Ummu Salamah: Istri Nabi yang Feminis
Ummu Salamah *
Oleh: A. Fatih Syuhud
Ummu Salamah adalah salah satu dari istri Nabi yang dikenal memiliki kepribadian lengkap: cerdas, bijaksana, berani dan dikenal sebagai ahli hadits perempuan yang meriwayatkan perkataan dan perbuatan Nabi di samping Aisyah binti Abu Bakar. Ummu Salamah adalah nama kuniah (nama julukan berdasarkan nama anak) sedangkan nama aslinya adalah Hindun binti Abu Umayah Al-Makhzumi. Ia lahir pada tahun 580 masehi atau 29 hijrah.
Sebelum menikah dengan Nabi, Ummu Salamah menikah dengan sepupunya yang bernama Abu Salamah bin Abdul Asad Al-Makhzumi. Abu Salamah dan Ummu Salamah adalah pasangan suami istri yang masuk Islam sejak awal kerasulan Nabi. Bersama suaminya ia hijrah ke Habasyah (sekarang Ethiopia), lalu ke Madinah hingga suaminya wafat pada tahun ke-4 hijrah akibat luka yang dideritanya sejak perang Uhud. Dengan suami pertamanya ini, Ummu Salamah dikaruniai empat orang anak yaitu Zainab (Barrah), Salamah, Umar and Ruqaiyyah (Durrah). Saat suaminya wafat, Ummu Salamah mengucapkan doa yang diajarkan Rasulullah pada suaminya. Doa ini diucapkan saat seseorang tertimpa musibah ditinggal wafat oleh orang yang dikasihi. Nabi memerintahkan Abu Salamah untuk membaca istirja’ (innalillahi wainna ilahi rojiun) setelah itu membaca doa berikut: Ya Allah, selamatkan aku dari musibah yang menimpaku dan gantilah demgan yang lebih baik [1]
Setelah masa iddahnya selesai, Ummu Salamah dilamar oleh Abu Bakar Ash-Shidiq dan Umar bin Khattab, namun ia menolak lamaran keduanya. Setelah itu, Nabi pun meminangnya. Awalnya Ummu Salamah juga ragu untuk menerima pinangan Nabi, ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki tiga hal. Sebagai wanita aku sangat pencemburu, aku takut ini akan membuatmu marah dan membuat Allah murka padaku. Aku wanita yang sudah sangat dewasa dan memiliki beberapa anak.” Atas keraguan Ummu Salaman ini, Nabi menjawab, “Tentang kecemburuanmu itu, aku berdoa pada Allah agar hilang darimu. Tentang usia, aku juga punya masalah serupa. Tentang keluarga, anakmu adalah anakku juga.”[2]
Akhirnya Ummu Salamah menerima pinangan Nabi. Dan pada bulan Syawal tahun ke-4 hijriyah dalam usia 29 tahun, Ummu Salamah menikah dengan Nabi dan tinggal di rumah Zainab binti Khuzaimah salah satu istri Nabi yang sudah wafat.
Pernikahan antara Ummu Salamah dan Nabi tak lepas dari doa dan harapan dari suami pertamanya, Abu Salamah. Saat itu, luka yang dideritanya pada Perang Uhud tidak juga sembuh, bahkan semakin parah. Ini membuat Ummu Salamah yang begitu mencintai suaminya ini sangat prihatin atas musibah yang diderita suami yang sangat ia cintai ini. Dalam sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Ziyad bin Abi Maryam, Ummu Salamah meminta suaminya untuk membuat kesepakatan bahwa apabila salah satu dari mereka meninggal lelbih dulu, maka yang lain tidak akan menikah lagi. Akan tetapi suaminya menolak dan meminta Ummu Salamah untuk menikah lagi setelah kematiannya. Abu Salamah lalu berdoa, “Ya Allah, berilah Ummu Salamah setelah kematianku seorang suami yang lebih baik dariku yang tidak akan menyakitinya dan membuatnya menderita.”[3]
Ummu Salamah wafat pada tahun 61 hijriyah atau 680 masehi. Dengan demikian, maka ia menjadi istri Nabi yang paling akhir wafatnya dan paling panjang usianya (sekitar 84 atau 90 tahun).[4] Ia dimakamkan di Baqi’ yang berlokasi di sebelah masjid Nabawi, Madinah.
