Aristokrasi Pesantren
Aristokrasi Pesantren dan Suksesi Kepemimpinan Asal mula pesantren dan tradisi semi-aristokratnya penyebab dan dampak yang ditimbulkan darinya. Pesantren, dalam sejarahnya, tidak lepas dari sejarah penyebaran Islam di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren menjadi lembaga ’penyedia’ penerus estafet dakwah Islam.
Oleh Imdad Robbani Zuhri
Telah banyak tulisan terkait dengan pesantren dari berbagai aspeknya. Namun ada sebuah fenomena menarik dalam tradisi pesantren yang tampaknya luput dari perhatian. Padahal, tradisi ini, saya pikir, tidak kalah penting dan menarik untung dibicarakan, mengingat keterkaitannya dengan orang yang secara tradisional diharapkan melanjutkan tradisi kepesantrenan. Fenomena dimaksud adalah pengistimewaan terhadap anak kyai. Dalam tulisan ini, hal itu dibicarakan secara sangat mendasar dan mentah. Tulisan ini hanya berusaha mengumpulkan informasi yang seringkali tidak utuh dan karenanya belum memenuhi standar ilmiah.
Yang akan dibicarakan dalam tulisan ini adalah asal mula pesantren dan tradisi semi-aristokratnya; tradisi pengistimewaan terhadap anak kyai; penyebab dan dampak yang ditimbulkan darinya; pesantren masa depan.
Banyak yang menilai bahwa pesantren—di Jawa dan ada istilah berbeda untuk wilayah lain—adalah institusi yang indigenous di Nusantara. Ia begitu mengakar dalam budaya Nusantara yang Islam masuk ke dalamnya melalui penyebaran damai-kultural, sehingga ia tak dapat lagi dipisahkan dari Islam dan Nusantara. Hal ini berakibat budaya yang terdapat pada masa pra-Islam, sedikit banyak, meresap ke dalam Islam-Nusantara ini. Hal ini sebenarnya bukan masalah, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai universal Islam itu sendiri.
Tidak diketahui secara pasti sejak kapan istilah pesantren dikenal dan digunakan sebagai nama untuk lembaga yang di dalamnya terdapat orang-orang yang belajar ilmu agama. Istilah ini sering dirujukkan pada masa penyebaran Islam di zaman Wali Songo. Pesantren tertua yang dapat dideteksi saat ini adalah pesantren Tegalsari Ponorogo yang didirikan pada akhir abad ke-18, yang dulu diasuh oleh Kyai Hasan Besari dan konon menjadi tempat belajar seorang pujangga Jawa terkenal, Ronggowarsito.
Pada perkembangannya pesantren semakin mendapat tempat ditengah masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan posisi pemimpin pesantren yang pada umumnya mendapat ’kelas’ sosial—untuk menyebutnya demikian—yang tinggi di tengah masyarakat.
Disamping perkembangan positif yang diraih sejalan dalam perjalanannya, ia juga tidak terhindar dari beberapa hal negatif yang bisa jadi datang dari pengaruh tradisi lokal Nusantara—khususnya Jawa-Madura.
Dalam perjalanannya, pesantren, secara sosial, dapat dinilai sebagai institusi—atau setidaknya kental dengan aroma—aristokratik; sekelompok orang yang memiliki kedudukan terhormat berdasarkan faktor keturunan.
***
Di pesantren wilayah Jawa-Madura terdapat sebuah tradisi—kadang dipahami sebagai kewajiban bagi santri (pelajar di sebuah pesantren)—untuk menghormati anak kyai. Di Madura dan ’koloninya’, sebutan untuk seorang anak kyai adalah lora, bindereh, dan—di beberapa tempat—non. Sementara di Jawa mereka disebut gus, mas, atau cak.
Tradisi ini begitu kental dalam tradisi pesantren sehingga nyaris tidak ada—untuk tidak mengatakan tidak ada—satu pesantren pun yang tidak memraktikkan tradisi ini—dengan corak yang beragam antara satu dan yang lainnya. Sekalipun dalam pesantren yang mengklaim dirinya modern, hereditas tetaplah merupakan faktor yang tak terbantahkan perannya, terutama dalam kepemimpinan—sekalipun pada beberapa pesantren telah mulai ada usaha untuk—setidaknya—mengurangi hal ini.
Bisa jadi tradisi ini berasal dari masyarakat Jawa-Madura sebelum kedatangan Islam. Memang, belum ditemukan data konkrit yang menunjukkan hal ini, namun setidaknya ciri aristokrasi kerajaan-kerajaan Jawa dapat pula ditemukan—sampai batas tertentu—pada tradisi penghormatan di pesantren. Penghormatan terhadap inner circle kerajaan yang didasarkan pada kekuasaan politik berubah—dalam kasus pesantren—menjadi penghormatan-berdasarkan otoritas keagamaan.
***
Dalam situasi normal, menghormati orang lain adalah tindakan terpuji. Namun pada fenomena yang terjadi di pesantren ini terdapat sesuatu yang jika dibaca secara cermat akan ditemukan bahwa hal itu justru membawa dampak destruktif bagi pesantren itu sendiri.
Pada banyak kasus, penghormatan yang dilakukan terhadap anak kyai di pesantren sering tidak proporsional. Penilaian ini didasarkan pada kecenderungan manusia yang akan menghormati orang lain yang sudah berbuat ’sesuatu’. Seseorang yang terlahir sebagai anak kyai biasanya adalah seseorang yang sejak kecil terbiasa dengan beragam fasilitas, terutama fasilitas sosial.
Seorang gus atau lora, tanpa melakukan sesuatu yang berarti untuk orang yang menghormatinya dihormati sedemikian rupa, hingga bisa jadi mereka berpikir bahwa penghormatan yang mereka terima adalah sesuatu yang alamiah dan ’berhak’ mereka terima—tanpa harus mereka usahakan.
Penghormatan orang pada gus dan lora umumnya didasari pada pandangan yang terkenal—terutama dalam konteks masyarakat Jawa Timur dan khususnya Madura—dan sering diulangi untuk ’meracuni’ para gus dan lora, yaitu: macan hanya akan melahirkan macan. Ungkapan ini bisa dipahami bahwa anak seorang kyai secara alamiah pasti menjadi kyai, betapapun dia tidak qualified untuk hal itu.
Salah satu dampak buruk dari hal itu ialah ketika ia mulai berpikir bahwa tanpa usahapun dia akan tetap menjadi kyai. Dampak lanjutan dari hal ini—jika hal ini terjadi—adalah ia tidak berusaha dengan jalan ’orang biasa’.[]