Hizbut Tahrir (2): Akidah Tidak Percaya Takdir dan Siksa Kubur
Hizbut Tahrir (2): Akidah
Oleh: A. Fatih Syuhud
Hizbut Tahrir membagi akidah Islam menjadi dua: makna umum dan makna khusus. Akidah dalam arti umum adalah pemikiran dasar tentang alam, manusia, kehidupan sebelum di dunia dan setelahnya dan hubungannya dengan kehidupan sebelum dan sesudah mati.[1] Menurut HT, akidah Islam yang umum ini untuk bisa dianggap sebagai akidah yang sahih harus memenuhi dua syarat yaitu, pertama, harus sesuai dengan fitrah manusia. Kedua, harus berdasarkan pada akal.[2]
Yang dimaksud sesuai dengan fitrah manusia adalah akidah itu menetapkan apa yang sudah menjadi fitrah manusia seperti sifat lemah dan butuhnya manusia pada Allah. Akidah Islam itu sendiri adalah akidah yang logis (al-aqliyah) yang sesuai dengan fitrah manusia seperti beragama dan berdasarkan pada akal. Sedangkan akidah yang lain, seperti kapitalisme dan komunisme, tidaklah demikian. Yang dimaksud berdasarkan pada akal adalah tidak berdasarkan pada materi seperti ideologi komunisme atau pada solusi lain seperti ideologi kapitalisme.[3]
Adapun akidah dengan makna khusus menurut HT adalah beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul, hari akhir, qadha dan qadar yang mana baik dan buruknya berasal dari Allah.[4] Iman itu sendiri oleh HT didefinisikan sebagai kepercayaan yang mantap yang sesuai dengan kenyataan dan berdasarkan pada dalil.[5]
HT menyatakan bahwa kepercayaan tanpa dalil tidak akan menimbulkan rasa mantap, tapi hanya percaya pada berita. Dan itu tidak disebut iman. Oleh karena itu, kepercayaan itu harus didukung oleh dalil agar mencapai tingkat mantap dan kemudian iman. Begitu juga, kepercayaan (tashdiq) haruslah pasti sehingga mencapai tahap akidah. Tanpa adanya kemantapan, maka tidak ada iman dan akidah. Begitu juga, kepercayaan haruslah sesuai dengan kenyataan sehingga menjadi iman atau akidah. Apabila tidak sesuai dengan kenyataan maka tidaklah disebut iman.[6]
Pemahaman akidah HT di atas pada dasarnya tidak berbeda dengan akidah Ahlussunnah Wal Jamaah kecuali satu hal, yakni dalam masalah posisi akal terhadap teks wahyu. Bagi HT, akal menjadi patokan utama untuk berakidah. Bukan nash Quran atau hadits. An-Nabhani dalam Nida Har ilal Muslimin dengan tegas menyatakan:
أما من حيث واقع الإسلام نفسه فإن الإسلام أفكار… وذلك لابد أن تجري العملية العقلية في كل ما جاء به الوحي… فالإسلام باعتباره أفكارا أساسه العقل، والأداة التي تفهمه العقل… فحين يقال: إن الإسلام خاضع للعقل فهذا القول الصحيح، وكذلك حين يقال: إن الإسلام مقياسه العقل، فهذا القول أيضًا صحيح؛ لأن العقل هو أساس الإسلام… وحينئذ يكون العقل هو الدليل على المعنى وليس النص.
