Eropa dan Spektrum Politik AS
Oleh A Fatih Syuhud
Harian Pelita, 4 Juli 2004
Salah satu mitos dominan dalam hubungan transatlantik adalah bahwa kedua belah pihak memiliki persamaan kultur dan nilai dan karena itu akan tetap menjadi sahabat dan aliansi. Sebagaimana terbukti dari hasil muhibah Presiden George W. Bush ke Eropa, kultur dan nilai AS dan Eropa ternyata sangatlah berbeda. Apa yang mengikat mereka dalam kebersamaan pada level tertentu adalah pakta pertahanan Atlantik Utara (NATO), dan di atas segalanya, jaringan hubungan perdagangan dan ekonomi.
Bagi George Bush, kunjungan resmi ini merupakan usaha rujuk setelah terjadinya krisis akibat keputusan AS menginvasi Irak, Eropa pun tampak tidak ingin terlihat tak ramah sebagai tuan rumah. Tetapi, apa yang kita lihat adalah pihak AS tidak memberikan apa-apa begitu juga Eropa. Yang signifikan justru kejutan intervensi Kanselir Jerman Gerhard Schroeder yang mengisyaratkan bahwa NATO tak lagi berfungsi sebagai forum untuk pembuatan keputusan tentang isu-isu besar transatlantik. Ini semacam tamparan pada sebuah organisasi yang selama ini menjadi instrumen AS untuk menancapkan pengaruhnya di Eropa.
Memang, kalangan skeptik Eropa pun menawarkan diri untuk melatih aparat keamanan Irak, walaupun kebanyakan berlokasi di luar Irak, dan membuat kontribusi finansial lumayan sambil dengan enggan menerima persetujuan NATO (Prancis akan mengirim satu pejabat ke Irak). Akan tetapi, suara kalangan Eropa yang berpengaruh – Prancis dan Jerman—bernada keramahan semu, yang menggambarkan adanya ketegangan. Bush melakukan lip service pada Eropa yang bersatu, dengan tidak lagi membagi benua itu dengan gelar Eropa muda dan tua, seperti yang pernah dikatakan Menhan AS Donald Rumsfeld.
Status AS dalam sejarah digambarkan sebagai Imperium Romawi Kedua, akan tetapi tidak pernah terjadi sebuah bangsa yang mengklaim memiliki hak sakral untuk mengatur dunia guna menyebarkan demokrasi dan kebebasan seperti AS.
Argumen Bush adalah karena kelompok teroris telah melukai negerinya pada 11/9/01, maka AS tidak hanya akan menyatakan perang pada terorisme tetapi juga berkewajiban untuk memikul beban penyebaran demokrasi di Timur Tengah, lahan subur terorisme, untuk mengamankan negaranya. Dan seperti ditunjukkan di Afghanistan dan, lebih kontroversial lagi, di Irak, satu metode dalam melakukan perang baru harus melalui invasi dan serangan preventif. Serangan-serangan semacam itu tidak akan terbatas pada memerangi terorisme tetapi juga meluas maknanya dengan mencegah negara manapun yang berani menantang supremasi keadidayaan AS saat ini dan di masa datang.
Di sisi lain, Eropa pada paruh kedua abad 20 dalam proses menjauh dari peperangan dan penjajahan. Eropa disibukkan dengan eksperimen penyerahan kedaulatan setiap negara-bangsa untuk menjalankan sebuah organisasi unik yang melarutkan konflik menjadi penyatuan Jerman ke dalam jaringan hubungan kerja sama. Lebih signifikan lagi, reunifikasi Jerman dicapai tanpa huru hara.Harus diakui perpecahan juga terjadi dalam tubuh Eropa dalam level tahapan benua ini ke depan. Tetapi yang terpenting adalah sejauh mana Uni Eropa (UE) saat ini telah melangkah.
Selama Perang Dingin, Eropa dan dunia harus mengikuti logika MAD (mutual assured destruction). Eropa berada di bawah payung proteksi AS sambil membangun jaringan ekonominya sendiri. Akan tetapi, begitu Uni Soviet lenyap dan tembok Berlin ambruk, Eropa bernapas bebas dan ingin keluar dari kontrol AS.
Reunifikasi Jerman tidak mungkin terjadi tanpa bantuan dan dukungan AS. Kesalahan fatal Eropa yang terjadi atas dorongan AS adalah ketika menyepakati pemecahan kembali Eropa dengan memperluas NATO, yang mengganggu kepentingan Moskow. Bagi Presiden Bill Clinton, hal itu merupakan tindakan logis karena NATO menjadi instrumen utama menancapkan pengaruh AS di Eropa; bagi Eropa sendiri, langkah tersebut telah membahayakan prospek memasukkan Rusia dalam kerangka yang seperti pernah digambarkan Mikhail Gorbachev sebagai rumah bersama bangsa Eropa.
Konsep negara egalitarian Eropa Barat yang dikembangkan setelah bertahun-tahun proses rekonstruksi menyusul puing-puing Perang Dunia II merupakan titik mula signifikan dalam model pemerintahan di seluruh dunia. Ia mencapai apa yang gagal dicoba dan lakukan oleh negara-negara komunis. Dan setelah akhir Perang Dingin, UE menikmati era damai dengan kalangan yang dulunya musuh bebuyutan, walaupun benua ini masih bergumul dengan warisan masa lalu seperti kekerasan dan perpecahan di Yugoslavia di mana Eropa meminta bantuan AS. Kelemahan Eropa dalam menangani krisis Balkan di kemudian hari menjadi pendorong pembentukan pasukan Eropa di luar NATO.
Tragedi 11/9 mengagetkan Eropa karena tragedi ini dianggap mewakili bahaya bersama bagi Barat dan peradaban itu sendiri. Waktu itu Eropa tidak begitu menyadari sampai sejauh mana AS telah melangkah dalam visinya untuk mendominasi dunia. Awalnya, Eropa berusaha keras menerima kenyataan itu. Akan tetapi, akhirnya ia tak lagi mampu menerima arogansi luar biasa AS yang secara unilateral melancarkan perang atas Irak.
Adalah jaringan perdagangan dan hubungan ekonomi yang menyelamatkan aliansi transatlantik. Terdapat sejumlah negara Eropa “baru” versi deskripsi AS yang hendak menyenangkan pemerintahan Bush, baik karena ketakutan historik mereka atas Rusia atau demi alasan oportunistik semata. Akan tetapi senyum dingin yang menyambut Bush di Eropa – satu-satunya negara yang menampakkan kehangatan adalah Slovakia “baru” – bermakna cukup mendalam.
Apakah akan muncul titik temu antara Eropa dan AS akan tergantung pada sejauh mana warisan sikap Bush bertahan dalam spektrum politik AS ke depan. Tidak semua rakyat AS terdiri dari neokonservatif atau kelompok kanan Kristen evangelist. Tetapi, tampaknya mereka, semuanya, terpedaya dengan sikap takabur dan keyakinan bahwa Amerika tidak hanya yang terhebat dalam sejarah peradaban umat manusia tetapi juga memiliki anugerah kebesaran dan keadidayaan sepanjang zaman.[]
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University, India