Perkawinan Siri dan Filosofi Syariah
Perkawinan Siri Menurut Filosofi Syariah Pernikahan sirri (makna literal, rahasia) sebenarnya bukanlah perkawinan rahasia dalam arti sembunyi dari pengetahuan orang dekat. Ia disebut siri hanya karena tidak melapor ke dan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Nikah siri hukumnya sah asal terpenuhi syarat minimum dari suatu pernikahan yang sah yaitu adanya wali, adanya dua saksi laki-laki dan ijab kabul plus mahar atau maskawin tentu saja.
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Al-Khoirot
Selama bulan Desember 2012 hampir tiap hari sejumlah media dari berbagai genre (cetak, elektronik, online) tidak pernah absen memberitakan berita seputar perkawinan siri yang dilakukan oleh bupati Garut bernama Aceng Fikri. Perkawinan ini menjadi ramai sebenarnya bukan karena nikah sirri-nya, tapi karena dua hal yang cukup mengejutkan masyarakat Indonesia yaitu dicerainya istri sirri bupati tersebut empat hari setelah akad nikah berlangsung dan alasan mengapa perceraian itu terjadi yaitu masalah tidak perawan. Alasan yang terkesan mengada-ada ini membuat masyarakat Garut khususnya dan Indonesia umumnya sangat gusar. Simpati kepada mantan istri siri yang dicerai pun mengalir dan pada waktu yang sama antipati kepada sang Bupati pun merebak yang berujung pada usaha pemakzulan oleh lembaga legislatif DPRD Garut.
Fenomena nikah siri di Indonesia memang marak terjadi sejak dahulu. Ada dua golongan yang melakukan nikah siri. Pertama, orang miskin yang tidak mampu membayar ongkos perkawinan resmi di KUA dan, kedua, orang-orang kaya yang sekedar ingin berpetualang dengan sejumlah wanita muda, cantik dan mudah didapat dengan limpahan materi. Fenomena kedua ini banyak dilakukan oleh pejabat dan pengusaha seperti yang dilakukan oleh Bupati Garut Aceng Fikri.
Secara sosiologis, fenomena kawin siri di kalangan orang kaya ini pada dasarnya bertujuan untuk “menghalalkan” hasrat eksistensi dan mitologi kesempurnaan lelaki dalam pengejaran pencapaian tiga “ta” yaitu harta, tahta dan wanita. Saat istilah itu diluncurkan pertama kali, mungkin yang dimaksud dengan “wanita” adalah perempuan-perempuan yang dapat dieksploitasi secara seksual dengan uang tanpa harus terikat perkawinan. Dengan masuknya Islam ke Indonesia, hubungan di luar nikah tidak memungkinkan bagi kalangan yang relatif “santri”, sementara menikah resmi sulit dilakukan bagi pejabat atau pengusaha yang sudah beristri, maka jalan tengahnya adalah pernikahan siri ini. Maka muncullah fenomena nikah siri para pejabat yang pada praktiknya tidak jauh berbeda dengan nikah mut’ah yang umum dilakukan penganut faham Syiah.
Pandangan Islam tentang Nikah Siri
Istilah nikah siri bermakna sebuah akad perkawinan yang dilakukan secara diam-diam dalam arti tanpa dilaporkan dan dicatatkan pada lembaga negara dalam hal ini pejabat KUA dan jajarannya; juga tanpa adanya walimah untuk memberitahu para tetangga dan sanak saudara. Nama lain adalah pernikahan di bawah tangan. Istilah nikah siri sebenarnya sangat khas Indonesia karena terma ini tidak umum dipakai di negara lain walaupun praktik serupa juga terjadi. Di negara-negara Teluk, misalnya, dikenal istilah nikah al-misyar (نكاح المسيار). Nikah misyar adalah pernikahan yang dilakukan secara diam-diam antara seorang pria yang sudah bersuami dengan wanita karir yang secara ekonomi sudah mapan tapi terlambat kawin. Si pria melakukannya secara diam-diam tanpa seizin atau sepengetahuan istri pertama, dan si wanita pun menyadari keadaan ini dan tidak menuntut perlakukan adil. Cukuplah memberi nafkah batin sesekali dan tidak meminta nafkah yang lain.
Secara syariah, nikah siri adalah sah asalkan sudah memenuhi syarat minimal dari sahnya suatu pernikahan yaitu adanya wali dari pengantin wanita, dua saksi, mahar dan ijab kabul (serah terima) antara calon mempelai lelaki dan wali pengantin perempuan. Karena nikah siri hukumnya sah, maka tidak ada seorang pun yang dapat menghukuminya sebagai nikah yang batil. Dr. Yusuf Qardhawi mengingatkan kita dalam salah satu fatwanya agar kita tidak mudah mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram [1] karena konsekuensi hukumnya sangat berat dalam Islam yaitu murtad. Bahwa nikah siri yang dilakukan kalangan pejabat dan pengusaha dianggap menyalahi etika sosial, dan dikategorikan sebagai pelecehan terhadap wanita itu soal lain.