“Adapun dari segi kenyataan Islam itu sendiri, maka Islam adalah pemikiran .. Oleh karena itu aktivitas akal harus dijalankan dalam memahami wahyu … Islam menganggap wahyu itu dasarnya adalah akal. Alat untuk memahami wahyu adalah akal… Ketika dikatakan bahwa Islam tunduk pada akal, maka ini adalah ucapan yang benar. Begitu juga ketika dikatakan: bahwa Islam itu ukurannya adalah akal, ucapan ini juga betul. Karena akal adalah dasar dari Islam .. Dengan demikian, maka akal menjadi dalil atas makna bukan nash.”[7]
Dari pernyataan di atas, tampak bahwa ideologi HT cenderung dipengaruhi oleh madzhab akidah klasik Muktazilah yang mengutamakan akal dari wahyu. Dan hal ini secara tidak langsung diakui oleh An-Nabhani ketika ia memuji pendiri muktazilah Washil bin Atha. Dalam Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah ia menyatakan: “Mereka (para ulama muktazilah yakni Washil bin Atha, Amr bin Ubaid, Hudzail Al-Ilaf) tidaklah menyimpang dari akidah Islam. Mereka adalah muslim yang membela Islam.”[8]
Qadha dan Qadar
Walaupun sudah disinggung di muka bahwa masalah qadha dan qadar termasuk dari keimanan dalam makna khusus, namun pendiri HT menyatakan bahwa percaya qadha dan qadar itu tidak diwajibkan dalam Islam. Dalam Al-Dausiyah An-Nabhani menyatakan: “Qadha dan qadar bukanlah masalah yang dituntut oleh Islam untuk mengimaninya. Dan bukan termasuk masalah yang diperintahkan oleh Quran dan hadits untuk berakidah dengannya. Oleh karena itu, qadha dan qadar tidak termasuk dari akidah umat Islam yang wajib diyakini. Percaya qadha dan qadar itu tidak dikenal kecuali pada akhir Daulah Umayyah dan awal Daulah Abbasiyah.”[9]
An-Nabhani beranggapan bahwa perbedaan pendapat dalam masalah qadha dan qadar ditimbulkan oleh kesalahan kalangan ulama ilmu kalam terutama Muktazilah, Asy’ariyah maupun Jabariyah. Kesalahan itu timbul karena masalah ini berasal dari pemikiran filsafat Yunani. Masalah ini, menurut Nabhani, tidak terdapat dalam Al-Quran, hadits, ucapan Sahabat maupun Tabi’in.[10] Adapun adanya penyebutan kata yang berimplikasi pada makna qadha dan qadar dalam 10 ayat Quran dan beberapa hadits, maka itu dalam pengertian bahwa semua itu termasuk dari sifat Allah. Dan bahwa Allah mengetahui sesuatu sebelum terjadi dan tidak termasuk dalam masalah qadha dan qadar seperti dipahami ulama mutakallimin.[11] Dengan demikian, maka percaya pada qadha dan qadar menurut HT itu berbeda dengan iman pada qadha dan qadar dalam pengertian Ahlussunnah Wal Jamaah.
Beda Akidah dan Hukum Syariah
HT menyatakan bahwa akidah dan hukum syariah itu berbeda baik dari segi definisi maupun dari pengambilan dalil. Akidah bersifat pasti (qath’i), oleh karena itu ia harus berlandaskan dalil yang qath’i yang berasal dari Quran atau hadits mutawatir. Sedangkan hukum syariah dapat berlandaskan pada hadits ahad yang sahih.
Secara definisi, perbedaan antara akidah dan hukum syariah adalah bahwa hukum syariah itu berkaitan dengan perbuatan individu, sedangkan akidah itu adalah perkara yang harus diyakini atau diimani. Jadi, segala sesuatu yang termasuk ke dalam kategori perbuatan individu atau sesuatu yang dituntut untuk diamalkan, maka itu dianggap bagian dari hukum syariah. Adapun segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan perbuatan individu atau perkara yang harus diyakini, maka itu termasuk dalam masalah akidah. Sebagai contoh, dalam QS Al-Baqarah 2:275 Allah berfirman, “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Ayat ini berkaitan dengan perbuatan individu, oleh karena itu masuk kategori hukum syariah. Sedangkan apabila suatu teks dalil itu tidak berkaitan dengan perbuatan individu dan ada tuntutan untuk percaya, maka itu termasuk masalah akidah. Seperti dalam QS An-Nisa 4:136 Allah berfirman, “Wahai orang yang beriman, berimanlah pada Allah dan RasulNya.” Termasuk dalam kategori akidah adalah ma’shumnya para Nabi, siksa pada Hari Kiamat, nikmat surga, dll.[12]
