fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Abu Hurairah: Ahli Hadits Paling Produktif

Abu Hurairah: Ahli Hadits Paling Produktif
Oleh A. Fatih Syuhud

Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Shakhar Ad-Dawsi Al-Azdi. Nama aslinya Abdu Syams (Hamba Matahari) bin Shakhar. Setelah masuk Islam, Rasulullah mengganti nama Abdu Syams dengan Abdurrohman. Di kalangan ulama ahli hadis Abdurrahman kemudian lebih dikenal dengan julukan Abu Hurairah (Bapak Kucing).

Akan halnya nama julukannya ini, Abu Hurairah menceritakan awal mula ia mendapat julukan tersebut sebagaimana dikisahkan dalam sebuh hadits: “Aku biasa menggembala domba keluargaku. Waktu itu Aku mempunyai kucing kecil. Aku menaruhnya di pohon saat malam. Saat siang ia pergi bersamaku dan menjadi temanku bermain. Orang-orang lalu memanggilku dengan Abu Hurairah.”[1]

Abu Hurairah menempati rangking teratas sebagai periwayat hadits paling produktif dari generasi Sahabat. Diperkirakan tak kurang dari 5.375 hadis yang telah ia riwayatkan dari Nabi. Suatu jumlah hadis yang sangat spektakuler mengingat kebersamaan Abu Hurairah dengan Rasulullah tidaklah lama, hanya sekitar 2.5 tahun.

Mengapa hanya 2.5 tahun? Karena Abu Hurairah baru masuk Islam sekitar 2.5 tahun menjelang Rasululah wafat. Namun demikian, momen kebersamaan yang singkat bersama Nabi itu betul-betul dimanfaatkan sebaik-sebaiknya untuk berguru dan mengabdi pada Rasulullah dan mengikuti seluruh kegiatan Nabi yang bisa ia ikuti. Fokus dan semangat tinggi dalam menyerap ilmu syariah langsung dari Rasulullah adalah kunci mengapa Abu Hurairah bisa meriwayatkan begitu banyak hadis mengalahkan para Sabahat lain yang hidup dan tinggal bersama Nabi dalam kurun waktu yang lebih lama.

Islamnya Abu Hurairah boleh dikatakan agak terlambat. Seandainya ia masuk Islam lebih awal mungkin akan lebih banyak lagi hadis Nabi yang diriwayatkan olehnya. Ia masuk Islam melalui kepala sukunya, yakni suku Daus, yang bernama Tufail bin Amr. Tufail kembali ke desanya setelah bertemu Nabi dan masuk Islam. Abu Hurairah menjadi salah satu tokoh dari suku Daus yang kemudian segera mengikuti ajakan Tufail menjadi mualaf pada tahun ke-7 hijrah[2] atau 3 tahun sebelum wafatnya Rasulullah.[3] Beberapa bulan kemudian pada tahun yang sama, Abu Hurairah bersama Tufail pergi ke Madinah untuk menemui Nabi Muhammad. Peristiwa ini terjadi ketika Perang Khaibar tengah berkeceamuk. Saat inilah Nabi merubah nama Abdu Syams menjadi Abdurrohman.

Selain ahli hadits, Abu Hurairah juga dikenal sebagai ulama di bidang syariah. Ia menjadi rujukan dan tempat bertanya tidak saja oleh generasi Tabi’in, tapi juga para Sahabat yang masuk Islam lebih dulu darinya termasuk para Sahabat yang juga dikenal sebagai mujtahid atau sesama ahli hadits. Mereka antara lain Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub Al-Anshari, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Ubay bin Ka’ab, Jabir bin Abdullah, Aisyah binti Abu Bakar, Miswar bin Makhzamah, Abu Musa Al-Asy’ari, Anas bin Malik, Abu Rafi’, dan para Sahabat lain. Adanya fakta ini menunjukkan beberapa hal, yakni bahwa kualitas keilmuan Abu Hurairah yang begitu tinggi di bidang hadits dan adanya tradisi yang sangat baik di kalangan para Sahabat untuk selalu bertanya pada siapapun yang dianggap memiliki kualitas ulama tanpa memandang senioritas atau status diri.

Dari kalangan Tabi’in menurut Imam Bukhari tidak kurang dari 800 orang yang berguru hadis padanya. Tidak hanya itu, mereka juga menganggap Abu Hurairah sebagai i tempat rujukan dalam persoalan hukum syariah keseharian.[4] Mereka antara lain Qubaishah bin Dzuaib, Said bin Musayyib, Urwah bin Zubair, Salim bin Abdullah bin Umar, Abu Salamah bin Abdurrahman, Abu Shalih Al-Samman, Atho’ bin Abu Robbah, Atha’ bin Yassar, Mujahid, Al-Sya’bi, Ibnu Sirin, Ikrimah, Nafi’ hamba sahaya Umar, Abu Idris Al-Khoulani, dan lainnya.

Setelah wafatnya Rasulullah pada tahun ke-11 hijriah atau 632 masehi, Abu Hurairah mencurahkan sisa hidupnya mengajar hadits di Madinah, kecuali untuk masa yang tidak lama sebagai gubernur Bahrain pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Ia juga pernah menjadi gubernur Madinah pada masa kekhalifahan Umayah. Abu Hurairah wafat pada tahun 59 hijriah atau 681 masehi pada usia 78 tahun dan dikebumikan di pemakaman Baqi’ yang berlokasi di sebelah tenggara masjid Nabawi Madinah yang merupakan pemakaman khusus para Sahabat Nabi.

