Jihad dalam Islam (3): Syarat Jihad Perang
Jihad dalam Islam (3): Syarat Jihad Perang
Oleh: A. Fatih Syuhud
Jihad dalam pengertian syariah memiliki makna yang luas dan tidak hanya terbatas pada makna perang. Sebagian ulama, termasuk Qardhawi, memaknai jihad sebagai “mengerahkan kekuatan dan kemampuan dalam berperang menegakkan agama Allah (fi sabilillah) dengan fisik atau membantu dengan harta atau pendapat atau lisan.”[1] Dalam Al-Quran, kata jihad digunakan saling berkelindan (interchangeable) dengan kata qital. Jihad dan qital memang memiliki makna yang sinonim, namun jihad lebih umum. Istilah qital sudah pasti bermakna perang bersenjata, sedangkan terma jihad bisa bermakna lebih luas.[2] Jihad dalam pembahasan ini adalah jihad qital serta syarat-syarat sah dan wajibnya.
Syarat Sahnya Jihad
Jihad yang benar adalah bagian dari ibadah. Dan sebagaimana ibadah yang lain ia harus dilakukan secara syar’i dalam arti harus memenuhi syarat dan rukunnya agar jihadnya sah dan diridhai Allah. Al-Qardhawi menyebutkan bahwa syarat sahnya jihad ada tiga.
Pertama, niat yang ikhlas untuk memuliakan agama Allah.[3] Wajib bagi mujahid untuk berniat yang benar dan ihlas karena Allah ketika keluar ke medan perang atau melakukan perbuatan jihad. Ikhlas dari riya dan ingin pamer agar supaya amalnya diterima dan mendapat pahala di dunia dan akhirat. Karena, dasar diterimanya perbuatan adalah ikhlas dalam niat semata untuk Allah. Allah berfirman dalam QS Al-Bayyinah :5 “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.”[4] Dalam Az-Zumar :11 Allah kembali berfirman, “Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.”[5]
Dalam sebuah hadits sahih dari Abu Musa Al-Asy’ari diriwayatkan bahwa seorang laki-laki pedesaan bertanya pada Nabi, “Wahai Rasulullah, seseorang berperang dengan berani, berperang karena fanatik kesukuan, berperang karena ingin pujian, manakah yang termasuk (jihad) fi sabilillah?” Nabi menjawab, “Siapa yang berperang agar kalimah Allah menjadi luhur maka ia jihad karena Allah.”[6]
Kedua, ijin dari Imam atau ulil amri (pemerintah).[7] Ketaatan pasukan pada pemimpinnya menjadi syarat dasar bagi suksesnya amal jihad dalam mencapai kemenangan. Pemimpin yang sukses adalah figur yang dapat menanamkan kepercayaan pada anak buahnya atas kepemimpinannya. Ketidaktaatan pada pemimpin akan berakibat pada ketidaksolidan pasukan. Dalam rangka menjaga keutuhan pasukan ini Allah memerintahkan mereka untuk taat pada pimpinan. Dalam QS An-Nisa 4:59 Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.”[8] Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah Nabi berwasiat: “Barangsiapa yang taat padaku maka ia taat pada Allah, siapa yang bermaksiat padaku maka ia bermaksiat pada Allah. Siapa yang taat pada amir (pemimpin), maka ia taat padaku, siapa yang melawan pemimpin maka sama dengan melawanku.”[9] Oleh karena itu, mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki dan Maliki menyatakan hukumnya haram berjihad tanpa ijin dari imam. Sedangkan madzhab Syafi’i menghukumi makruh.
