fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Keteladanan Tontonan

Keteladanan Tontonan
Oleh A. Fatih Syuhud

Pada tahun 2006, ada sebuah acara di Lativi (sekarang TVONE) bernama Smackdown yang sangat kontroversial. Disebut kontroversial karena banyak yang menganggap tayangan penuh kekerasan ini telah mengakibatkan banyak anak-anak jatuh korban dan bahkan meninggal dunia karena ingin meniru adegan berkelahi ala smackdown tersebut. Ikuti kisah berikut yang dikutip dari harian Pikiran Rakyat Bandung edisi 26 November 2006:

Restu, Iyo, dan Ii, warga Kompleks Banda Asri, Desa Banda Asri, Kecamatan Cangkuang, Kabupaten Bandung ingin meniru dan mempraktikkan adegan-adegan dalam SmackDown itu.

Sebagai lawan, ketiga siswa SMP ini memilih Reza Ikhsan Fadillah (9 tahun), tetangga mereka. Tubuh kecil siswa kelas III SD Cincin I itu mereka banting. Kepalanya dihujamkan ke atas lantai. Tangannya ditekuk, meski Reza mengaduh kesakitan.

”Karena menirukan adegan SmackDown, anak saya meninggal,” kata Herman Suratman (53).

Reza lalu dirawat di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) sebelum dipindahkan ke ruang ICU RSHS.

Pada Kamis (16/11), kondisi Reza bertambah parah. ”Reza meninggal dalam pangkuan saya,” ujar pria ini dengan berlinang air mata.

Mengapa anak begitu mudah meniru suatu adegan yang ditonton di TV? Dan apa yang memotivasi mereka melakukan hal tersebut?

Menurut Seto Mulyadi yang akrab dipanggil Kak Seto, seorang pemerhati anak, anak-anak itu peniru yang terbaik, termasuk dari yang ada di televisi.”

Seorang anak, tambah dia, jika merasa diakui akan apa yang dilakukannya, maka anak tersebut akan melakukannya lagi dan bahkan lebih. “Ada mekanisme punish and reward (sanksi dan penghargaan), biar kelihatan semakin gagah dan hebat,” kata Kak Seto.

Dari ilustrasi dan opini di atas, dapat disimpulkan bahwa televisi sebagai teknologi informasi yang paling banyak diminati ini ibarat pisau bermata dua. Ia dapat bermanfaat atau justru sangat berbahaya bagi pendidikan anak.

Menghapus televisi dari rumah bagi kebanyakan orang hampir tidak mungkin. Namun, membiarkan anak menghabiskan sebagian besar waktunya di depan TV juga kurang ideal. Oleh karena itu, orang tua hendaknya membudayakan pada anak supaya menonton program televisi yang sehat dengan jam nonton yang dibatasi.

American Academy of Pediatrics (AAP) menganjurkan supaya anak di bawah usia 2 tahun tidak menonton TV sama sekali dan bahwa anak usia di atas 2 tahun boleh menonton acara TV yang mendidik tapi tidak lebih dari 1 sampai 2 jam perhari.

Karena, 2 tahun pertama kehidupan anak dianggap waktu yang sangat kritis bagi perkembangan otak. TV dan media elektronik lainnya dapat menghalangi anak dalam mengeksplorasi, bermain dan berinteraksi dengan orang tua dan yang lain, yang dapat mendorong pembelajaran dan perkembangan kesehatan fisik dan sosial.

Menonton acara TV yang baik tentu ada juga manfaatnya. Misalnya, anak prasekolah dapat terbantu belajar huruf, anak SD SMP SMA dapat belajar kehidupan hewan dan alam, orang tua dapat menonton berita, dsb. TV dapat menjadi penghibur dan pendidik.

Namun, terlalu banyak menonton TV, apalagi kalau tidak selektif, dapat berakibat buruk seperti (a) anak yang menonton aksi kekerasan akan cenderung menunjukkan perilaku yang lebih agresif dan pada saat yang sama merasa kuatir bahwa dunia ini menakutkan dan bahwa sesuatu yang buruk akan menimpa mereka; dan (b) para pemain drama di TV sering menampakan perilaku dan kebiasaan buruk seperti merokok dan minum alkohol yang akan mudah ditiru anak.

TV dan teknologi terkait seperti video, CD dan DVD adalah teknologi informasi audio visual yang pada dasarnya bersifat netral. Yang membuat ia baik atau buruk adalah acara dalam TV tersebut. Dan di sinilah fungsi orang tua diperlukan sebagai pengontrol, pembimbing dan pengawas anak kala mereka menonton TV. Kemampuan orang tua untuk membatasi masa nonton dan program yang boleh ditonton anak akan cukup mempengaruhi perkembangan perilaku dan mindset anak ke depan.[]

Kembali ke Atas