Buku A. Fatih Syuhud

Visi, pemikiran dan karya tulis A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Abu Thalib bin Abdul Muttalib

Abu Thalib bin Abdul Muttalib*
Oleh A. Fatih Syuhud

Tidak ada sosok yang memiliki jasa paling besar dalam masa-masa awal kehidupan Nabi selain Abu Thalib bin Abdul Muttalib, paman Nabi. Nama asalnya adalah Abdu Manaf, sedangkan Abu Thalib adalah nama kinayah atau nama julukan berdasarkan nama anak pertama yang bernama Thalib.

Kiprah Abu Thalib dimulai sejak Nabi berusia 8 tahun saat kakek Nabi dan ayah Abu Thalib yang bernama Abdul Muttalib meninggal dunia pada tahun 578 masehi atau tahun 45 sebelum hijriah. Sebenarnya Abu Thalib adalah putra kedua dari Abdul Muttalib. Putra pertama Abdul Muttalib bernama Al Harits, namun entah mengapa Abu Thalib-lah yang mendapat amanah meneruskan tugas ayahnya dalam mengasuh Muhammad kecil yang saat itu sudah yatim piatu. Bagi Abu Thalib, Muhammad bukan hanya keponakan. Ia sudah dianggap layaknya sebagai putra sendiri walaupun Abu Thalib sudah memiliki enam putra kandung yang bernama Thalib, Uqail, Ja’far, Ali, Fakhitah, dan Jamanah.

Walaupun bukan termasuk orang kaya dibanding paman-paman Nabi yang lain, namun Abu Talib dikenal sebagai sosok yang dermawan dan baik hati. Mungkin itulah sebabnya mengapa kepengasuhan Muhammad jatuh ke tangan Abu Thalib. Dalam kitab Tarikh Thabari dikisahkan suatu hari Abu Thalib hendak pergi dalam rangka perjalanan bisnis ke Syam (sekarang Suriah). Waktu itu usia Muhammad masih 12 tahun. Tidak ada niat Abu Thalib untuk mengajak Muhammad yang masih terlalu kecil untuk perjalanan yang begitu berat. Namun Muhammad menangis dan tidak mau berpisah dengan pamannya yang begitu disayanginya yang sudah dianggap ayah sendiri. Abu Thalib begitu tersentuh hatinya dan mengatakan, “Demi Tuhan aku akan membawanya ikut serta denganku, dan kita tidak akan pernah berpisah selamanya.”

Kebersamaan ayah-anak itu terjalin harmonis dan abadi. Dari usia Muhammad 8 tahun sampai Abu Thalib wafat pada 618 masehi dalam usia 80 tahun. Saat itu Nabi Muhammadi berusia 50 tahun dan sudah 10 tahun berstatus sebagai Nabi dan Rasul. Dengan demikian, selama 42 tahun Nabi telah melewatkan hidupnya bersama Abu Thalib. Begitu banyak suka dan duka yang mereka lalui bersama. Itulah sebabnya, bagi Nabi, Abu Thalib bukan hanya menjadi sosok ayah, tapi juga figur sahabat, guru dan pelindung baik sebelum maupun sesudah kenabiannya. Abu Thalib tetap dalam keadaan kafir sampai akhir hayatnya walaupun ia menjadi pembela dakwah Islam dan pelindung Nabi yang paling gigih selama 10 tahun akhir hidupnya di saat mayoritas kaum Quraish memushinya. Di satu sisi adalah ironis bahwa sosok yang menjadi pembela Islam wafat dalam keadaan kafir. Tapi di sisi lain, ada hikmah yang besar dalam perspektif syariah terkait hubungan sosial antara muslim dan non-muslim.

Pertama, bahwa hubungan kekerabatan tidak harus putus karena perbedaan agama. Hubungan ayah dengan anak, anak dengan paman, atau antar kerabat dekat lain tidak harus terhenti karena perbedaan agama. Hubungan silaturrahim tetap bisa berlanjut dan sebaiknya berlanjut. Termasuk hubungan dengan tetangga atau kolega bisnis yang berbeda agama. Dengan syarat, asalkan orang kafir tersebut tidak mengganggu kita. Dalam QS Al-Mumtahanah 60:8 Allah berfirman: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang (non-muslim) yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Kedua, Rasulullah juga membina hubungan sosial yang baik dengan non-muslim Madinah. Baik Nasrani, Yahudi maupun kafir pagan. Isi perjanjian yang terdapat dalam Piagam Madinah berisi antara lain komitmen antarsuku dan antaragama yang berbeda untuk saling menghormati dan melindungi dari serangan luar.

Ketiga, dalam sebuah hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim dikisahkan bahwa Rasulullah masih punya hutang pada orang Yahudi Madinah saat wafatnya. Ini menunjukkan adanya hubungan baik antara Nabi dengan Yahudi tersebut secara khusus dan non-muslim Madinah secara umum. Dari hadits ini ulama fikih mengambil kesimpulan hukum (istinbat) atas bolehnya melakukan hubungan bisnis dengan non-muslim asal dengan cara yang dibolehkan baik dalam bentuk jual beli, sewa menyewa, gadai, dan lain-lain tanpa harus mempertimbangkan tidak absahnya transaksi yang dilakukan di antara mereka. Juga bolehnya melakukan hubungan bisnis dengan orang yang mayoritas hartanya berasal dari harta haram asalkan muamalah yang dilakukan dengan mereka dilakukan dengan cara yang sesuai syariah.

Keempat, apabil seorang wanita non-muslim Ahli Kitab yang hendak menikah dengan pria muslim, maka yang menjadi wali nikah tetap ayah kandung yang sama-sama non-muslim. Ini berbeda kasusnya dengan wanita muslimah yang ayahnya non-muslim, maka wali nikahnya harus memakai wali hakim.

Intinya, seorang muslim tidak dilarang melakukan hubungan bisnis dan sosial dengan non-muslim selagi saling menghormati dan tidak berpotensi mengganggu keimanan.[]

*Ditulis untuk Buletin SANTRI Ponpes Al-Khoirot Malang

Abu Thalib bin Abdul Muttalib
Kembali ke Atas