua belah pihak.’ Namun demikian, pernyataan terakhir ‘penyelesaian final,’ sebenarnya bukan hal baru. Bahkan kalimat ini diambil dari Kesepakatan Shimla 2 Juli 1972, klausul 6 dimana kedua negara berkomitmen ‘untuk membahas lebih lanjut menuju perdamaian dan normalisasi jangka panjang, termasuk isu tahanan perang, penyelesaian final soal Jammu dan Kashmir dan dimulainya hubungan diplomatik.’
Dengan kembali pada bahasa yang dipakai pada kesepakatan Shimla 1972, India dan Pakistan secara bijaksana telah sepakat untuk menjadikan Kashmir sebagai isu signifikan.
Keempat, setelah memberi penekanan atas perlunya penyelesaian final, pernyataan itu menunjukkan langkah-langkah awal yang searah dengan paradigma ‘perbatasan lunak’. Dengan demikian, ia membahas langkah selanjutnya ‘untuk menambah interaksi dan kerja sama di sepanjang perbatasan,’ termasuk pergerakan jalur angkutan bus dan perdagangan antarperbatasan di Kashmir.
Akan dimulainya truk angkutan menyeberangi perbatasan merupakan sebuah langkah saling percaya yang radikal bagi kedua negara yang akan mengarah pada geografi ekonomi kawasan kembali pada era prapemisahan.
Kelima, pernyataan bersama juga berkomitmen untuk mempercepat proses ekspor/impor produk dan menekankan perlunya interaksi bisnis lebih besar. Selama India terkesan ingin menghindari isu Kashmir, maka Pakistan tak akan tertarik untuk bergerak lebih jauh di bidang perdagangan.
Dengan tidak menghindar dari isu Kashmir (isu utama yang memicu tiga kali peperangan) maka India telah mencapai apa yang ia inginkan: komitmen Pakistan untuk mendahulukan sejumlah persoalan yang lebih ringan berjalan lebih dulu.
Keenam, Dr Singh dan Jenderal Musharraf tidak hanya menyepakati usulan pipa minyak dan gas Iran-Pakistan-India di tengah kritisisme AS atas proyek tersebut tetapi juga memperluas skup kerja sama energi antara kedua negara.
Dengan adanya peningkatan permintaan energi baik di Pakistan dan India serta perlunya Asia Selatan mengakses minyak dan gas dari Iran dan Asia Tengah, maka sangat perlu bagi kedua negara untuk memulai dialog energi yang lebih komprehensif.
Sementara itu, perbatasan di Kashmir, dalam istilah Musharraf, akan berupa soft border yang artinya India dan Pakistan akan tetap memiliki privilese kedaulatan baik de jure maupun de facto di kawasan yang dikuasai, namun pada waktu yang sama tidak akan menghalangi rakyat di kedua perbatasan untuk menikmati teritorial yang bersatu.
Apabila enam elemen di atas berjalan sesuai rencana dan dialog-dialog berikutnya semakin mendapatkan momentum, maka perdamaian di kawasan yang menurut Collin Powel termasuk one of the most dangerous flash point in the world ini akan dicatat sejarah sebagai pertanda robohnya tembok Berlin part II.***
Media Indonesia, Kamis, 28 April 2005