Progresif dalam Islam
Santri Progresif.
Oleh A. Fatih Syuhud
Progresif bermakna keinginan untuk maju. Dengan demikian, santri yang progresif berarti santri yang memiliki kenginan kuat (determinasi) untuk selalu bergerak ke depan di berbagai lini kehidupan dan kesediaan untuk selalu mereformasi diri khususnya di bidang wawasan keilmuan(QS Al Mujadalah 58:11)[1] dan perilaku (QS At Tin 95:4-6)[2] ke arah yang lebih baik dari sudut pandang agama maupun sosial kemasyarakatan.
Menjadi pribadi yang progresif merupakan perintah agama dan karena itu tidak ada alasan bagi seorang santri untuk tidak menjadi progresif. Setidaknya ada beberapa kriteria seorang santri dapat dianggap progresif:
Pertama, haus akan ilmu. Ilmu merupakan cinta pertama santri. Dan karena itu mencari ilmu tidak dianggap keharusan, tapi sudah menjadi kebutuhan. Ilmu ibarat air yang tanpanya tiada makhluk yang dapat bertahan hidup. Santri progresif menjadikan pencarian ilmu sebagai urat nadi kehidupannya. Salah satu ciri khas santri yang haus ilmu adalah rajin membaca.
Tentu saja yang dimaksud ilmu bukan hanya ilmu agama (QS At Taubah 9:122)[3] dalam pengertian sempit seperti Quran, Hadits, Fiqh, Nahwu Sharaf dan semacamnya. Lebih dari itu, semua ilmu yang dapat memiliki manfaat bagi kemaslahatan diri sendiri dan umat manusia akan di”minum”-nya (QS Ali Imran 3:190).[4]
Kedua, wawasan luas dan terbuka (open minded). