fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Islam itu Mudah

islam itu mudah

islam itu mudah
Islam itu Mudah, jangan dipersulit. Islam itu luwes, tidak kaku. Pendapat ulama mujtahid itu banyak, jangan terpaku pada satu pendapat saja.

Oleh: A. Fatih Syuhud

Imam Bukhari dalam “Kitab Al-Iman” membuat salah satu judul bab yang menarik: “Bab Ad-Din Yusr” (Agama itu Mudah).[1] Hadits yang berada di bawah bab tersebut adalah berasal dari Abu Hurairah di mana Nabi bersabda: “Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan. Oleh karena itu kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati semestinya dan bergembiralah (dengan pahala Allah) dan mohonlah pertolongan di waktu pagi, petang dan sebagian malam.”[2] Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari Syarah Shahih Al-Bukhari menjelaskan maksud hadits di atas:

Islam itu adalah agama yang mudah, atau dinamakan agama itu mudah sebagai ungkapan lebih (mudah) dibanding dengan agama-agama sebelumnya. Karena Allah mengangkat dari umat ini beban (syariat) yang dipikulkan kepada umat-umat sebelumnya. Contoh yang paling jelas tentang hal ini adalah (dalam masalah taubat), taubatnya umat terdahulu adalah dengan membunuh diri mereka sendiri. Sedangkan taubatnya umat ini adalah dengan meninggalkan (perbuatan dosa) dan berazam (berkemauan kuat) untuk tidak mengulangi disertai dengan penyesalan.[3]

Dalam sebuah hadits sahih riwayat Muslim dari Abu Musa ia berkata: Apabila Nabi mengutus salah seorang Sahabat dalam suatu urusan Nabi bersabda: “Permudah, jangan dipersulit. Gembirakan, jangan membuat mereka lari.”[4] Hadits ini adalah panduan bagi seorang muslim dalam berkomunikasi dengan orang lain baik dalam konteks dakwah mengajak kebaikan secara khusus maupun umum termasuk juga dalam urusan duniawi.

“Permudah” maksudnya adalah pilih jalan yang mudah. Baik dalam perkara yang terkait dengan amal perbuatan kita atau saat berinteraksi dengan orang lain. Itulah sebabnya apabila Nabi harus memilih di antara dua opsi maka beliau memilih yang paling mudah selagi tidak berdosa. Dalam sebuah hadits sahih riwayat Bukhari Aisyah berkata, “Nabi tidak pernah memilih di antara dua perkara kecuali memilih yang paling mudah selagi itu bukan dosa.”[5]

Memilih yang lebih mudah adalah anjuran agama baik dalam masalah ibadah atau muamalah dengan sesama manusia. Karena kemudahan itu adalah yang dikehendaki oleh Allah sebagaimana disebut dalam QS Al-Baqarah 2:185, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”[6] Dengan kata lain, memilih jalan termudah selagi itu masih dalam batasan syariah adalah nilai ideal yang dianjurkan dalam Islam.

Batasan Mudah Menurut Syariah

                Tentu saja yang dimaksud “mempermudah” dalam ayat dan hadits di atas bukan bermakna memudah-mudahkan secara mutlak. Ada batasan yang harus dijaga. Ibnu Bathal dalam Syarah Bukhari mengutip pendapat Thabari menyatakan: Maksud dari kata “Permudah, jangan dipersulit” adalah dalam perkara kebaikan yang sunnah bukan yang wajib. Dan dalam perkara fardhu yang diringankan oleh Allah dalam situasi khusus seperti shalat duduk apabila tidak mampu berdiri, seperti tidak puasa bulan Ramadhan saat perjalanan jauh atau sakit dan hal-hal lain yang mendapat keringanan syariah. Rasul memerintahkan untuk mempermudah dalam perbuatan sunnah dan melaksanakan amal yang tidak memberatkan agar tidak bosan. Karena amal yang paling utama bagi Allah adalah amal yang konsisten (istiqamah) walaupun sedikit. Nabi bersabda pada para Sahabat: Jangan kalian seperti si Fulan yang ibadah sepanjang malam lalu meninggalkannya.”[7]

Al-Qari dalam Mirqat Al-Mafatih menjelaskan bahwa yang dimaksud “mempermudah” itu seperti mengambil zakat pada rakyat dengan secara halus. Sedangkan maksud “jangan mempersulit” artinya mempersulit rakyat seperti mengambil zakat melebihi yang seharusnya.[8]

Dakwah Lembut dan Bijaksana

Setiap individu muslim berkewajiban untuk berdakwah yakni menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran – amar makruf nahi munkar.[9] Dakwah harus dimulai dari diri sendiri, serta anak dan istri.[10] Dan dilanjutkan dengan berdakwah pada sekelilingnya sesuai dengan kemampuan, kompetensi dan kapasitas kepribadian dan keilmuannya.

Akan tetapi dakwah hendaknya tidak dilakukan secara sembarangan. Dakwah harus dilakukan secara terencana dan metode yang baik agar berhasil. Dalam QS Ali Imran 3:159 Allah memerintahkan cara berdakwah yang halus, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”[11] Ayat ini menegaskan bahwa dakwah Islam itu baru akan sukses dan berhasil mengajak sebanyak mungkin orang ke dalam kebaikan apabila dilakukan dengan cara yang lembut dan motivasional dalam arti dapat menggugah hati orang untuk memiliki harapan baru dalam berperilaku lebih baik.