Baca juga:
Pendapat pertama – haram berjihad tanpa ijin imam – adalah yang lebih kuat (muktamad) karena dalil-dalil berikut: a) QS An-Nisa 4:83 “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”[10] b), dalam QS At-Taubah 9:38 Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu?”[11] Dalam ayat ini ditegaskan bahwa yang memerintahkan jihad adalah imam sedangkan umat Islam adalah pihak yang diseru dan dimobilisir (istinfar) atas ijin Imam. c), Nabi bersabda dalam hadits sahih, “Imam itu laksana pelindung. akan diperangi dibelakangnya.”[12] d) Nabi bersabda: “Apabila kalian disuruh berperang (oleh Imam), maka berangkatlah!”[13] Pelaksanaan jihad itu terjadi setelah ada perintah dari Imam atau pemerintah. Imam Nawawi menjelaskan maksud hadits ini: “Apabila sultan mengajak kalian berperang, maka pergilah!”[14]
Dari dalil nash di atas, maka Ibnu Qudamah menyatakan, “Hendaknya umat Islam tidak keluar untuk berperang kecuali atas ijin amir. Karena masalah perang diserahkan pada pemimpin kecuali apabila sulit meminta ijin karena ada serangan mendadak, maka dalam kondisi demikian tidak wajib meminta ijin karena kemaslahan menuntut untuk segera bertindak memerangi mereka (kaum kafir yang menginvasi).”[15]
Al-Qurtubi menyatakan, “Hendaknya tidak ada pasukan perang kecuali atas ijin Imam.”[16] Al-Buhuti dari ulama madzhab Hanbali menyatakan, “Tidak boleh berperang kecuali atas seijin amir. Karena ia lebih mengerti dalam masalah peperangan dan masalah ini menjadi otoritasnya.”[17]
Disyaratkannya ijin dari pemerintah atau penguasa ini sangat penting bagi siapapun yang ingin berjihad. Tanpa adanya restu dari pemerintah, maka jihadnya dianggap tidak sah, ilegal dan pelakunya tidak dianggap mati syahid apabila gugur dalam pertempuran. Kecuali, dalam situasi darurat di mana musuh sudah terlanjur masuk ke dalam suatu daerah muslim.[18]
Ketiga, ijin kedua orang tua. Orang tua harus dimintai ijin dalam jihad perang yang bersifat fardhu kifayah. Berdasarkan hadits dari Sahabat Ibnu Amr bin Al-Ash ia mengisahkan tentang kedatangan seorang pria pada Rasulullah yang meminta ijin untuk berjihad. Nabi bersabda, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup?” Laki-laki itu menjawab, “Ya.” Nabi bersabda, “Minta ijin keduanya, lalu berjihadlah!”[19] Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam menjelaskan makna hadits ini menyatakan: “Nabi mengkhususkan jihad fisik pada ridho kedua orang tua.. dan bahwa berbakti pada orang tua itu terkadang lebih utama daripada jihad.”[20]
Syarat Wajibnya Jihad
Walaupun jihad itu bersifat wajib baik fardhu kifayah, fardhu ain atau sunnah sesuai dengan kondisi sesuai konteksnya, namun hanya individu muslim tertentu yang memenuhi syarat saja yang diwajibkan untuk berjihad. Adapun syarat seorang muslim yang wajib berjihad ada enam yaitu beragama Islam, berakal sehat, baligh, laki-laki, sehat jasmani dan rohani, adanya nafkah.[21] Maka, jihad tidak wajib bagi non-muslim, anak-anak, orang gila, orang sakit, perempuan, dan yang tidak mampu dari segi nafkah.[22]
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menyatakan: “Disyaratkan untuk wajibnya berjihad tujuh syarat yaitu Islam, baligh, berakal sehat, merdeka, laki-laki, selamat dari sakit, adanya nafkah untuk diri sendiri dan kerabat yang wajib dinafkahi.”[23]
Prasyarat wajibnya jihad ini berdasarkan pada dalil Quran dan hadits sebagai berikut: pertama, Islam, maka tidak wajib jihad bagi nonmuslim. Dalam sebuh hadits diriwayatkan saat Rasulullah berangkat untuk perang Badar. Saat itu seorang pria nonmuslim mengikuti beliau. Nabi bertanya, “Apakah kamu beriman pada Allah dan Rasul-Nya?” Pria itu menjawab, “Tidak.” Nabi berkata, “Pulanglah, aku tidak akan meminta tolong pada orang musyrik.”[24]
