Memilih Jodoh karena Harta
Memilih Jodoh karena Harta. Menentukan Jodoh Berdasar Materi adalah fakta yang biasa terjadi pada banyak orang.
Oleh A. Fatih Syuhud
Memilih jodoh karena Weton
Masyarakat Jawa dan sebagian msyarakat Madura yang konservatif dan tradisional sampai saat ini masih bertahan dengan tradisi kejawen dalam menentukan jodoh anaknya. Seperti hitungan weton dan mengandalkan buku primbon. Hasil hitungan weton menjadi penentu bagi kebahagiaan dan masa depan anak mereka. Mindset atau pola pikir “menuhankan weton” semacam itu sedikit demi sedikit sudah mulai terkikis. Khususnya di kalangan masyarakat perkotaan atau pedesaan yang level pendidikannya relatif tinggi. Karena memang keterikatan masyarakat dengan mitos masa lalu erat kaitannya dengan masalah keterbelakangan dan rendahnya pendidikan atau wawasan.
Memilih Jodoh karena Harta dan Jabatan
Sayangnya, di sebagian masyarakat modern yang sudah tidak lagi menuhankan weton dan primbon, tidak otomatis membuat mereka berfikir lebih rasional dan islami . Sebaliknya, mereka justru terperangkap pada mitos penuhanan baru di mana materi atau jabatan menjadi standar baru yang dianggap akan membawa keberuntungan dan kecerahan masa depan anak mereka. Dan kalau mungkin orang tua juga ingin menumpang kesejahteraan pada calon menantunya.
Hal ini sebenarnya suatu hal yang wajar. Dalam sistem kapitalisme yang mendominasi dunia saat ini, manusia didorong dengan berbagai cara untuk menjadi konsumtif atau gila belanja. Karena semakin tinggi jumlah orang yang membeli barang, maka ekonomi semakin meningkat dan aset perusahaan semakin besar.
Sukses dinilai dari Banyaknya Harta
Konsumerisme atau budaya gila belanja di luar kebutuhan primer telah merubah cara pandang masyarakat secara signifikan. Kesuksesan dinilai bukan dari seberapa baik kualitas kepribadian, kejujuran, keilmuan dan spiritual seseorang. Tapi dari seberapa harta yang dimiliki. Apakah harta yang dimiliki berasal dari barang haram atau halal; apakah pemilik harta orang yang taat beragama atau seorang pemabok dan pencuri itu sama sekali tidak penting. Rumah yang mewah dan mobil yang mahal sudah cukup untuk menutupi semua kekurangan.
Orangtua mencari menantu kaya
Berangkat dari cara berfikir konsumerisme, maka orang tua mematok standar baru untuk calon menantunya: dia harus kaya. Padahal realitas menunjukkan dengan terang benderang bahwa kaya miskin itu bersifat dinamis. Dapat berubah setiap saat. Dulu kaya, sekarang miskin. Atau sebaliknya, sekarang miskin, beberapa tahun kemudian dia menjadi kaya raya.
Padahal yang terpenting bagi orang tua dalam memilih jodoh untuk putra-putrinya adalah kualitas pribadi calon menantu. Yang dimaksud kualitas pribadi adalah apakah dia seorang yang taat beragama, jujur, pekerja keras, memiliki wawasan yang baik, pintar bergaul, dan lain-lain.
Kepribadian dan agama hendaknya jadi Prioritas
Sangat penting bagi orang tua untuk memilihkan jodoh buat putra-putrinya dengan berdasar pada kualitas kepribadian karena itu satu-satunya kriteria yang akan membawa rumah tangga suatu pasangan suami istri akan bahagia di masa depan. Kekayaan bisa habis di tangan orang yang tidak taat, bodoh dan pemalas. Sebaliknya, kemiskinan dapat berubah menjadi keberuntungan di tangan seorang yang pekerja keras, kreatif dan optimis. Pada saat yang sama, pribadi berkualitas akan membawa kebahagiaan hakiki pada keluarga dan melewati hari demi hari dengan penuh makna. Saat kaya, ia dapat mengontrol hartanya. Bukan mindset (pola pikir) konsumerisme yang mengontrolnya. Saat miskin, kekurangan tidak membuatnya pesimis. Karena kemiskinan merupakan cambuk untuk membuatnya berusaha lebih keras dan inovatif. Karena pribadi berkuaalitas adalah prbadi yang hati nuraninya selalu dibimbing oleh agama.
Itulah mengapa Rasulullah menyuruh kita untuk memilih pasangan yang agamis. Karena, hanya pribadi agamislah yang menguntungkan dirinya sendiri dan membahagiakan pasangannya (فاظر بذات الدين تربت يداك).[]