Menurut HT, ada pula dalil yang mengandung dua unsur akidah dan hukum syariah sekaligus. Contohnya seperti shalat sunnah dua rakaat sebelum subuh. Dari segi mengamalkannya termasuk hukum syariah, dan meyakini bahwa perintah itu dari Allah termasuk masalah akidah. Mengamalkannya adalah sunnah dan mendapat pahala, apabila tidak shalat tidak mendapat dosa. Adapun dari segi akidah mengimani dua rakaat sebelum subuh ini termasuk perkara yang pasti dan kufur bagi yang mengingkarinya. Kedua dalilnya berasal dari hadits mutawatir. Begitu juga, haramnya riba adalah hukum syariah. Mempercayai sebagai hukum yang berasal dari Allah adalah akidah, begitu seterusnya.[13]
Hadits Ahad Bersifat Zhanni (Asumsi)
Sebelum membahas tentang sikap HT terhadap hadits ahad, akan dijelaskan sedikit tentang apa itu hadits ahad. Menurut istilah ilmu mustolah hadits, hadits ahad adalah hadits yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir dari segi jumlah perawi. Hadits ahad terbagi menjadi 3 macam, yaitu : Sahih, Hasan, Dhaif. Hadits sahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak ber’ilat. Hadits Hasan sama definisinya dengan hadits shahih, namun hadits hasan ke-dhabit-annya sedikit di bawah hadits sahih. Sedangkan hadits dhaif ada dua kategori yaitu hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.[14]
Dalam menyikapi hadits ahad, Hizbut Tahrir berpandangan bahwa hadits ahad itu bersifat zhanni (praduga, asumsi) bukan bersifat yaqini (pasti). Itu artinya, hadits Ahad walaupun secara sanad dianggap sahih tapi tetap dianggap tidak bisa dijadikan dalil (hujjah) dalam menetapkan akidah. Misalnya, hadits tentang Nabi yang mengutus seorang utusan ke beberapa raja dan seorang utusan ke pekerja Nabi. Dan hadits tentang Sahabat yang menerima ucapan seorang utusan dalam mengabarkan masalah hukum syariah seperti perintah menghadap kiblat dan perintah haramnya khamar. Juga, Nabi mengutus Ali bin Abu Thalib ke kaum muslimin untuk membaca Surah Taubah padahal dia sendirian. HT menjelaskan bahwa hadits ahad hanya boleh menjadi dalil hukum syariah dan berita keislaman, tapi tidak boleh menjadi dalil masalah akidah.[15]
HT Tidak Percaya Siksa Kubur
Sebagai konsekuensi dari doktrin HT bahwa hadits ahad bersifat zhanni dan perkara zhanni tidak bisa dijadikan dalil untuk masalah akidah, maka ada beberapa kontroversi dari pandangan ini. Antara lain, HT tidak mempercayai adanya siksa kubur. Karena, alam kubur itu menurut mereka adalah bagian dari akidah, sedangkan masalah akidah harus berlandaskan pada Quran atau hadits mutawatir. Menurut HT, hadits terkait siksa kubur adalah hadits ahad. Dalam Al-Majmuah Al-Fikriyah dinyatakan: “Hadits tentang siksa kubur terdapat dalam Sahih Bukhari akan tetapi statusnya hadits Ahad.”[16] Dalam Al-Kurrasah Al-Mutabannah, HT mengomentari dua hadits terkait siksa kubur dari riwayat Aisyah dan Abu Hurairah demikian: “Kedua hadits ini adalah hadits Ahad.”[17] Klaim bahwa hadits tentang siksa kubur berstatus hadits Ahad adalah tidak benar. Dalil hadits terkait siksa dan nikmat kubur berstatus mutawatir menurut ijmak ulama.
