Buku A. Fatih Syuhud

Visi, pemikiran dan karya tulis A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Zainab binti Khuzaimah

Zainab binti Khuzaimah: Ibunda Kaum Dhuafa *
Oleh: A. Fatih Syuhud

Zainab binti Khuzaimah yang lahir pada 595 masehi adalah istri kelima Rasulullah. Ia dikenal dengan julukan Ummul Masakin, Ibu Orang Miskin, karena ia memiliki sikap empati dan rasa sayang yang tinggi terhadap kalangan dhuafa ini.

Zainab adalah seorang janda sebelum dinikah oleh Nabi. Bahkan Zainab dua kali menjadi janda. Namun ada dua versi yang berbeda tentang siapa dua suami sebelumnya. Versi pertama menyatakan bahwa Zainab pertama menikah dengan Tufail bin Haris. Setelah ditinggal oleh suami pertamanya, ia menikah dengan saudara dari Tufail yang bernama Ubaidah bin Haris. Pada tahun 624 masehi, suaminya meninggal karena luka yang dialami dalam Perang Badar, diapun hidup dalam kemiskinan yang parah.

Versi kedua, sebagaimana disebut oleh Ibn Kathir dalam kitab Sirah, suami pertama Zainab bernama Husain bin Haris, sedangkan suami kedua adalah Jahsy bin Riyab yang mati syahid dalam Perang Uhud .

Dengan mahar 400 dirham (sekitar 1.190 gram perak) Rasulullah menikahi Zainab binti Khuzaimah pada bulan Ramadan tahun ke-3 hijrah atau tahun 625 masehi yakni satu bulan setelah Nabi menikahi Hafsah binti Umar yang menikah dengan Rasulullah pada bulan Sya’ban pada tahun yang sama. Kehidupan Nabi dengan Zainab tidak berlangsung lama. Delapan bulan kemudian, pada bulan Rabiul Awal tahun ke-4 hijrah atau 646 masehi, Zainab meninggal dunia dalam usia 30 tahun. Zainah adalah orang pertama yang dimakamkan di pemakaman Baqi’, Madinah dan menjadi istri kedua Nabi yang meninggal sebelum wafatnya Rasulullah.

Zainab dikenal sebagai sosok yang sangat dermawan saking dermawannya sampai rela medahulukan orang lain dari dirinya sendiri. Dalam suatu riwayat hadits, dikisahkan suatu hari Zainab binti Khuzaimah pernah kedatangan seorang pengemis ke rumahnya yang meminta gandum untuk dimasak. Zainab memberikan semua simpanan gandum terakhir yang ada di rumahnya, sehingga dia sendiri tidak makan malam itu.

Rasulullah sangat terkesan dengan sikap belas kasih dan kedermawanannya pada orang miskin tersebut dan memberi tahu istri-istri Nabi yang lain tentang hal ini. Inilah salah satu contoh dari kedermawanan Zainab dan mengapa Zainab mendapat julukan Ummul Masakin.

Zainab bukanlah wanita kaya yang memiliki banyak harta untuk dibagikan pada kaum dhuafa. Tapi justru di situlah letak kehebatan Zainab. Orang kaya yang dermawan patut diapresiasi walaupun kedermawanan orang kaya itu adalah wajar karena ia memiliki banyak harta yang dapat dibagikan pada sesama . Namun kedermawanan orang miskin lebih patut mendapat penghargaan karena membutuhkan komitmen dan pengorbanan yang lebih besar, termasuk mengorbankan diri sendiri seperti yang terjadi pada kisah Zainab di atas. Allah berfirman bahwa kedermawanan tertinggi adalah memberikan sesuatu yang paling disukai (QS Al-Baqarah 2 :177)

Nabi sangat memuji orang yang dermawan karena kedermawanan adalah bagian dari akhlak mulia (QS Al-Insan 76 :8). Sebaliknya pelit adalah bagian dari perilaku tercela (QS Ali Imron 3:180).

Perilaku kedermawanan ada tiga tingkatan . Pertama, itsar (Arab, الإيثار). Itsar adalah level tertinggi dari dermawan (Jawa, loman). Istsar adalah orang yang menggunakan hartanya lebih banyak untuk disedekahkan pada orang lain daripada untuk dirinya sendiri. Istilah itsar disebut dalam firman Allah QS Al-Hasyr :9.

Kedua, sakho’ (Arab, السخاء). Yaitu orang yang suka mendermakan bagian kecil dari hartanya, namun menyisakan sebagian besar hartanya untuk dirinya sendiri.

Ketiga, jud (Arab, الجود). Jud hampir sama dengan sakho’ yakni orang yang suka menginfakkan sebagian kecil dari hartanya, namun dengan nilai, jumlah dan intensitas yang lebih kecil dari sakho’. Sakho’ dan jud adalah tingkat kedermawanan yang minimal harus dimiliki oleh setiap muslim sebagaimana anjuran Allah dalam sejumlah ayat Al-Quran seperti dalam QS Ali Imron 3:134.

Zainab binti Khuzaimah dalam hal ini jelas merupakan wanita yang memiliki sifat kedermawanan itsar atau muatsaroh yang merupakan sikap kedermawanan tertinggi. Suatu perilaku yang patut menjadi tauladan tidak saja seluruh wanita muslimah tapi juga seluruh umat Islam. []

*Ditulis untuk Buletin El-Ukhuwah Ponpes Putri Al-Khoirot Malang

Zainab binti Khuzaimah
Kembali ke Atas