Hukuman Mati, Masih Relevankah?
Hukuman Mati, Masih Relevankah untuk diterapkan pada saat ini? Terutama terhadap kejahatan luar biasa seperti pengedar narkoba dan koruptor kakap?
Oleh A. Fatih Syuhud
Dimuat di Jawa Pos, Senin, 08 Sept 2003
Sudah umum diketahui bahwa hukuman gantung, guillotine (potong leher), dan hukuman cambuk di pusat kota menjadi pemandangan umum sampai akhir abad ke-19, termasuk di Eropa. Tidak hanya kalangan anak-anak miskin dan marginal yang bersorak-sorai menyaksikan pemandangan kematian tersebut. Thomas Cook & Co justru mengorganisasi sebuah tur di Paris pada akhir abad ke-19 yang menjadikan hukuman guillotine sebagai salah satu atraksi menarik.
Setelah itu, banyak negara Eropa yang maju selangkah dengan melarang eksekusi publik serta hukuman mati. Sayangnya, hukuman mati terus berlanjut dipraktikkan di banyak negara sampai saat ini. Itu bukanlah hukuman mati seakan-akan dilarang karena rakyat biasa di negara-negara ini dipenuhi rasa antipati terhadap hukuman mati.Di Inggris, hukuman tersebut dilarang, terutama karena adanya kampanye antihukuman mati yang dilakukan Charles Dicken melalui harian The Times yang berakibat pada pelarangan eksekusi negara. Opini massa (istilah sosiologis, eksekutif, dan yudikatif) tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan hukuman mati tersebut. Untungnya, opini reflektif yang tercerahkan telah berdampak pada para pembuat kebijakan dan berhasil mengakhiri hukuman mati di Inggris.
Hal itu menunjukkan bahwa opini massa memiliki sejumlah keterbatasan dan perbedaan dengan opini publik. Apabila kita hendak menunggu opini massa untuk berubah pikiran tentang hukuman mati, mungkin perubahan tersebut tidak akan terjadi. Tetapi, opini publik merupakan sesuatu yang berbeda.
Opini publik merupakan usaha yang disengaja yang tidak sama dengan opini massa. Opini publik diciptakan di bawah kondisi spesifik, di mana informasi tersedia secara luas dan berbagai keputusan diambil secara transparan dengan memperhatikan permasalahan yang paling rentan di masyarakat.
DPR merupakan lembaga sempurna untuk membuat opini publik. Sebab, anggota-anggota DPR bisa mengakses dan menyebarkan informasi lebih dari institusi-institusi lainnya. Perguruan tinggi juga bisa menjadi peranti terciptanya opini publik, sebagaimana juga penulis semacam Charles Dickens di Inggris, cendekiawan, dan lain lain dari kalangan akademis.
Dalam seluruh contoh tersebut, akses tinggi pada informasi dan kemampuan untuk berpikir di atas kepuasan semu serta terlepas dari prinsip kebencian merupakan bahan kritikal untuk terciptanya formasi opini publik yang efektif.
Saat ini, telah umum diketahui bahwa teori keadilan retribusi “darah dibalas dengan darah” tidak berfungsi efektif. Namun, opini massa tetap mempercayai efektivitas sistem tersebut. Tidak hanya logika atas hukuman simetris itu berakibat pada spiralisasi permusuhan seperti yang terjadi pada abad pertengahan. Lebih dari itu, rasa sakit pada korban dan hukuman pada pelaku tindak kejahatan tidak dilihat dalam dimensi sosialnya.
Mungkin, itulah alasan mengapa keadilan retribusi sangat efektif dalam konteks abad pertengahan, di mana perasaan publik secara umum tidak diperhatikan serta dianggap. Yakni, opini massa yang dewasa ini belum merevisi secara kritis rasa keadilan menjadi bukti bahwa opini publik perlu dilakukan secara sengaja dan tidak timbul secara spontan.
Selain memelihara titik lemah teori keadilan retribusi, opini massa berpendapat bahwa hukuman mati bertujuan sebagai langkah preventif (deterrent). Alasan itu juga penuh ketidakpedulian dan kurangnya rasa konsen bagi mereka yang tidak berada dalam lingkup keluarga serta teman. Dalam rangka membuat kesan dalam kerangka pemikiran itu, secara luas harus diketahui bahwa di negara-negara bagian di Amerika, di mana hukuman mati diberlakukan, belum pernah terlihat adanya penyusutan kasus pembunuhan.
Sebaliknya, negara-negara yang tidak memberlakukan hukuman mati dan melarang hukuman itu sejak beberapa dekade (misalnya, di Kanada) ternyata memiliki angka kriminal pembunuhan yang jauh lebih rendah dibandingkan Amerika.