Kemiskinan Bukan Halangan untuk Belajar

Salah satu kepribadian Abu Hurairah yang menginspirasi dan patut dicontoh adalah bahwa ketika ia pertama kali hijrah ke Madinah ia mencurahkan seluruh hidupnya untuk berguru dan menuntut ilmu terutama kepada Rasulullah di samping kepada para Sahabat Nabi. Fokusnya pada keilmuan itu membuat dia tidak lagi sempat untuk bekerja mencari nafkah dan karena itu ia dikenal sangat miskin. Namun kemiskinan itu tidak dijadikan sebagai halangan untuk menuntut ilmu.

Dalam Sahih Bukhari dikisahkan bahwa suatu hari Abu Hurairah pernah merasa sangat lapar tapi tak ada makanan yang dapat dia makan. Saking laparnya sampai ia harus mengganjal perutnya dengan batu untuk mengurangi rasa melilit di perutnya. Namun demikian, ia tetap menjaga martabat dan harga dirinya dengan berusaha untuk tidak meminta-minta secara langsung walaupun hal itu bukanlah perbuatan haram. Di sisi lain, tuntutan perutnya tidak dapat lagi ditahan. Oleh karena itu, ia duduk di tepi jalan tempat para Sahabat biasa lewat. Saat Abu Bakar lewat Abu Hurairah bertanya kepadanya tentang satu ayat dari Al-Quran, dengan tujuan agar Abu Bakar mengajaknya mampir ke rumahnya dan memberinya makan. Tapi ternyata taktiknya tidak berhasil setelah menjawab pertanyaannya, Abu Bakar berlalu begitu saja tanpa menyadari maksud sebenarnya dari Abu Hurairah. Hal yang sama terjadi ketika Abu Hurairah bertemu Umar bin Khattab. Umar berlalu setelah menjawab pertanyaannya dan tidak menawarinya makan. Ia baru dapat tawaran makan setelah bertemu Rasulullah.[5]

Kekayaan Tidak Menghalangi untuk Hidup Sederhana

Sebagaimana disinggung di atas, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, Abu Hurairah ditunjuk sebagai gubernur di Bahrain. Dan pada masa khilafah Umayah, ia juga ditunjuk menjadi gubernur di Madinah. Dengan demikian secara ekonom saat inii ia berkecukupan. Namun demikian, ia tetap tidak meninggalkan gaya hidupnya yang sederhana. Karena, kekayaan tidak harus dihambur-hamburkan untuk mengikuti kesenangan nafsu pribadi. Ia tetap bisa mengontrol harta, bukan harta yang menyetirnya. Ia ingat betul pesan Rasulullah padanya saat Nabi berpesan langsung padanya, “Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang waro’ niscaya engkau akan menjadi manusia yang paling beribadah. Jadilah orang yang qona’ah niscaya engkau akan menjadi manusia yang paling bersyukur. Cintailah manusia sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, niscaya engkau akan menjadi seorang mukmin. Perbaikilah pergaulan dengan tetanggamu niscaya engkau menjadi seorang muslim. Sedikitlah tertawa, karena banyak tertawa mematikan hati!”[6]

Wara’ atau wira’i adalah filosofi dan gaya hidup dengan selalu berpegang pada nilai ideal dari sudut pandang agama maupun etika sosial. Sedangkan qonaah adalah mensyukuri yang ada. Mencintai sesama manusia seperti mencintai diri sendiri tidaklah mungkin dilakukan bagi manusia yang memiliki gaya hidup mewah dan konsumtif. Itulah sebabnya Abu Hurairah tetap menjaga gaya hidup sederhana saat kaya, dan menjaga martabat dan rasa malu dengan tidak meminta-minta saat miskin.

Hal lain yang patut dicontoh adalah kecintaannya pada ilmu dan para ahli ilmu. Ia dikenal sangat dekat dengan Rasulullah dan para ulama generasi Sahabat sehingga ia memiliki kualitas keilmuan tinggi dalam waktu yang tidak lama.[]

Catatan Kaki:

[1] Tirmidzi dalam Al-Sunan 5/350, Hakim dalam Al-Mustadrok 3/506
[2] Bertepatan dengan tahun 629 masehi.
[3] Rasulullah wafat pada tahun 11 hijriah atau 632 masehi.
[4] Al-Dzahabi dalam Tadzkiroh Al-Huffazh 1/36; Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah, 4/205
[5] Bukhari dalam Sahih Al-Bukhari, hlm. 5/2371
[6] Hadits sahih riwayat Ibnu Majah, Ahmad, Tirmidzi, Baihaqi. Teks hadits selengkapnya:
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ ، كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ ، وَكُنْ قَنِعًا تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ ، وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا , وَأَحْسِنْ مُجَاوَرَةَ مَنْ جَاوَرْتَ تَكُنْ مُسْلِمًا ، وَأَقِلَّ الضَّحِكَ ؛ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ

Kembali ke Atas