fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Bom Bunuh Diri: Kasus Irak

Oleh A. FATIH SYUHUD
Pikiran Rakyat, Selasa, 14 September 2004

APA yang membuat seorang Muslim biasa berubah menjadi tentara pasukan bayangan, atau, dalam kasus ekstrem, misi bunuh diri potensial? Harus ditekankan di sini bahwa kita sedang membahas individu biasa, bukan kelompok fanatik. Setiap agama, setiap masyarakat, setiap bangsa sama-sama memiliki kelompok fanatik –rasis atau ideolog gila yang percaya mereka dapat mencapai fantasinya dengan penggunaan teror. Sebagai contoh, kalangan awam Amerika tahu bahwa doktrin supremasi kulit putih secara moral salah. Tak perlu sekolah untuk tahu hal ini. Mungkin Gedung Putih-nya Bush lupa betapa murni simpati yang diterima Amerika dari umat dan bangsa-bangsa Muslim setelah 11/9. Tak ada manusia waras yang mendukung kekejaman dan kematian orang tak berdosa. Tak ada perjuangan yang dapat menghalalkan ketidakadilan.

Jadi, mengapa layar televisi dipenuhi gambar kaum muda Muslim yang mengangkat senjata? Jawabnya mungkin terletak pada kalimat di atas: tak ada perjuangan yang dapat menghalalkan ketidakadilan.

Sebuah kisah selalu mengandung dua sisi. Israel memiliki hak untuk eksis sebagaimana juga bangsa Arab, tetapi di saat alasan self-defence Israel menjadi aksi penganiayaan brutal terhadap rakyat Palestina, maka kita tahu garis moral telah tercerabut dan di balik garis moral itulah misi bunuh diri menunggu, siap mengorbankan nyawa. Adalah sah-sah saja mengecam Saddam Hussein sebagai diktator kejam, tetapi ketika kemarahan terhadap despotisme menjadi selektif, dan ketika Saddam menjadi alasan untuk pendudukan dan neokolonialisme, maka kita tahu bahwa sebuah garis moral telah diseberangi.

Adalah natural bahwa seorang pemeluk agama akan mencari sumber inspirasi dari agama yang dipeluknya, karena agama menjadi ukuran standar moralnya. Ini berlaku pada semua agama. Ketika seorang TNI Nasrani meminta berkat gereja, dia berhak melakukan itu, sebagaimana berhaknya TNI Muslim berdoa pada Allah. Pada siapa lagi Syed Muqtada Al Sadr berpaling kecuali pada Allah? Setidaknya dia memiliki hak yang sama untuk berpaling ke Allah sebagaimana George W. Bush ketika dia mengklaim bahwa Tuhan memintanya menginvasi Irak.

Pendapat bahwa justifikasi invasi paling kecil pun sudah habis dengan lengsernya Saddam, saat ini semakin meningkat di AS. Anne Barnard dalam International Herald Tribune (12/08/04) melaporkan mood yang berkembang di kalangan marinir yang pergi ke Irak dengan alasan menyelamatkan Irak demi demokrasi dan lain-lain. Judul headline laporan dari Ramadi terkesan lebih pantas menjadi jawaban daripada pertanyaan: Tentara AS di Irak bertanya: Mengapa kita di sini? Kopral Anthony Robert, 21 tahun, paham betul apa yang sedang dia hadapi. “Rakyat Irak muak dengan keberadaan kita di sini. Sama halnya apabila seseorang datang ke AS dan mencoba mengambil alih. Kita tahu apa yang akan kita lakukan”.

Orang awam akan melakukan apa yang harus mereka lakukan. Patriotisme adalah kekuatan kalangan awam, anak muda yang dulunya hanya berkeinginan dapat kerja yang baik, istri cantik, dan anak-anak yang lucu. Rakyat awam dengan mimpi-mimpi sederhana telah menjadi pejuang luar biasa di Najaf dan Falluja. Teori propagandis tidak akan cocok untuk mereka, walaupun diulang jutaan kali di media-media yang terkooptasi. Di manakah perpecahan Syiah-Sunni yang oleh ahli strategis Pentagon diharapkan muncul? Perpecahan semacam itu mencair dalam kesamaan tujuan. Ia ada, tapi dalam konteks berbeda. Ia mungkin kembali, tetapi setelah api invasi ini padam.