Opini massa mencoba mencari metode hukuman yang lebih beradab dengan cara memberlakukan eksekusi yang tidak begitu menyiksa. Hal itu berujung pada penggunaan guillotine pada abad ke-18. Korban pertama guillotine adalah Nicolas-Jacques Pelletier yang dieksekusi pada 1792. Eksekusi tersebut dipuji berbagai media massa saat itu karena merupakan eksekusi yang cepat dan bersih. Ketika kepala Charles I dipancung, Andrew Marvell mengungkapkannya dalam bentuk puisi.
Dewasa ini, mayoritas orang akan cenderung memilih suntikan mati atau kursi listrik daripada digantung atau dilempari batu. Mereka semakin takut melihat ceceran darah segar dan kental yang mengalir saat eksekusi berlangsung. Mereka mungkin juga tidak suka dengan adanya fakta bahwa hanya orang gelandangan, orang sadis, dan orang kurang pendidikan saja yang tertarik menyaksikan eksekusi publik.
Bahkan, mereka mungkin juga mendukung hukuman yang relatif tidak menyakitkan pada pelaku pembunuhan. Yang terlepas dari perhatian opini massa yang pro-hukuman mati adalah baik teori retribusi maupun rasa takut saat dieksekusi sama-sama tidak akan melemahkan hati dan determinasi sang pembunuh. Yang lebih buruk, opini massa tidak peduli sama sekali terhadap kemungkinan nasib seseorang yang secara salah telah dihukum mati.
Sebagian kalangan politisi beralasan, kediaman mereka karena tidak memiliki dukungan cukup untuk menghapus hukuman mati sebenarnya merupakan alasan yang tidak bertanggung jawab dan dicari-cari. Demokrasi tidak bermakna ketundukan terhadap opini massa, tetapi identik dengan menciptakan opini publik. Hal itu bergantung pada kalangan politisi tersebut untuk menyerah dalam keputusasaan atau berani tampil beda.
Mereka bisa melakukan perubahan dengan cara menyebarkan informasi dan mendorong sikap reflektif pada kebijakan sosial. Mereka hendaknya memberikan penerangan pada masyarakat bahwa hukuman mati tidak akan memperkecil angka kriminalitas dan mendorong publik untuk berkontemplasi pada tragedi terburuk ketika seseorang yang ternyata tidak bersalah dihukum mati.
Baru-baru ini, di Inggris diketahui bahwa dua terdakwa hukuman mati kasus pembunuhan yang terjadi beberapa dekade lalu ternyata tidak bersalah. Jelas, proses pengadilan tidak bisa membalik nasib terpidana mati itu untuk kembali hidup. Tetapi, fakta kedua terpidana tersebut yang dinyatakan tidak bersalah setelah puluhan tahun setidaknya membantu mengangkat harkat kehormatan keluarga mereka.
Dan, pada waktu yang sama, keputusan tersebut semakin menambah rasa sedih dan marah keluarganya. Bisa dibayangkan bila kita menjadi salah seorang keluarga tersebut. Atau dalam skenario terburuk, bayangkanlah bila ternyata kita sendiri yang tidak bersalah menjadi salah satu terpidana mati dan eksekusi sudah dilaksanakan.
Opini massa bisa beralasan karena kurangnya informasi, sehingga tidak reflektif. Tetapi, hal itu bukan merupakan pekerjaan mereka untuk membuat dan membentuk opini publik. Kalangan anggota dewan dan figur publik profesional tidak bisa mengklaim bahwa mereka tidak memiliki informasi. Tidak juga bisa beralasan bahwa memikirkan skenario terburuk proses pengadilan bukan merupakan tugas mereka. Sebagai representatif demokrasi, mereka harus sensitif pada suatu situasi ketika rakyat tidak bersalah menderita akibat kesalahan pengadilan.
Karakter simplistik dari opini massa jelas sangat berbahaya. Pola pikir simplistik itulah yang mendukung tidak hanya terjadinya hukuman mati, tetapi juga pembunuhan masal seperti yang terjadi pada masa G30S/PKI dan pembunuhan misterius (petrus) pada masa Orba. Seorang demokrat, di mana pun, hendaknya menyadari bahwa hukuman mati sering dimanfaatkan untuk menumpas lawan-lawan politik di bawah kondisi yang sangat tidak demokratis.
Karena itu, sudah waktunya opini publik mengoreksi opini massa dalam hal hukuman mati dengan cara debat terbuka serta transparan, di mana setiap warga negara dilindungi seandainya pengadilan bertindak salah.[]