Pendidikan Islam untuk Anak Usia 11 Tahun
Pendidikan Islam untuk Anak Usia 11 Tahun
Oleh A. Fatih Syuhud
Apabila masuk SD pada usia 6 tahun, maka berarti ia sekarang berada di kelas 5. Itu artinya, sudah relatif banyak pengalaman kehidupan yang sudah dilewati. Dan tentunya semakin bertambah kecakapan, baik dari segi sosial dan emosional maupun intelektual. Pada usia ini, anak lelaki mulai memasuki masa puber yang disebut juga dengan pra-remaja (pre-teen). Istilah ini walaupun tidak dikenal dalam Islam, tapi perlu juga dipakai sebagai identifikasi bagi orang tua.
Secara sosial dan emosional anak usia 11 tahun agak membutuhkan ketelatenan. Ia mudah kuatir, takut, suka menunjukkan kemarahan secara fisik, dan suka keluyuran. Namun ada juga sisi positifnya, seperti suka menolong dan berperilaku baik.
Secara intelektual, ia mampu menggunakan logikanya dalam berargumen dan mengaplikasikan logika tersebut dalam situasi yang konkret. Kemampuan dalam mengambil keputusan dan kecakapan menulis, dan berbicara juga meningkat.
Yang lebih menggembirakan, sikap dewasa mulai tampak. Ia mulai sadar bahwa orang lain dapat memiliki pendapat yang berbeda dengan dirinya. Orang tua tentu patut menjadikan hal ini sebagai momentum untuk menanamkan pentingnya toleransi, kebersamaan dan penyelesaian segala perbedaan dengan dialog, bukan dengan kekerasan. Dan bahwa keragaman adalah rahmat, bukan musibah (QS Al Hujurat 49:13), karena itu memungkinkan kita untuk saling belajar dan berkompetisi menjadi yang terbaik (QS Al Maidah 5:48).
Disiplin
Tidak ada pendidikan yang dapat sukses tanpa adanya disiplin: reward and consequences (penghargaan dan sangsi). Mendisiplinkan anak usia ini, apalagi yang keras kepala, akan sedikit meyulitkan orang tua. Yang terpenting, jangan putus asa. Dan yang tak kalah penting, konsisten dengan peraturan yang dibuat dan sangsi yang diberlakukan. Jangan lupakan juga dialog yang baik dengan anak. Berikut beberapa langkah untuk memudahkan proses pendisiplinan anak.
Pertama, buat aturan yang jelas. Apa yang boleh dan tidak boleh. Yang baik dan tidak baik. Plus cantumkan juga sangsi atas pelanggaran yang dilakukan. Tanpa itu mana mungkin anak tahu perbuatan yang melanggar dan tidak.
Kedua, tulis aturan-aturan tersebut di kertas karton. Kalau perlu minta si anak yang menulis. Tempel di dinding rumah di posisi yang paling menyolok. Saat anak melanggar salah satu aturan, bawa anak ke depan tulisan dan ingatkan aturan mana yang dilanggar.
Ketiga, buat sangsi yang logis dan masuk akal. Aturan jarang diikuti kalau tanpa sangsi. Buat sangsi yang relevan dan mendidik. Sangsi hendaknya berbeda-beda sesuai pelanggaran. Contohnya, apabila anak tidak hormat pada yang lebih tua, hukumannya berupa menulis surat permohonan maaf pada yang bersangkutan. Apabila tidak salat fardhu, harus mengulangi salat plus shalat sunnah, dan seterusnya. Usahakan sangsinya tidak terlalu keras sehingga mudah diberlakukan..
Keempat, konsisten. Orang tua harus konsisten memperhatikan dan memberlakukan peraturan dan sangsi yang dibuat. Tanpa itu, aturan dan pembuat aturan, yakni orang tua, tidak akan mendapat respek dari anak. Apalagi anak usia pra-remaja cenderung membuat pelanggaran.
Kelima, jangan marah pada pelanggaran yang dilakukan anak. Setidaknya jangan menampakkan kemarahan. Anak akan cenderung senang membuat orang tua marah. Karena itu menampakkan kemarahan tidaklah efektif.[]