Etika Universal dan Tradisi Lokal bagian dari Islam
Namun demikian, bagi seorang muslim yang ingin meningkatkan level keislamannya, ada satu prinsip yang harus dijadikan pedoman: bahwa bersandar pada nilai-nilai syariah (fiqih) semata tidaklah cukup untuk menjadi seorang muslim yang ideal. Karena pada kasus-kasus tertentu, hukum syariah itu merupakan pagar terakhir dan minimal, belum yang ideal. Sebagai contoh, aurat laki-laki yang harus ditutupi menurut syariah Islam adalah antara pusar sampai lutut. Namun, betapa tidak pantasnya apabila kita hanya berpakaian sebatas yang diperintahkan syariah. Oleh karena itu, mengamalkan dan menghormati etika universal dan tradisi lokal adalah sangat penting selagi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Imam Malik menyatakan bahwa orang yang perilakunya hanya bertumpu pada fiqih tanpa tasawuf, maka dia akan cenderung fasiq. Dan barangsiapa yang bertasawuf tanpa fiqih, maka dia akna cenderung jadi kafir zindiq.[2] Saya memaknai kata “tanpa tasawuf” dengan “tanpa etika universal dan tradisi lokal” dan menurut hemat saya, makna inilah yang paling relevan.
Dalam Islam figur ideal dan yang paling pantas diteladani adalah Nabi Muhammad. Dan dalam sejarah Islam, Rasulullah dikenal sebagai sosok yang paling menghormati dan mengamalkan etika universal dan tradisi lokal, selain akhlaq syariah itu sendiri.[3] Terbukti, pada saat masa muda Nabi, beliau dikenal sebagai sosok yang sangat dicintai oleh semua kalangan. Sehingga beliau mendapat kepercayaan yang sangat tinggi dari sejumlah kepala suku untuk meletakkan Hajar Aswad di tempat semula setelah renovasi Ka’bah. Tak kurang dari Abu Lahab sendiri sangat ingin untuk mengambil mantu Nabi karena kebaikan dan keluhuran etika univesal dan penghormatannya pada tradisi lokal.
Oleh karena itu, dalam konteks pernikahan siri, walaupun sah secara syariah tapi tidak layak dilakukan oleh seorang muslim kaya apalagi pejabat dengan tujuan hanya untuk main-main sedang yang bersangkutan sudah punya istri. Apalagi kalau yang dinikahi adalah wanita yang menurut penilaian masyarakat Indonesia saat ini masih di bawah umur. Kasus perkawinan siri berbeda konteksnya apabila dilakukan oleh kalangan masyarakat tmiskin dan belum beristri atau tidak punya istri di mana mereka melakukan itu semata-mata karena darurat untuk menghindari perilaku yang lebih besar yaitu perzinahan. Dalam konteks ini, maka nikah siri adalah wajib menurut syariah. Karena zina adalah salah satu dosa yang sangat besar. (QS Al-Isra 17:32) yang harus dijauhi.
Menaati syariah, mengamalkan etika universal dan menghormati tradisi lokal dan aturan negara adalah bagian yang tak terpisahkan dari akhlakul karimah yang telah dicontohkan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad. Ini berlaku bagi semua muslim yang memiliki pilihan. Dan khususnya bagi mereka yang mendapat amanah untuk menduduki jabatan atau mendapat rezeki berlimpah di mana godaan untuk mengeksploitasi jabatan dan harta sangatlah besar.[]
FOOTNOTE
[1] Salah satu respons Qardhawi tentang praktik perkawinan yang tidak diterima secara sosial namun sah secara syariah seperti halnya nikah siri adalah sbb : صحفي سألني عن رأيّي في زواج المسيار، وهنا لا يسعني إلا أن أجيب بما يفرضه علي ديني، لا أستطيع أن أحرّم شيئاً أحله الله، فإن سألني أحد ما رأيك في زواج المسيار، سأقول له أنا لا أعرف ما هو زواج المسيار، بل قل لي ما هو نوع هذا الزواج! فيقول لي هذا زواج فيه العقد والإيجاب والقبول والشهود (الحد الأدنى في الإشهار في الإسلام)، فيه المهر (وآتوا النساء صدقاتهن نحلة) حتى إن كان 10 ريالات، وفي بلاد الخليج هنا في وليّ، فهو زواج مستكمل لشروطه وأركانه، فكيف يسع فقيه أن يقول عن هذا الزواج أنه حرام؟ قد لا يقبله المجتمع، نفرق أن يكون الزواج مقبولاً اجتماعياً وبين أن يكون مباحاً شرعاً (Lihat, qaradawi.net).
[2] Imam Malik bin Anas mengatakan: من تفقه و لم يتصوف فقد تفسق و من تصوف و لم يتفقه فقد تزندق و من جمع بينهما فقد تحقق Barangsiapa yang berfiiqih tanpa tasawuf, maka dia akan fasiq. Barangsiapa yang bertasawuf tanpa fiqih, maka dia akan jadi kafir zindiq. Barangsiapa berpegang pada keduanya, maka dia akan menjadi muslim yang hakiki. Ali Al-Adawi dalam Kitab Syarah al Imam Az-Zarqani mengaktribusikan kutipan ini pada Imam Malik. Namun ssebagian ulama menisbatkannya pada Syekh Ibrahim Ad-Dasuqi. Kalimat ini dipopulerkan oleh Imam Ghazali dalam Ihya Ulumiddin dan banyak yang mengira kalimat ini berasal dari Al-Ghazali.
[3] Lihat sejarah Nabi sejak masa kecil dalam Sirah Ibnu Hisyam.