Pendidikan Anak Orang Miskin (2)
Pendidikan Anak Orang Miskin (2)
Oleh A. Fatih Syuhud
Munawir adalah seorang anak yang berasal dari keluarga sangat miskin yang tinggal di desa Karanganom, Klaten, Jawa Tengah. Masa sekolah di madrasah tsanawiyah (MTs) dan madrasah aliyah (MA) dilalui dengan penuh keprihatinan. Ia tidak pernah mendapat uang saku. Tidak hanya itu, ia selalu berangkat sekolah di pagi hari dengan perut kosong karena tak pernah sarapan pagi dan tidak memakai sepatu.
Kelaparan dan kekurangan secara materi tidak membuat semangat belajarnya turun. Kemiskinan justru membuatnya semakin terpacu untuk belajar lebih rajin agar kehidupannya kelak dapat lebih baik. Di sekolahnya ia dikenal sebagai anak yang rajin dan berprestasi. Ia juga dikenal sebagai anak yang tidak cepat puas. Tidak hanya ilmu sekolah formal MTs dan MA yang dia pelajari. Ia juga mengikuti berbagai pelajaran agama di pesantren yang berdekatan dengan sekolah tersebut. Tidak heran kalau akhirnya ia tidak hanya menguasai ilmu umum tapi juga ilmu-ilmu agama seperti nahwu sharaf, fiqh, tafsir, yang cuma dapat dipahami oleh para santri di pesantren.
Semangat Munawir kecil terus bergelora. Ia bercita-cita ingin melanjutkan studi ke Universitas Al Azhar Mesir selepas lulus dari madrasah aliyah. Kendati ia sadar bahwa mimpi itu seperti mustahil jadi kenyataan. Bagaimana mungkin ia melanjutkan kuliah ke luar negeri, sedang kedua orang tuanya hidup dalam kemiskinan yang parah. Ia ingat suatu peristiwa memilukan yang tak terlupakan seumur hidupnya.
Waktu itu ia berhasil menamatkan sekolah MA-nya dengan baik tanpa masalah. Yang menjadi masalah adalah saat hendak mengambil ijazah. Orang tuanya tidak punya uang untuk menebusnya. Karena ketiadaan uang, ibunya menjanjikan akan menjual gelugu (batang pohon kelapa) di depan rumahnya. Lalu setelah ia menebus ijazah, tiba di rumah ia kaget, karena gelugu masih tetap tegak berdiri. Sang Ibu ternyata menjual salah satu dari dua kain yang dimiliki sang ibu. “Lalu bagaimana kalau Ibu mau ganti kain?” Ibunya tenang menjawab, “Kan bisa memakai sarung punya Ayah.” Munawir kecil yang sudah menginjak remaja ini pun tidak kuat membendung air matanya. Ia tersedu, bersimpuh di pangkuan ibunya.
Kegagalannya melanjutkan studi ke Mesir tidak menyiutkan semangatnya untuk belajar. Dan dengan berbagai macam upaya yang gigih ia berhasil meneruskan studi ke University of Exeter Inggris dengan beasiswa dari Departemen Luar Negeri (Deplu). Beberapa puluh tahun kemudian, tepatnya sejak tahun 1983, namanya dikenal secara nasional sebagai Munawir Sadzali sang Menteri Agama Republik Indonesia sampai 1993.
Peran Orang Tua
Ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari kisah sukses Munawir Sadzali dari anak orang miskin yang tidak pernah sarapan saat sekolah sampai berhasil menjadi menteri.
Pertama, pendidikan dalam keluarga. Kondisi ekonomi boleh miskin, tapi pendidikan anak dalam rumah tetap dilakukan secara intensif. Ayah Munawir, Mughofir dan ibunya Tas’iyah selalu berusaha memberikan pendidikan terbaik dalam rumah. Baik pendidikan agama maupun pendidikan etika sosial umum. Dan pendidikan anak paling efektif tentu saja melalui keteladan kedua orang tua.
Kedua, optimisme. Selalu optimis dan tidak putus asa (QS Yusuf 12:87). Tidak mudah menjaga sikap optimisme saat kita dalam kesulitan. Terutama kesulitan ekonomi. Akan tetapi, sikap optimisme orang tua harus tetap dijaga dan dipelihara untuk mendorong dan mengajari sikap yang sama pada anak. Orang tua tidak dapat mendorong anaknya bersikap optimis, sementara mereka sendiri menampakkan sikap sebaliknya.
Dengan sikap optimisme, orang tua dapat memotivasi anak untuk memiliki cita-cita tinggi. Berani bermimpi untuk sebuah kehidupan yang jauh lebih baik dari orang tua mereka. Baik dari segi pendidikan maupun ekonomi. Singkatnya, optimisme dan keberanian bermimpi menjadi kunci sukses kehidupan seseorang di masa depan. Bukan kaya atau miskinnya.
Ketiga, sabar (QS Al Ahqaf 46:35). Dari ibu Munawir yaitu Ny. Tas’iyah, kita belajar betapa pentingnya bersifat sabar dan tegar dalam menghadapi kepahitan hidup. Ibu Tas’iyah tidak mengeluh ketika harus menjual satu dari dua kain yang dimilikinya untuk menebus ijazah anaknya. Kesabaran seperti ini sangat mahal harganya dan akan menjadi teladan tak ternilai bagi anaknya dalam mengarungi tantangan kehidupan kelak di kemudian hari. Baik tantangan dalam kepahitan hidup maupun cobaan dalam kesenangan (QS Al Anbiya 21:35).[]