Pendidikan Anak Cacat (2)
Pendidikan Anak Cacat (2)
Oleh A. Fatih Syuhud
Bayi perempuan yang lucu itu bernama Hellen Keller. Ia tumbuh normal sampai usia 19 bulan. Saat itulah malapetaka itu terjadi. Ia terserang penyakit aneh yang berakibat fatal: ia menderita buta dan tuli total. Betapa menderitanya Hellen Keller. Dan lebih menderita lagi adalah orang tuanya. Terutama ibunya.
Akan tetapi sang ibu sadar betul bahwa penderitaan tidak boleh dihadapi dengan keputusasaan. Bagaimanapun sakitnya penderitaan itu. Waktu yang terus berjalan harus dimanfaatkan sepenuhnya untuk berusaha memaksimalkan potensi anaknya yang tuna netra dan tuna rungu.
Usaha sang bunda yang tiada henti tidaklah sia-sia. Hellen mulai dapat berbicara. Dan pada usia 8 tahun dia mulai sekolah untuk tuna netra. Pada usia 14 tahun, ia melanjutkan sekolah khusus tuna rungu. Pada usia 20 tahun, dia diterima kuliah di Radcliffe College dan lulus pada usia 24 dan menjadi wanita tuna rungu pertama di Amerika dan dunia yang menggondol gelar sarjana S1. Sejak saat itu, tiada halangan berarti lagi baginya untuk mengekpresikan kemampuan ilmu dan talenta terpendamnya.
Dari segi karya intelektual, ia dikenal sebagai penulis produktif. Tak kurang dari 12 buku yang telah ditulisnya. Juga, sejumlah artikel di berbagai jurnal dan media konvensional lain. Yang sangat mengagumkan adalah ia mulai menulis buku sejak berusia 11 tahun dengan buku perdananya berjudul The Frost King (Raja Dingin) . Pada usia 22 tahun, yakni saat dia masih kuliah S1, ia menulis buku otobiografi berjudul The Story of My Life (Kisah Hidupku).
Ia juga dikenal sebagai aktifis politik, pembicara ulung yang sering diundang ke berbagai belahan dunia dan penulis terkenal. Pada usia 84 tahun, ia mendapat penghargaan Presidential Medal of Freedom dari Presiden Amerika Lyndon B. Johnson. Sebuah penghargaan tertinggi di Amerika. Penghargaan ini antara lain karena jasa dan dedikasinya pada yayasan American Foundation for the Blind yang diabdikan untuk membantu mereka yang menderita tuna netra. Pada 1968 Hellen meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Namun pada tahun 1999, 31 tahun setelah meninggal, Hellen Keller masuk dalam daftar Gallup’s Most Widely Admired People of the 20th Century (Orang yang paling dikagumi pada abad ke-20).
Kesuksesan hidup Hellen Keller yang mencengangkan tak luput dari dua hal yang patut menjadi inspirasi kita. Yakni, peran besar dari orang tua terutama ibu dan tentu saja kemauan tinggi dari Hellen Keller sendiri.
Kemauan yang besar dari Hellen Keller untuk maju di tengah kendala fisik yang menimpanya tentu tak luput dari pendidikan dalam keluarga yang memainkan peran sangat signfikan. Dan dalam kasus Hellen Keller ini, tampak sekali peran ibu sangat dominan.
Dapat dipastikan, ibu Hellen Keller adalah adalah sosok ibu yang sangat ahli dalam memberi motivasi pada putrinya yang serba kekurangan, baik motivasi lisan maupun dalam bentuk bahasa tubuh (body language). Dan memotivasi seorang yang menderita kekurangan fisik tentu tidak mudah. Sang ibu membutuhkan banyak belajar ilmu-ilmu yang terkait dengan pendidikan anak cacat. Tidak hanya sekadar mengandalkan insting keibuannya semata. Sejumlah dokter dan pakar kejiwaan yang ahli di bidang penanganan anak cacat ditemuinya. Dan hasilnya tidak sia-sia.
Bagi saya, peran ibu Hellen Keller yang berhasil menjadikan putrinya from zero to hero patut mendapat apresiasi mendalam. Ibu Hellen Keller adalah sosok ibu yang patut menjadi teladan para ibu di seluruh dunia karena dua hal: pertama, menjaga sikap optimisme di tengah kondisi yang tidak mendukung untuk optimis. Kedua, terus belajar dan berusaha maksimal tanpa mengenal lelah demi masa depan anak.
Inspirasi apa yang dapat diambil dari Hellen Keller? Optimisme, percaya diri, keberanian untuk bermimpi, rajin belajar, kerja keras dan pendidikan tinggi.[]