Jodoh Berdasar Cinta
Jodoh Berdasar Cinta itu pilihan. Ada juga yang memilih jodohnya karena pertimbangan materi. Di kalangan orang Jawa tidak sedikit yang menentukan perjodohan karena hitungan weton, primbon dan ramalan para dukun. Yang benar adalah apabila memilih jodoh atas dasar ketaatan seseorang pada agama dan etika sosial.
Oleh A. Fatih Syuhud
Tujuan Pernikahan
Dalam QS Ar-Rum 30:21 Allah menegaskan bahwa tujuan dari pernikahan adalah “supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang (mawaddah wa rahmah).”
Banyak orang yang hendak membina rumah tangga berpendapat bahwa mahligai rumah tangga yang harmonis harus dilandasi perasaan saling mencintai dan menyayangi antara suami-istri. Pandangan ini tidak seluruhnya salah. Rasulullah pernah menganurkan Sahabat Jabir agar menikahi wanita yang “kamu senangi dan menyenangimu.”
Tahapan menuju saling menyayangi
Yang menjadi persoalan adalah bagaimana tahapan untuk menuju level saling menyayangi tersebut. Bagi kalangan non-santri yang tidak memahami ajaran Islam atau tahu tapi tidak mengamalkannya, cara untuk memupuk rasa kasih sayang antara suami-istri adalah dengan proses pacaran terlebih dahulu. Setelah cocok baru dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Kalau tidak, maka diputus di tengah jalan. Walaupun jelas pacaran yang sampai khalwat (berduaan) itu dilarang karena termasuk “mendekati zina.” (QS Al-Isra’ 17:32 ). Bagi kalangan ini, pernikahan tanpa melalui proses pacaran adalah aneh, tidak masuk akal dan ketinggalan jaman. Istilah mereka, “ini bukan jaman Siti Nurbaya.”
Haruskah pernikahan diawali dengan Pacaran?
Sebenarnya tidak semua kalangan non-santri berpandangan seperti itu (perkawinan harus diawali proses pacaran). Pada Maret 2009 koran terkemuka India, The Times of India, pernah mengadakan sebuah survei di kalangan para pemuda India–pria dan wanita. Pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana cara mereka mencari pasangan? Apakah melalui proses pacaran atau minta dijodohkan orang tua?
Jawabannya cukup mengejutkan: 49 persen memilih perjodohan buta (dijodohkan orang tua tanpa mengenal calon sama sekali), 33 persen memilih perjodohan tapi mengenal calonnya (dijodohkan orang tua tapi kenal dengan calon pasangan) dan hanya 18 persen yang memilih perkawinan berdasarkan cinta. Jadi, 82 persen pemuda dan pemudi India memilih dijodohkan dari pada harus repot-repot mencari sendiri.
Survei itu diadakan di sejumlah kota besar di India yaitu Chennai, Mumbai, Delhi, Kolkata, Hyderabad, Bangalore, Pune, Madurai, Mysore, Tiruchirappalli, Coimbatore and Jaipur. Itu artinya, responden survei sangat beragam dan terdiri dari masyarkat modern perkotaan yang umumnya berpendidikan lebih tinggi dibanding para pemuda kota di Indonesia.
Apa yang mendasari cara berfikir kalangan anak muda India dalam soal perjodohan adalah (a) mereka terlalu sibuk belajar dan meniti karir; (b) rasa saling menyayangi antara suami-istri dan keharmonisan rumah tangga dapat dicapai setelah mereka memasuki jenjang rumah tangga.
Kalangan santri di Indonesia tampaknya memiliki kemiripan dengan anak muda perkotaan di India. Dalam arti sama-sama setuju perkawinan tidak harus melalui proses pacaran walaupun tentunya dengan alasan yang berbeda.
Pertama, bagi seorang santri, mengenal kepribadian calon pasangan yang diinginkan tidak harus mengenal secara langsung. Penelitian dan penilaian dari beberapa teman dekat akan lebih obyektif dan akurat. Apalagi, orang yang sedang pacaran cenderung menyembunyikan karakter yang sebenarnya.
Kedua, keharmonisan dan awetnya rumah tangga ditentukan oleh tingginya kemauan kedua belah pihak untuk saling memahami, saling setia, saling mengalah, dan kesediaan untuk saling berkorban. Dan itu tidak ada hubungannya dengan apakah proses perkawinan melalui pacaran atau tidak.
Ketiga, cinta suami-istri tidak harus diawali dengan pacaran. Banyak perkawinan model begini yang berakhir dengan kebencian dan perceraian.
Keempat, seorang santri sejati memiliki komitmen tinggi pada ajaran Islam. Komitmen terhadap ajaran agama adalah perekat perkawinan nomor 1. Komitmen yang kuat pada agama menjadi benteng yang akan menghalangi berbagai macam penyebab retaknya biduk rumah tangga seperti perselingkuhan, ketidakpercayaan dan kekerasan (KDRT). Kalau problem ini tidak ada atau sangat kecil, maka rumah tangga yang mawaddah wa rahmah bukan lagi impian.[]