Al-Kattani dalam Nazhmul Mutanatsir minal Hadits Al-Mutawatir memasukkan hadits terkait siksa dan nikmat kubur termasuk dalam kategori hadits mutawatir dan diriwayatkan oleh 32 Sahabat.[18] Juga hadits tentang pertanyaan dua malaikat di alam kubur termasuk dari hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh 28 Sahabat.[19] Al-Baihaqi (wafat, 458 H) menulis kitab yang khusus membahas soal ini. Dalam kitab yang berjudul Itsbat Adzabil Qabr wa Sual Al-Malakain, ia mengumpulkan banyak riwayat hadits dalam soal ini yang menunjukkan bahwa hadits terkait masalah siksa kubur bukan hadits Ahad.[20]
Menurut Al-Laqqani, adanya siksa dan nikmat kubur ini selain berdasarkan hadits mutawatir, juga didukung oleh wahyu sebagaimana dinyatakan dalam QS Ghafir 40:46 “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.”[21] Al-Ubai menyatakan dalam Syarah Muslim bahwa adanya hadits tentang siksa kubur bersifat mutawatir dan juga didukung oleh ijmak ulama Ahlussunnah.[22]
Apabila hadits-hadits yang terkait adanya siksa dan nikmat kubur adalah hadits mutawatir, lalu mengapa Hizbut Tahrir mengingkarinya dan menganggap hadits dalam soal ini sebagai hadits Ahad? Ada dua kemungkinan: pertama, Taqiuddin An-Nabhani sebagai pendiri dari gerakan ini kurang memahami akan ke-mutawatir-an status hadits siksa kubur dan menganggapnya hadits ahad. Dan karena itu, siksa kubur dianggap tidak ada. Karena sudah terlanjur memfatwakan demikian, maka ulama HT yang lain tidak berani meralat pendapat tersebut walaupun mengetahui yang sebenarnya. Kemungkinan kedua, An-Nabhani dan ulama HT yang lain sudah tahu status hadits ini namun karena menganggap adanya siksa kubur tidak dapat diterima akal, sedangkan akal merupakan alat utama dalam akidah HT, maka ia mengingkarinya dengan berbagai alasan. Wallahu a’lam.[]
Referensi:
[1] Taqiuddin An-Nabhani, Nizhom Al-Islam, hlm. 4, 5, 12, 24, 25; Mafahim Hizb At-Tahrir, hlm. 15; Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, hlm. 1/15, 195.
[2] Taqiuddin An-Nabhani, Nizhom Al-Islam, hlm. 5, 26, 40, 42.
[3] Taqiuddin An-Nabhani, loc.cit.
[4] Taqiuddin An-Nabhani, Nizhom Al-Islam, hlm. 13, Hizbut Tahrir, hlm. 27, Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, 1/29, Al-Fikrul Islami, hlm. 65.
[5] Taqiuddin An-Nabhani, Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, hlm. 1/2
[6] Taqiuddin An-Nabhani, Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, hlm. 1/29.
[7] Taqiuddin An-Nabhani, Nida Har ilal Muslimin min Hizb Al-Tahrir, hlm. 18.
[8] Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, hlm. 58 dan seterusnya, Teks asal: لم يحصل منهم أي انحراف في العقائد على اختلاف معتقداتهم، فكلهم مسلمون مدافعون عن الإسلام
[9] An-Nabhani, Al-Dausiyah, hlm. 20.
[10] Ibid, hlm. 23-25.
[11] Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, hlm. 1/86-96.
[12] Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, hlm. 1/195.
[13] Muqaddimah Al-Dustur, hlm. 17, 18.
[14] Alawi bin Abbas Al-Maliki-Hasan Sulaiman An-Nuri, Ibanah Al-Ahkam Syarah Bulughul Maram, hlm. 1/10.
[15] Nizham Al-Islam, hlm. 75; Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, hlm. 1/185, 193, 346; Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, hlm. 3/66, 84.
[16] Al-Majmuah Al-Fikriyah, hlm. 136.
[17] Al-Kurrasah Al-Mutabannah, hlm. 7-8.
[18] Al-Kattani, Nazhmul Mutanatsir minal Hadits Al-Mutawatir, hlm. 125.
[19] Ibid, hlm. 123.
[20] Abu Bakar Al-Baihaqi, Itsbat Adzabil Qabr wa Sual Al-Malakain.
[21] Al-Kattani, ibid, hlm. 126.
[22] Al-Kattani, loc.cit.