Kedua, berakal sehat, maka tidak wajib bagi orang gila. Nabi bersabda: “Kewajiban tidak dibebankan pada tiga golongan: orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai baligh, orang gila sampai sembuh.”[25]
Ketiga, baligh, maka jihad tidak wajib bagi muslim di bawah umur. Ibnu Umar berkata: “Aku pernah dihadapkan kepada Rasulullah saat perang Uhud dan umurku baru 14 tahun, maka beliau tidak mengizinkanku. lalu aku dihadapkan kepada beliau saat perang Khandaq dan umurku 15 tahun, maka beliau mengizinkanku.”[26]
Keempat, laki-laki, maka wanita tidak wajib jihad. Aisyah berkata: “Wahai Nabi apakah perempuan wajib jihad?” Nabi menjawab, “Jihad yang bukan perang yaitu haji dan umroh.”[27]
Kelima, mampu atas biaya jihad meliputi membeli senjata, biaya untuk diri sendiri, keluarga di rumah dan lainnya. Dalam QS At-Taubah 9:91 Allah berfirman: “Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) … atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.”[28]
Keenam, mampu secara fisik, maka tidak wajib jihad bagi yang lemah. Dalam QS Al-Fath :17 Allah berfirman, “Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang).”[29]
Kesimpulan
Jihad perang yang bersifat defensif (difa’, istihlal) hukumnya fardhu ain, sedangkan jihad ofensif (thalab atau hujum) hukumnya fardhu kifayah menurut mayoritas ulama, dan sunnah menurut sebagian yang lain.[30] Terlepas dari perbedaan hukum dan ikhtilaf ulama dalam soal ini, mereka sepakat bahwa adanya ijin dari penguasa (Imam, Amir, Khalifah) dan kedua orang tua adalah mutlak diperlukan dan menjadi syarat absahnya jihad kecuali dalam situasi yang sangat daruat dalam konteks jihad defensif. Yang dimaksud Imam atau Amir atau Khalifah atau Sultan dalam literatur fiqih madzhab empat adalah kepala negara muslim yang terpilih secara sah dan konstitusional.[]
Footnote
[1] Yusuf Qardhawi dalam Fiqhul Jihad, hlm. 1/53.
[2] Sebagaimana dijelaskan secara detail dalam A. Fatih Syuhud, “Jihad dalam Islam (1): Jihad Besar” dan “Jihad dalam Islam (2): Jihad Kecil.”
[3] Dr. Ishom Al-Abd Zuhd dalam Al-Jihad fi Fikr Al-Imam Al-Qardhawi, hlm. 5.
[4] QS Al-Bayyinah :5. Teks asal: وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
[5] QS Az-Zumar :11. Teks asal: قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
[6] Hadits riwayat Muslim. Teks hadits: عن أبي موسى الأشعري أن رجلاً أعرابياً أتى النبي
فقال : يا رسول الله , الرجل يقاتل شجاعة ويقاتل حمية ويقاتل رياءً , أي ذلك في سبيل الله ؟ فقال رسول الله
من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله
[7] Al-Qurtubi dalam Al-Jamik li Ahkam Al-Quran, hlm. 5/177. Lihat juga: Ibnul Manashif Al-Qurtubi, Al-Injad fi Abwab Al-Jihad, hlm. 1/133.
[8] QS An-Nisa 4:59. Teks asal: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ
[9] Hadits riwayat Muslim. Teks asal: من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصى الله , ومن يطع الأمير فقد أطاعني , ومن يعص الأمير فقد عصاني
[10] QS An-Nisa 4:83. Teks asal: وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ
[11] QS At-Taubah 9:38. Teks asal:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّـهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ
[12] Hadits riwayat Bukhari. Teks asal: الإمام جُنَّة ، يُقاتَل من ورائه
[13] Hadits muttafaq alaih. Teks asal: إذا استُنفِرتم فانفروا
[14] Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, hlm. 9/128. Teks asal: معناه: إذا دعاكم السلطان إلى غزوٍ فاذهبوا
[15] Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, hlm. 10/390.
