Pendidikan Anak Kyai (2): Gus Jadzab dan Lora Helap
Pendidikan Anak Kyai (2)
Oleh A. Fatih Syuhud
Menjadi anak seorang kyai, khususnya kyai pesantren, itu tidak enak. Semakin besar pesantren seorang kyai, semakin besar ketidaknyamanan itu bagi anaknya. Ketidakenakan itu tentu saja bukan dilihat dari yang tampak di luar. Secara dzahir, menjadi anak kyai tentu saja sangat menguntungkan. Bayangkan, sejak kecil ia terbiasa dengan berbagai pemanjaan, penghormatan, dan pujian dari santri-santri ayahnya. Tiada kritik atau perlawanan apapun dari para santri saat anak kyai yang masih usia TK, SD atau SMP berperilaku bandel.
Padahal hidup yang normal bagi seorang anak adalah apabila dia mendapat perlakuan reward and punishment (penghargaan dan sanksi) dari lingkungannya. Mendapat reward saat dia berperilaku baik dan punishment saat berperilaku buruk. Dari cara ini, seorang anak belajar mengenal akhlak, nilai, norma dan etika baik dan buruk. Baik akhlak islami, nilai universal dan etika sosial setempat.
Dengan terbiasanya anak kyai menerima reward saja tanpa adanya punishment, maka tanpa disadari mental dan mindset-nya tidak tumbuh dengan sehat. Dampak negatif dari pemanjaan ini antara lain (a) anak tidak mandiri, (b) tidak mau menerima kritik, (c) tidak mau bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan, (c) pemalas, tidak mau bekerja keras; (d) suka merendahkan orang lain, (e) tidak memiliki sensitivitas dan kapasitas kepemimpinan.
Gus Jadzab dan Lora Helap
Salah satu contoh nyata dari akibat pemanjaan santri pada anak kyainya yang terbukti merusak adalah adanya julukan jadzab atau helap pada gus (anak kyai Jawa) atau lora (anak kyai Madura) yang berperilaku menyimpang. Padahal jadzab adalah istilah yang dipakai aliran sufisme yang diperuntukkan bagi para murid tarikat yang sedang menjalani ritual pendekatan diri pada Allah menurut cara-cara sufi. Mungkin karena adanya kesamaan antara anak kyai bandel dan murid tarikat dalam segi sama-sama “aneh” atau karena santri percaya bahwa kebandelan anak kyai adalah dalam rangka proses “nglakoni”, maka anak kyai yang bandel disebut dengan istilah tersebut.
Terlepas dari itu semua, faktanya adalah bahwa julukan jadzab atau helap ini semakin menghancurkan kepribadian anak kyai yang kenakalannya sedang tidak terkontrol itu. Tidak sedikit dari anak kyai yang tidak hanya melanggar nilai etika sosial, tapi juga syariah dan akhirnya menjadi sampah masyarakat.
Lalu, apa langkah yang mesti diambil oleh orang tua dan para santri agar para putra-putri kyai dapat memaksimalkan potensinya dan dapat menjadi penerus pesantren yang egaliter, rendah hati, memiliki karakter kepemimpinan dan secara intelektual mumpuni?
Pertama, sejak kecil anak kyai harus dididik menghormati yang lebih tua. Baik itu santri, tetangga maupun tamu pesantren. Salah satu indikasi penghormatan adalah dengan mencium tangan saat bersalaman, mengucapkan salam atau sekedar tersenyum saat berjumpa. Mencium tangan yang lebih tua boleh diakhiri saat putra kyai sudah dewasa dan mulai mengajar. Dalam Islam, penghormatan berdasarkan ilmu lebih didahulukan daripada umur sebagaimana imam salat yang lebih mendahulukan ahli ilmu daripada yang tua.
Kedua, kyai harus menginstruksikan santrinya agar mengingatkan gus atau lora-nya kalau berperilaku kurang baik. Baik itu dalam bentuk malas belajar, kurang sopan, melanggar syariah atau melanggar disiplin pesantren. Santri jangan sampai membiarkan anak kyai bebas berbuat semaunya tanpa kritik karena ini akan sangat membahayakan kesehatan mentalnya. Begitu juga santri hendaknya memberikan apresiasi (reward) atas perilaku baik anak kyai. Tentu saja reward and punishment harus juga diberlakukan di rumah; dalam lingkungan keluarga.
Ketiga, hilangkan mental feodalisme sejak dini. Ajarkan kerendahhatian, keseteraan antar-manusia, dan bahwa penghargaan Allah dan manusia akan didapat dengan keilmuan yang tinggi dan kesalihan perilaku (QS Al Mujadalah 58: 11); bukan karena faktor keturunan.[]