Rezim Baru, Resistansi, dan Prospek Perdamaian Irak
Oleh : A Fatih Syuhud
Republika, Selasa, 03 Mei 2005
Hampir tiga bulan setelah pemilu kontroversial, Irak berhasil membentuk pemerintah baru. Pada 7 April, Ibrahim Jaafari, tokoh Syiah, menjadi perdana menteri. Namanya diumumnya pada hari yang sama dengan pelantikan Jalal Talabani, dari suku Kurdi, dilantik sebagai presiden, bersama dengan dua wakil presiden. Acara pelantikan dilakukan di kawasan yang dijaga ketat yang dikenal dengan green zone, sebuah kawasan sensitif yang selalu menjadi target serangan kalangan gerilyawan selama dua tahun masa pendudukan asing di bawah pimpinan Amerika Serikat (AS).
Tampilnya pemerintahan baru mencerminkan hasil dari pemilu 30 Januari, di mana Syiah dan suku Kurdi muncul sebagai pemain dominan. Organisasi payung kalangan Syiah, United Iraqi Alliance (UIA), mengantongi 148 kursi dari 275 kursi Parlemen yang diperebutkan, sedangkan aliansi Kurdi mendapat 77 kursi. Konsekuensinya, jabatan eksekutif perdana menteri, yang akan menikmati kekuasaan maksimum, jatuh ke tangan Syiah sementara Kurdi mendapat kursi presiden yang mirip dengan jabatan MPR di kita era Soeharto.Pemerintahan baru ini mencoba menampung aspirasi Sunni, komunitas kedua terbesar di Irak, yang umumnya memboikot pemilu. Ghazi Al Yawar, seorang Sunni, ditunjuk sebagai salah satu wakil presiden. Hajim Al Hassani, juga Sunni, menjadi ketua parlemen. Pada 15 Agustus, parlemen akan merancang konstitusi baru, pemilu berikutnya, menurut jadwal yang ada, akan diadakan pada Desember tahun ini.
Kekuatan oposisi
Berbeda dengan ekspektasi yang didengungkan media mainstream, formasi pemerintahan baru kemungkinan tidak akan berdampak pada perdamaian abadi di negara kaya sumber daya alam ini. Apabila rezim baru tidak bergerak cepat mengangkat berbagai isu yang berdampak buruk pada masyarakat Irak dan berani melawan otoritas pendudukan AS melalui mobilisasi masal, maka perlawanan bersenjata atas pendudukan AS dan koalisinya tidak akan berkurang, untuk tidak mengatakan meningkat.
Kelompok Sunni selama ini menjadi pemicu resistensi Irak, walaupun kalangan Syiah yang loyal pada klerikal muda Moqtada Al Sadr telah dua kali melakukan perlawanan terbuka melawan pasukan pendudukan. Perlawanan tahun lalu telah memicu operasi besar-besaran oleh AS di kawasan Syiah di Najaf dan Sadr City, Baghdad.
Saat ini sudah umum diketahui bahwa masyarakat Irak yang memilih pada 30 Januari melihat pemilu tersebut sebagai peluang besar untuk mengakhiri pendudukan AS. Dalam menanggapi sentimen populer itu, UIA menuntut penarikan mundur AS dan menjadikan tuntutan itu sebagai prioritas utama dalam manifesto kampanye pemilunya. Aliansi Syiah mengatakan ia akan memulai negosiasi dengan pasukan pendudukan untuk menentukan jadual penarikan mundur.
UIA saat ini berada dalam tekanan untuk memenuhi janjinya. Association of Muslim Scholars (AMS), sebuah kelompok agama kalangan Sunni yang sangat berpengaruh yang memiliki pengaruh besar di kalangan gerilyawan, telah menyatakan beberapa kali bahwa pemerintah baru hendaknya menentukan jadual bagi penarikan mundur pasukan AS dari Irak. Kelompok Moqtada Al Sadr juga menyepakati seruan kalangan Sunni atas batas waktu keberadaan pasukan AS di Irak.
Aliansi baru
Tekanan pada rezim baru kemungkinan akan semakin meningkat karena kalangan Sunni tidak terlalu setuju dengan penunjukan Hassani sebagai ketua parlemen. Walaupun seorang Sunni, track record-nya tampaknya tidak begitu meyakinkan dan tidak mewakili aspirasi komunitas Sunni. Latar belakangnya menunjukkan bahwa dia dulunya seorang simpatisan Ikhwanul Muslimin, kelompok Islami konservatif yang berambisi politik.
Oleh karena itu, kalangan Sunni sekuler agak kuatir. Di sisi lain, Hassani juga pernah tinggal lama di pengasingan di AS. Pergaulannya dengan kalangan pejabat Amerika membuat citranya kurang bagus di mata kalangan Sunni awam.
Di samping itu, ketika Hassani menangani krisis di Fallujah, yang berakibat bombardir brutal AS di kota itu, juga tampaknya telah semakin menjauhkannya dari massa. Hassani juga menolak mengundurkan diri dari pemerintahan interim, di mana dia menjabat sebagai menteri industri, kendati dituntut melakukan itu oleh Partai Islam Irak (PII), menyusul serangan Nopember 2004. Akibatnya, PII, yang populer di kalangan Sunni, memecatnya. UIA sampai saat ini mencoba tidak bersikap frontal pada AS, dengan menghindari menentukan jadwal pasti bagi penarikan mundur pasukan AS.
Sementara itu, sebuah aliansi baru muncul menantang keberadaan AS. Pada 15 Februari, Anti-Occupation Patriotic Forces (AOPF) –pasukan patriotik anti-pendudukan–mengumumkan kemunculannya dan mengeluarkan tujuh tuntutan. Kelompok baru ini mendapat dukungan penuh dari AMS dan kelompok Moqtada Al Sadr.
Yang lebih signifikan, AOPF juga didukung oleh beberapa konstituen yang berasal dari luar lingkungan ideologi Islam, seperti kalangan sekuler, kaum kiri dan sejumlah gerakan perempuan. Salah satu tuntutannya adalah jadwal penarikan mundur AS dan sekutunya yang jelas, tepat, diumumkan di depan publik dan terikat di bawah jaminan internasional. Aliansi baru ini menekankan bahwa rakyat Irak harus memiliki kedaulatan penuh di negaranya.
Dengan demikian, AOPF menentang rencana AS yang ingin membuat keberadaan militernya di Irak bersifat permanen dalam bentuk sejumlah basis militer. AMS secara publik mendukung seruan Al Sadr pada 9 April untuk mengadakan protes masal atas pendudukan AS. Keberadaan aliansi resistansi baru dalam AOPF, yang beraroma nonsektarian dan nonpartisan, akan dapat mengangkat prestis kekuatan perlawanan lebih bermakna dan bernuansa politik baru pada bulan-bulan mendatang.
Dengan kata lain, perdamaian komprehensif di Irak masih akan sangat tergantung pada kesediaan AS untuk menarik mundur pasukannya, memberikan kedaulatan sepenuhnya pada pemerintahan terpilih dan memindahkan mandat pengawasan sementara pada pasukan internasional di bawah bendera PBB sampai negara ini mampu berdikari dalam proses restrukturisasi militer dan aparat keamanan lainnya. Sebelum semua itu terjadi, Indonesia dengan spirit KAA yang antikolonialisme hendaknya tidak memberikan legitimasi apapun pada rezim yang baru kendati harus menghadapi tekanan seberat apapun dari AS.
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University, India