Miskalkulasi Amerika di Iraq
Oleh A. Fatih Syuhud
Jawa Pos, Senin, 01 Des 2003
Hari demi hari semakin tampak jelas bahwa AS sedang dan akan menghadapi jalan yang panjang serta berdarah di Iraq. Kita heran, mengapa dengan begitu banyak pakar yang dimiliki, AS tidak bisa memprediksikan hal yang akan terjadi.
Jawaban final akan diberikan sejarawan masa depan yang bisa mengakses hal yang saat ini masih menjadi dokumen rahasia tentang proses pembuat kebijakan pemerintahan Bush. Sementara itu, sejumlah pertanyaan yang perlu dijawab, baik oleh pembuat kebijakan AS maupun dunia, terus mencuat.
Pertama, dengan pengalaman Vietnam dan melihat problem Uni Soviet di Afghanistan, mengapa AS gagal memprediksikan konsekuensi invasinya terhadap Iraq? Cepat dan suksesnya penggulingan rezim Taliban dalam fase pertama perang AS di Afghanistan barangkali menjadi faktor utama. Keberhasilan itu tampak telah membuat AS overconfident dan buta. Tidak hanya terhadap kemungkinan fase perlawanan gerilya oleh Al Qaidah dan Taliban di Afghanistan sebagaimana yang pernah terjadi di Vietnam, tetapi juga atas situasi yang sama yang muncul di Iraq.Pemerintah Bush juga sangat dekat dan dipengaruhi tokoh Iraq di pengasingan yang meyakinkan AS bahwa rezim Saddam Hussein akan runtuh dengan cepat. Juga, AS akan mampu membentuk pemerintahan baru yang disukai.
Sebaliknya, AS gagal memahami bahwa kalangan Iraq di pengasingan itu memiliki kepentingan atas runtuhnya Saddam Hussein dan mengangkat mereka sebagai penguasa baru. Tidak hanya itu, AS tampak gagal mengakui, walaupun Iraq tidak memiliki medan seperti Vietnam dan perlindungan hutan belantara yang bisa membantu perang gerilya desa, kawasan perkotaan di Iraq bisa menjadi pusat -seperti yang sudah terbukti sekarang- perlawanan kota serta perang gerilya.
Memang terdapat perbedaan besar. Tidak sedikit kelompok yang membenci rezim Saddam di Iraq. Di Vietnam, AS mempertahankan status quo yang opresif. Namun, Partai Baath Saddam juga mempunyai pendukung sendiri plus infrastruktur organisasi di seluruh Iraq. Pemerintahan Bush semestinya mengantisipasi dua unsur tersebut yang dapat dimobilisasi untuk perang gerilya -sebagaimana yang sedang terjadi-, selain dua unsur lain.
Pertama, mengetahui konsolidasi rezim dukungan AS akan berarti penggulingan kekuasaan secara permanen yang buahnya biasa mereka nikmati. Pendukung Partai Baath akan tetap bersatu dan mencoba menyerang balik pada setiap kesempatan.
Kedua, kesempatan semacam itu akan segera muncul. Rasa terima kasih biasanya bersifat sementara. Bagaimanapun hangatnya mereka menyambut pasukan AS pada awalnya, kebanyakan rakyat Iraq cenderung membenci AS seiring berlalunya waktu. Tak ada negara yang menginginkan kehadiran sebuah kontingen besar pasukan asing yang mengganggu ritme kehidupan lokal, meski seandainya tentara AS bersikap santun.
Bahkan, selama Perang Dunia II, terjadi ketegangan antara pasukan Inggris dan AS yang ditempatkan di Inggris. Alasannya simpel. Yakni, pasukan AS “oversexed, overpaid, and over here”. Hal itu terjadi di tengah realitas kedua negara yang merupakan aliansi dekat yang mewarisi budaya yang sama.
Di Iraq, gap kultural antara rakyat Iraq dan pasukan koalisi di bawah pimpinan AS sangat lebar dan ditambah rintangan bahasa yang serius. Kendati ada usaha untuk mengatasi persoalan bahasa itu, bahaya tetap terjadi di sebagian besar kawasan Iraq yang berakibat pada terjadinya insiden. Misalnya, penembakan oleh polisi Iraq yang bekerja untuk rezim pendudukan serta rakyat sipil.
Pemerintah Bush mestinya menyadari perkembangan yang akan semakin buruk. Sebab, serangan gerilya terhadap pasukan koalisi akan berakibat pada operasi penyisiran serta pencarian dari pintu ke pintu untuk membekuk tersangka dan menginterogasinya -yang mulai dilakukan AS pada hari-hari belakangan- yang akhirnya akan mengarah pada intimidasi serta alienasi rakyat.
Hal tersebut bukan yang pertama terjadi di mana Amerika pasca-Vietnam gagal mengantisipasi konsekuensi tindakannya. Pada 1980-an, AS mendukung Mujahidin Afghan untuk membalas dendam Uni Soviet atas perannya pada kekalahan AS dalam Perang Vietnam. Anggota Kongres AS, Charles Wilson, menyatakan pada Daily Telegraph pada 14 Januari 1985, “Sejumlah 58 ribu pasukan AS tewas di Vietnam dan kami berutang satu pada Rusia… Saya memiliki sedikit obsesi untuk membalas dendam karena Vietnam. Saya pikir Uni Soviet harus merasakan kekalahan serupa.”
Dalam buku The Bear Trap: Afghanistan’s Untold Story yang ditulis bersama Mayor Mark Adkin, Brigadir Jenderal Mohammad Yousaf dari Pakistan yang mengepalai Inter-Services Intelligence (ISI) Biro Afghanistan pada 1983-1987 dan mengutip observasi Charles Wilson tersebut, menyatakan, “Wilson mewakili sikap banyak kalangan pejabat Amerika yang saya temui bahwa Afghanistan harus dibuat menjadi Vietnam-nya Soviet. Uni Soviet waktu itu selalu menyuplai Viet Cong dengan perangkat militer untuk bertempur dan membunuh Amerika. Pandangan itu juga mendominasi kalangan pejabat CIA, termasuk Direktur William Casey.”
Apa pun motif AS, sikapnya tersebut telah membutakan AS atas bahaya mempromosikan kelompok Islam fundamentalis yang didukung Pakistan. Dalam bukunya Bin Laden: The Man Who Declared War on America, Yossef Bodansky, direktur US Congressional Task Force on Terrorisme and Unconventional Warfare, menulis, “ISI (agen rahasia Pakistan-pen) sangat menentang dukungan pada organisasi perlawanan Afghan yang diasosiasikan dengan populasi suku tradisional Pashtun yang pada esensinya pro-Barat. Sebaliknya, ISI malah mengalokasikan 70 persen bantuan asing pada sejumlah partai Islam, khususnya Hizb-I-Islami (Tentara Islam) yang sangat anti-Amerika.