Media “independen” pun berubah menjadi kontraproduktif. AS melarang televisi Al Jazeera beroperasi di Irak karena mereka tidak ingin Al Jazeera melaporkan secara gamblang serangan ofensif AS terhadap Muqtada Al Sadr dan masjid Imam Ali. Jadi, apa yang dilakukan media “kooperatif” semacam televisi Al Arabiya pada hari Jumat 13 Agustus dini hari? Ia menyebut “Sayyid” Muqtada Al Sadr setiap lima detik. Penekanan kata “sayyid” mengindikasikan bahwa Sadr berasal dari keluarga Nabi. “Jihad”-nya Al Sadr mendominasi berita dan tak lupa ditayangkan sejumlah demonstrasi anti-Amerika di seluruh dunia Arab setelah salat Jumat. Sementara itu Al Jazeera telah kehilangan berita berharga tetapi kredibilitasnya semakin meningkat.

Ketidakpedulian dan insensitivitas sejumlah negara pada sentimen Muslim mengindikasikan pelecehan yang hampir terang-terangan. Kalangan pemerintah semestinya bertanggungjawab, dan apabila hal ini adalah petunjuk mereka siapa yang dapat menyalahkan segala informasi yang dicurahkan oleh intelijen yang mengakibatkan terjadinya kampanye kebencian yang semakin meningkat hari demi hari? Saat ini, sebuah buku baru sudah terbit. Distributornya adalah Barnes and Noble, jaringan toko buku terbesar di AS dan Amazon.com, berjudul Muhammad: Prophet of Doom, ditulis oleh Craig Winn. Rekan-rekan yang sudah membaca buku ini menggambarkan isinya hanya dipenuhi kecaman tajam bombastis dan tidak akurat. Memang, kita tidak dapat menyetop kelompok fanatik menulis karangan sampah, tetapi ketika buku semacam itu berada di rak-rak buku pertokoan Barnes and Noble ia bermakna bahwa isinya mendapat dukungan orang-orang yang tidak akan menganggap dirinya sebagai fanatik.

Muslim sering merasa kesulitan untuk mengerti mengapa kalangan fanatik merasa nikmat membuat penghinaan terhadap individu seorang Nabi. Kalangan fanatik buta juga terdapat di kalangan Muslim, tetapi kita tidak akan pernah menemukan mereka menyerang Yesus Kristus. Di India dan Asia, umat Hindu dan muslim telah hidup bersama secara harmonis selama lebih dari seribu tahun. Dari catatan sejarah, tidak saya temukan satu kasus pun seorang penulis Hindu menulis dengan penuh kecabulan terhadap pribadi Nabi. Begitu juga, tidak akan kita temukan satu pun contoh seorang penulis Muslim yang menghina dewa-dewa Hindu. Mereka biasanya hanya menargetkan para penguasa Muslim atau Hindu. Tetapi selalu saling menghormati agama lain.

Isu-isu yang niscaya tidak akan dipandang sebelah mata lima tahun lalu saat ini menjadi perbincangan. Sejarah berisikan pasang surut perang dominasi dan empirium. Selama seribu tahun pasang surut itu mengalir ke satu tujuan tertentu: pembalikan hampir tak terhindarkan. Di mana ada manusia di situ ada ambisi, ketamakan dan konflik. Tetapi ketika kebencian memasuki ruang politik maka konflik memerlukan dimensi personal yang baru.

Teknologi perang telah berkembang baik bagi negara maupun individual. Apabila Angkatan Udara AS dapat dengan tepat menarget salah satu kamar di sebuah blok apartemen, maka sekelompok individual dapat juga menjadi WMD (weapon of mass destruction, senjata pemusnah massal). George W. Bush menginvasi Irak untuk mencari WMD yang dianggapnya pernah eksis di masa lalu. Kita bersama sebagai bangsa, masyarakat, agama dan ras, perlu duduk bersama, menyatukan tindakan, sekarang juga, guna menghentikan WMD yang sudah tertanam dalam hati yang disulut oleh kemarahan mendalam. Apabila Bush tidak memiliki sense of urgency dalam soal ini, mungkin penggantinya punya.***

Penulis, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University, India.

Kembali ke Atas