fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Islam dan Yahudi: Musuh Bebuyutan?

Tradisi sentimen anti Yahudi berlanjut di Eropa barat pada periode berikutnya (lihatlah misalnya peristiwa terkenal Dreyfus di Prancis)
Oleh: A Fatih Syuhud
Dimuat di Duta Masyarakat, Edisi 2002

Fakta sejarah menunjukkan, banyak Yahudi yang melarikan diri kenegara-negara Muslim di Afrika Utara, atau Turki Osmani. Mereka umumnya dapat hidup dengan damai. Di sisi lain, peran signifikan yang dimainkan oleh Yahudi di pengadilan Turki Osmani pada abad
keenam belas dan ketujubelas terekam cukup luas dalam sejarah.

Sejak terpilihnya Ariel Sharon sebagai Perdana Menteri Israel, dengan konsekuensi semakin memburuknya konflik di Timur Tengah, sejumlah negara Eropa telah melihat
terjadinya serangan-serangan anti Yahudi, yang biasanya diduga dilakukan oleh grup dari Afrika Utara atau Turki.

Seorang juru bicara untuk sebuah grup Yahudi mengkhawatirkan terjadinya sebuah ‘Kristallnacht’ baru, malam ketika serial serangan brutal dilakukan terhadap Yahudi di Jerman era Nazi. Dalam keseluruhan refleksi, tampak bahwa ketegangan Muslim-Yahudi
dianggap sebagai data historis. Akan tetapi dengan sedikit meninjau refleksi historis akan tampak jelas bahwa kenyataannya tidaklah demikian.Sentimen anti-Yahudi secara faktual historis justru terjadi dan dilakukan oleh pihak Kristen Barat sejak
abad pertengahan. Banyak negara Eropa Barat melakukan sanksi sosial terhadap Yahudi pada era Perang Salib, dan sentimen ini semakin memburuk pada periode abad 14 dan 15 masehi. Di Eropa tengah, di daerah yang kemudian bernama Jerman, terdapat contoh-contoh yang terekam sejarah akan adanya tuduhan ‘tumbal darah’, klaim bahwa Yahudi mempraktekkan ritus pengorbanan anak-anak Kristen. Rumor semacam itu sering berakhir
dengan serangan pada orang-orang Yahudi.

Di Prancis, Spanyol dan Portugis, Yahudi menikmati posisi-posisi bergengsi sebagai bankir, astrolog, atau intelektual, akan tetapi pada waktu yang sama mereka juga menjadi obyek ketidak percayaan dan fitnah. Sebaliknya, situasi Yahudi di sejumlah kerajaan besar Muslim pada abad pertengahan secara umum sangatlah bergengsi, sebagaimana juga di India (kecuali di Goa dan Kochi yang saat ini di bawah jajahan Portugis).

Kontradiksi yang terjadi antara perlakuan terhadap Yahudi oleh Kristen dan Muslim menjadi semakin tampak setelah Yahudi diusir dari Spanyol pada tahun 1492, dan konversi paksa menjadi Kristen di Portugis pada tahun 1497. Pada saat itu, banyak Yahudi yang melarikan diri ke negara-negara Muslim di Afrika Utara, atau Turki Osmani, di mana mereka umumnya dapat hidup dengan damai. Di sisi lain, peran signifikan yang dimainkan oleh Yahudi di pengadilan Turki Osmani pada abad keenambelas dan ketujubelas terekam cukup luas dalam sejarah.

Tradisi sentimen anti Yahudi berlanjut di Eropa barat pada periode berikutnya (lihatlah misalnya peristiwa terkenal Dreyfus di Prancis), dan juga umum terjadi di
Eropa timur dan Rusia. Secara paradoks, pada sekitar tahun 1900, Kaisar Jerman sering dianggap oleh Yahudi sebagai penguasa yang relatif liberal dibandingkan dengan kebanyakan negara-negara Eropa lainnya, khususnya Tsar Rusia. Di sisi lain, negara-negara Dunia Baru, seperti Amerika Serikat, Brazil, atau negara-negara lain, tidak tampak melakukan semacam diskriminasi aktif seperti yang terjadi di Eropa. Kendatipun Yahudi agak dicurigai oleh Kristen konservatif Amerika, akan tetapi target utama
kekerasan sosial sistematis di AS, secara historis, adalah kaum kulit hitam yang populer disebut Afrika-Amerika.