Dakwah juga harus dilakukan dengan bijaksana. Allah berfirman dalam QS An-Nahl :125, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan mauizhah hasanah (nasihat yang baik) dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” Dakwah yang lembut dan bijaksana dapat dimaknai dalam beberapa perspektif.

Pertama, Thabari dalam Tafsirnya menjelaskan maksud mauizhah hasanah dalam QS An-Nahl:125 sebagai “untaian kata yang indah yang telah dijadikan Allah sebagai hujjah (argumen) dalam Kitab-Nya.”[12] Ini artinya, dalam berdakwah hendaknya menggunakan kalimat yang pantas, tidak menyinggung perasaan yang didakwahi apalagi sampai menyakiti hati mereka. Seorang dai harus memiliki standar moral dan etika yang lebih tinggi dari yang didakwahi. Dai hendaknya memiliki perilaku yang melebihi mereka. Bersikap tenang ketika mereka marah. Tetap menjaga tutur kata yang halus terutama pada saat mereka berkata kasar.[13]

Kedua, berdakwah kepada kalangan khusus yang berpendidikan harus dibedakan dengan berdakwah pada kalangan awam. Menurut Al-Qasimi dalam Tafsirnya, mauizhah hasanah adalah ungkapan kalimat yang baik dan halus dan memilih kalimat yang mudah difaham adalah cara berdakwah yang harus dilakukan pada kalangan awam. Sedangkan pada kalangan khusus harus dilakukan dengan ungkapan kalimat yang jelas dan argumen yang benar.[14]

Ketiga, dalam berdakwah pada kalangan awam harus diusahakan untuk bersabar dan fleksibel dengan berusaha memahami kondisi mereka. Dalam sebuah hadits sahih riwayat muttafaq alaih Rasulullah sangat marah ketika mendengar ada imam yang saat shalat membaca surat terlalu panjang karena itu akan membuat makmum tidak sabar dan berpotensi mengganggu aktivitasnya yang lain.[15]

Keempat, dalam berdakwah hendaknya tidak mudah memutuskan bersalah pada apa yang dilakukan oleh kalangan awam terutama dalam masalah fikih yang masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, khususnya di kalangan ulama madzhab empat. Perbedaan ulama baik dalam masalah fikih maupun tauhid hendaknya dijadikan sarana untuk berdakwah dengan cara yang luwes dan menjadikan perbedaan pendapat itu sebagai rahmat yang memberi solusi bagi kalangan yang baru belajar agama ini. Kesabaran terhadap kelompok awam agama akan membuahkan hasil yang tiada akan terduga sebagaimana sabda Nabi Isa, “Bersabar pada orang bodoh satu kali akan mendapat keuntungan sepuluh kali.”[16][]

Endnote

[1] Bukhari, Sahih Bukhari, hlm. 1/23

[2] Teks hadits: إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَة

[3] Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari Syarah Shahih Al-Bukhari, hlm. 1/116.

[4] Hadits riwayat Muslim dan lainnya, Teks hadits: عَنْ أَبِي مُوسَى ، قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، إِذَا بَعَثَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِهِ فِي بَعْضِ أَمْرِهِ ، قَالَ : ” بَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا ، وَيَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا

[5] Hadits riwayat Bukhari. Teks hadits: ما خُيِّر بين شيئين إلا‌ اختار أيسرهما ما لم يكن إثمًا

[6] QS Al-Baqarah 2:185. Teks asal: يُرِ‌يدُ اللَّـهُ بِكُمُ الْيُسْرَ‌ وَلَا يُرِ‌يدُ بِكُمُ الْعُسْرَ‌

[7] Ibnu Bathal dalam Syarah Sahih Bukhari, hlm. 9/302.

[8] Al-Qari dalam Mirqat Al-Mafatih Syarah Misykat Al-Mashabih, hlm. 6/ 2421.

[9] QS Ali Imran 3:110.

[10] QS At-Tahrim :6

[11] QS Ali Imran 3: 159 teks asal: فَبِمَا رَ‌حْمَةٍ مِّنَ اللَّـهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

[12] Tabari dalam Tafsir At-Tabari, hlm. 17/322.

[13] Al-Husain ibnu Mas’ud Al-Baghawi dalam Tafsir Al-Baghawi, hlm. 5/53.

[14] Al-Qasimi dalam Tafsir Al-Qasimi, hlm. 10/3877.

[15] Berdasarkan pada hadits sahih riwayat muttafaq alaih dari Ibnu Mas’ud. Teks hadits: عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنِّي لَأَتَأَخَّرُ عَنْ الصَّلَاةِ فِي الْفَجْرِ مِمَّا يُطِيلُ بِنَا فُلَانٌ فِيهَا . فَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، مَا رَأَيْتُهُ غَضِبَ فِي مَوْضِعٍ كَانَ أَشَدَّ غَضَبًا مِنْهُ يَوْمَئِذٍ ثُمَّ قَالَ : (يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ , فَمَنْ أَمَّ النَّاسَ فَلْيَتَجَوَّزْ ؛ فَإِنَّ خَلْفَهُ الضَّعِيفَ وَالْكَبِيرَ وَذَا الْحَاجَةِ

[16] Zarnuji dalam Taklimul Muta’allim, hlm. 49. Teks asal: احتملوا من السفيه واحدة كي تربحوا عشرا. Lihat juga, Muhammad Munir Mursi dalam Al-Tarbiyah Al-Islamiyah Ushuluha wa Tatawwuruha fi Al-Bilad Al-Arabiyah, hlm. 1/224.

Kembali ke Atas