Ummu Salamah adalah seorang Sahabat , istri Nabi dan sekaligus ulama perempuan ahli hadits di samping Aisyah binti Abu Bakar. Tak kurang dari 378 hadits Nabi berasal dari riwayatnya yang kemudian ditransmisikan pada ulama ahli hadits lain baik dari kalangan Sahabat atau Tabi’in. Ini merupakan salah satu sumbangan besar Ummu Salamah pada Islam. Seperti diketahui hadits merupakan satu dari dua sumber utama syariah Islam di samping Al-Quran. Oleh karena itu, para Sahabat yang sempat mendengar dan mencatat apa saja yang mereka lihat dan alami bersama Nabi memiliki kontribusi besar pada terjaganya kemurnian syariah Islam sampai saat ini. [5]
Ummu Salamah juga dikenal sebagai wanita yang santun tapi cerdas dan berani dalam soal kebenaran. Kecerdasannya itu membuat ia bersikap kritis dalam menyikapi suatu permasalahan yang terjadi. Sehingga ia terkadang menjadi penyebab langsung dari turunnya beberapa ayat Al-Quran. Diriwayatkan dari Mujahid ia berkata: Ummu Salamah bertanya pada Nabi, “Ya Rasulullah, kaum lelaki berperang, sedangkan kami tidak. Dan kami mendapat setengah bagian laki-laki dalam soal warisan.” Maka turunlah ayat An-Nisa’ 4:32 dan Al-Ahzab :35.[6]
Setidaknya ada dua hal yang dapat diteladani dari kehidupan Ummu Salamah. Pertama, bahwa wanita yang sudah berumah tangga tidak ada alasan untuk tidak terus belajar menuntut ilmu secara formal maupun informal. Baik dengan cara bertanya secara lisan kepada semua orang yang dianggap lebih tahu dan berpengalaman, atau mendengarkan informasi keilmuan dari TV, radio, DVD, dll, atau membaca dari buku, majalah atau internet. Karena, mencari ilmu harus sepanjang masa dan tidak berhenti ketika seseorang wanita sudah menikah . (Lihat, QS An-Nahl :78).
Kedua, bahwa suami selain sebagai imam, ia juga sebagai rekan dan sahabat. Istri tidak salah apabila memprotes atau mengkritik suami apabila perkataan atau tindakannya dirasa kurang tepat. Dan suami harus berbesar hati untuk menerima kritik dari istri tanpa harus merasa dilangkahi. Kehidupan dalam rumah tangga harmonis harus bersifat mutual respect atau saling menghormati dan menghargai.[]
Footnote
[1] Teks asal: اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي، وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا. إِلاَّ فُعِلَ ذَلِكَ بِهِ
[2] Teks asal: يا رسول الله، ما بي أن لا تكون بك الرغبة فيَّ، ولكني امرأة بي غَيرة شديدة، فأخاف أن ترى منِّي شيئًا يعذبني الله به، وأنا امرأة قد دخلتُ في السن وأنا ذات عيال. فقال: أَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْغَيْرَةِ فَسَوْفَ يُذْهِبُهَا اللَّهُ مِنْكِ، وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ السِّنِّ فَقَدْ أَصَابَنِي مِثْلُ الَّذِي أَصَابَكِ، وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْعِيَالِ فَإِنَّمَا عِيَالُكِ عِيَالِي
[3] Shaykh Muhammad; Hisham Kabbani and Laleh Bakhtiar (1998). Encyclopedia of Muhammad’s Women Companions and the Traditions They Relate. Chicago: ABC International Group. hlm. 461-462.
[4] Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib 12/483
[5] Qissatul Islam, “Ummu Salamah” dalam http://islamstory.com
[6] Ibnu Jarir Tabari, Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Quran 8/261; lihat juga: Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Adzim, 2/286; Al-Baghawi, Ma’alim At-Tanzil, 2/204
*Ditulis untuk Buletin Pesantren Al-Khoirot