Pesantren dan Suksesi Kepemimpinan
Pesantren dan Suksesi Kepemimpinan
Pesantren dan Suksesi Kepemimpinan. Tradisi suksesi berdasar keturunan tidak boleh menjadi satu-satunya standar dalam suksesi kepemimpinan pesantren.
Oleh Imdad Robbani
Pesantren, dalam sejarahnya, tidak lepas dari sejarah penyebaran Islam di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren menjadi lembaga ’penyedia’ penerus estafet dakwah Islam. Sebagai pusat penyebaran Islam—untuk menyebutnya demikian—peran utama pesantren terletak terutama pada kemampuannya untuk mengenalkan Islam pada masyarakat luas. Dalam ’pemasyarakatan’ Islam, ia terbilang cukup berhasil. Bahwa mayoritas masyarakat Indonesia, terutama masyarakat pedesaan, berislam dengan ”Islam pesantren” kiranya cukup menjadi bukti keberhasilan islamisasi ala pesantren.
Kepemimpinan pesantren secara umum diterima sebagai sesuatu yang bersifat warisan. Artinya ia dilanjutkan oleh orang terdekat—sering secara biologis—dengan pimpinan sebelumnya. Hal ini memiliki implikasi positif maupun negatif—seperti kebanyakan hal di dunia ini . Obrolan dalam tulisan ini akan lebih difokuskan pada dampak negatif dari pola kepemimpinan yang demikian.
***
Sebagai lembaga ’pembumian’ Islam di masyarakat, pemimpin pesantren setidaknya membutuhkan dua kriteria untuk menjalankan fungsi pesantren secara maksimal. Dua hal itu adalah kapasitas keilmuan dan dedikasi tinggi pada masyarakat yang menjadi objek dakwahnya.
Keilmuan yang memadai penting dimiliki oleh pemimpin pesantren karena tugas yang ia emban tidak mungkin dilaksanakan tanpa kapasitas ilmiah yang memadai. Kedua, pemimpin pesantren haruslah seseorang yang memiliki kemampuan mengomunikasikan nilai-nilai Islam kepada masyarakat, disamping pula dedikasi tinggi untuk mengislamkan masyarakat—dalam maknanya yang paling luas.
***
Persoalan terjadi ketika terdapat seorang suksesor tradisional (baca: gus, lora) yang tidak memiliki kapasitas yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin pesantren. Ia terpaksa—atau dalam beberapa kasus memaksa—menjadi pemimpin pesantren karena tradisi yang telah lama berjalan di masyarakat mengharuskan ia menjadi pemimpin. Tradisi ini terus berjalan karena anggapan umum bahwa kepemimpinan pesantren adalah kepemimpinan-berdasar-keturunan. Tapi bila kita menilik bahwa fungsi utama pesantren adalah lembaga pembumian nilai-nilai Islam di masyarakat, pemimpin pesantren haruslah dipilih berdasar kompetensi keilmuannya dan dedikasinya pada masyarakat.
***
Bahwa pemimpin pesantren selama ini berasal dari keluarga dekat pemimpin sebelumnya bukan masalah bila ia memiliki kapasitas yang dibutuhkan. Tapi keterkaitan keluarga dengan pemimpin sebelumnya tidak boleh menjadi satu-satunya standar dalam suksesi kepemimpinan pesantren.[]