Rumah Tangga Miskin (2): Menjaga Iman
Rumah Tangga Miskin (2): Menjaga Iman
Oleh A. Fatih Syuhud
Kemiskinan itu banyak sebabnya. Ada karena faktor keturunan. Ada juga yang berasal dari keluarga kaya, lalu bangkrut dan jatuh miskin. Apapun penyebabnya namun rasanya sama: kemiskinan adalah masalah dan musibah yang perlu dicarikan solusinya.
Kemiskinan semakin terasa berat bagi orang yang dulunya kaya. Karena mereka tidak terbiasa hidup dalam keadaan yang serba kekurangan setelah mereka terbiasa hidup serba ada. Lihat, miasalnya, salah satu keluhan yang dikirim ke saya melalui email dari seseorang di salah satu daerah di Sumatera:
“Pak ustad tolong tanyakan kepada Allah, apa tujuanNya menciptakan manusia..Apa karena Dia mau menunjukkan kekuatannya.dan kekuasaan-Nya. Selama 2 tahun semua yang saya kerjakan gagal..Anak istri saya mau makan. Saya sudah tidak kuat. Kalau memang Dia mau menunjukkan kekuatanNya, tolong ambil nyawa kami, kami sudah tidak kuat. Apa ini tujuannya untuk menyiksa kita? Karena semakin saya hidup,semakin banyak dosa, tolong ambil nyawa. Kami ikhlas.”
Dalam email yang lain dia menulis, “Ya Allah aku merasa tidak kuat lagi.aku mohon ya Allah..ampunilah dosa kami. Jika masih layak hidup berikanlah rezeki-Mu.jika tidak ya Allah.ambillah akmi, karena semakin lama.imanku semakin terkikis”
Isi surat di atas adalah dua surat yang dikirimkan di antaral surat-surat yang lain yang jumlahnya lebih dari 10 buah. Semakin lama surat-suratnya semakin menunjukkan keputusasaannya dan ketidaksiapan mentalnya atas kemiskinan yang dideritanya. Maklum, sebelum bangkrut dia terbiasa mendapatkan uang puluhan juta perminggu dan sekarang katanya puluhan ribu saja susah.
Saya beri jawaban berupa saran agar bersabar dan terus berusaha dan pengertian bahwa musibah yang datang bukan berarti hukuman. Ia bisa saja berupa ujian dari Allah untuk melihat level keimanan yang dimiliki (QS Al-Ankabuut 29: 2-3). Bahkan manusia yang paling dikasihi Allah sekalipun, yaitu para Nabi dan Rasul, juga mendapat musibah yang justru paling berat seperti Nabi Ayub, Nabi Yusuf, Nabi Isa, dan lain-lain, Respons saya yang cukup panjang saya muat juga di situs alkhoirot.net.
Namun segala saran dan nasihat saya tampaknya tidak dapat dia terima. Dia kembali mengirim sejumlah email yang isinya kurang lebih sama bahkan tambah parah. Salah satu isi emailnya sebagai berikut: “Jika meminta kepada syaitan kenapa cepat dikabulkan. kenapa meminta kepadaMu sangat sulit Engkau dengarkan..Manakah yang harus aku tempuh.sedangkan kasihMu ya Allah.hampir tidak aku rasakan.”
Naudzubillah min dzalik. Semoga kita dijauhkan dari rasa putus asa yang demikian. Benar apa yang dikatakan Al-Manawi dalam kitab Faidhul Khabir bahwa kemiskinan dapat mendekatkan pada kekufuran karena, antara lain, orang miskin cenderung menyalahkan siapapun di luar dirinya termasuk agama dan Tuhannya.
Pelajaran yang dapat diambil dari kasus di atas adalah, pertama, bahwa kemiskinan dapat menimpa siapa saja termasuk mereka yang berasal dari keluarga kaya. Oleh karena itu, menyiapkan mental untuk kemungkinan terburuk itu perlu antara lain dengan pembiasaan hidup sederhana dalam rumah tangga.
Kedua, level pendidikan dan ijazah yang tinggi serta keterampilan yang baik bukan jaminan untuk tidak miskin. Apabila Allah menghendaki, segala jalan menuju rezeki akan tertutup. Itu adalah ujian bagi keimanan kita, apakah kita akan bersabar dan terus berusaha atau hanya akan diam dan menyalahkan Tuhan. Lakukan hal yang pertama agar kita disayang Allah dikala miskin dan kaya karena keduanya adalah ujian. (QS Al-Anbiya’ 21:35). Dengan kata lain, jagalah iman saat kemiskinan datang. Karena saat seperti ini, gelombang serangan yang akan merusak keimanan sangat kuat.
Ketiga, kemiskinan bukan hal yang menakutkan yang harus dicaci maki. Ia memang bukan hal yang menyenangkan tapi bukanlah akhir dari segalanya. Karena, di dalamnya terdapat banyak hikmah yang terkandung. Ambil hikmahnya saat kita miskin. Dan ingat mutiara hikmah itu dan jangan melupakannya saat kita kaya.[]