[16] Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurtubi dalam Tafsir Al-Qurtubi Al-Jamik li Ahkam Al-Quran, hlm. 5/177.
[17] Al-Buhuti dalam Kasyful Qina’, hlm. 3/72.
[18] Kata Imam, Ulil Amri, Khalifah dan Amir adalah sinonim (murodif) yang bermakna kepala negara dan jajarannya. Dalam Al-Majmu’ Syarah Muhadzab, hlm. 19/191, Imam Nawawi menyatakan bahwa kata-kata di atas adalah sinonim (mutaradifah) [والإمامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة]. Oleh karena itu, Imam Nawawi dalam Raudhah At-Tholibin, hlm. 7/269, menambahkan: “Boleh menyebut seorang Imam dengan sebutan Khalifah, Imam, Amirul Mukminin. Al-Mawardi berkata: ‘Imam disebut juga Khalifah Rasulullah’.” [يجوز أن يقال للإمام الخليفة والإمام وأمير المؤمنين قال الماوردي ويقال أيضا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم]
[19] Hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Teks asal: جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فاستأذنه في الجهاد فقال أحي والداك قال نعم قال ففيهما فجاهد
[20] Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, hlm. 6/163 . Teks asal: قوله : ( فيهما فجاهد ) أي خصصهما بجهاد النفس في رضاهما … وفيه أن بر الوالد قد يكون أفضل من الجهاد
[21] Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah, hlm. 2/437.
[22] QS At-Taubah 9:91 “Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” Lihat juga, QS Al-Fath 48 :17. Dan hadits riwayat muttafaq alaih dari Ibnu Umar ia berkata: عَرَضَنِي رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم يَوْمَ أُحُدٍ فِي القِتَالِ، وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَلَمْ يُجِزْنِي، وَعَرَضَنِي يَوْمَ الخَنْدَقِ، وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَأَجَازَنِي (intinya anak belum baligh tidak boleh ikut jihad). Hadits riwayat Bukhari dari Aisyah ia berkata: “يَا رَسُولَ الله، نَرَى الجِهَادَ أفْضَلَ العَمَلِ، أفَلا نُجَاهِدُ؟ قال: «لا، لَكِنَّ أفْضَلَ الجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ” (intinya, perempuan tidak wajib jihad).
[23] Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, hlm. 9/164. Teks asal: ويشترط لوجوب الجهاد سبعة شروط ; الإسلام ، والبلوغ ، والعقل ، والحرية ، والذكورية ، والسلامة من الضرر ، ووجود النفقة
[24] HR Muslim. Teks asal: أن النبي صلى الله عليه وسلم خرج إلى بدر فتبعه رجل من المشركين، فقال له: “تؤمن بالله ورسوله؟” قال: لا. قال: ” فارجع فلن أستعين بمشرك
[25] HR Abu Dawud dan Hakim. Menurut Hakim ini hadits sahih dengan syarat Muslim. Teks asal: رفع القلم عن ثلاثة: عن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يحتلم، وعن المجنون حتى يعقل
[26] HR Bukhari dan Muslim. Teks asal: عن بن عمر قال عرضت على النبي صلى الله عليه وسلم يوم أحد في القتال وأنا بن أربع عشرة سنة فلم يجزني وعرضت يوم الخندق وأنا بن خمس عشرة سنة فأجازني
[27] HR Ibnu Majah. Hadits ini disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah. Teks asal: قالت عائشة: يا رسول الله هل على النساء جهاد؟ فقال: “جهاد لا قتال فيه: الحج والعمرة
[28] QS At-Taubah 9:91
[29] QS Al-Fath :17.
[30] Lihat, A. Fatih Syuhud, “Jihad dalam Islam (2): Jihad Kecil”