Tradisi lama anti Yahudi, yang terjadi di barat, khususnya Kristen, tidak bisa secara komprehensif menjelaskan kekerasan ekstrim holoscaust, akan tetapi merupakan faktor penting dalam menjelaskan kepasifan banyak penduduk Eropa dalam konteks ini. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa, sampai tahun 1900, tidak ada tradisi konflik antara Yahudi dan Muslim.

Tradisi kebencian Muslim-Yahudi ini tampaknya baru mulai pada pendudukan pertama Zionis di Palestina, dan semakin memburuk setelah Deklarasi Balfour pada 1916,
dan kemudian pembentukan negara Israel, sampai pada tahap kedua pihak saat ini dipandang sebagai antagonis ‘natural’. Banyak Muslim yang tinggal jauh dari
konflik-seperti mereka yang berada di Asia Selatan dan Asia tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia-mendukung sikap anti Yahudi yang mereka justifikasi dengan persepsi kebijakan Israel.

Ini merupakan sebuah kasus ‘transfer’ yang jelas dan unik dalam sejarah, di mana garis kelabu historis dari konflik Yahudi-Kristen dengan sangat sukses berganti
menjadi konflik Yahudi-Muslim. Sementara konflik pertama berdasarkan pada praduga dan prototipe agama, tidak terdapat kontradiksi agama yang riil yang mendasari dan tidak ada perang persepsi dan citra antara Yahudi-Muslim. Sebaliknya, sejumlah sarjana
berpengaruh (orientalis) berpandapat bahwa pada awal mula Islam banyak berhutang pada Yahudi, dan pada saat yang sama banyak praktek sosial Yahudi dipengaruhi
oleh Muslim yang disebabkan oleh kebersamaan mereka di Spanyol pada abad pertengahan. Kandungan sentimen anti Muslim di antara kaum Yahudi konservatif saat ini sebenarnya merefleksikan penyerapan paradoks propaganda anti Muslim yang diciptakan oleh Kristen
barat sejak masa Perang Salib.

Oleh karena itu, menarik untuk dicatat bagaimana setengah abad setelah peristiwa holocaust? Pertanggungjawaban Eropa dalam soal ini secara licik dielakkan dengan cara menjadikan Muslim seluruh dunia musuh utama Yahudi. Ini bukanlah konspirasi,
setidaknya menurut penulis, karena tidak ada satupun konspirasi yang dapat direkayasa sedemikian brilian. Fenomena ini tak lebih dari sebuah proses yang sangat kompleks yang merupakan kombinasi dari geo-politik, scholarship akademis, imej media, dan persepsi umum.

Kendatipun begitu, peran sejumlah unsur nampak jelas. Penulis Eropa Konservatif yang dekat dengan kalangan Gereja Katolik – dan berusaha keras mempertahankan rekor buruk peran Gereja mereka dalam peristiwa holocaust – adalah di antara ‘unsur-unsur’ awal yang mengklaim adanya tradisi kesamaan Yahudi-Kristen yang terpisah dari Islam. Penulis-penulis ini, yang dapat kita temukan di antara angota korp pers Eropa yang
meliput Asia Selatan, khususnya India, dan Asia Tenggara bahkan rela membuat common cause dengan Hindu ekstrim dengan pendekatan ‘clash of civilisations’.

Baik Israel maupun Palestina keduanya merupakan pihak yang kalah dalam situasi di Timur Tengah saat ini; tetapi kita bisa juga bertanya pada mereka siapakah yang keluar sebagai pemenang?[]

Kembali ke Atas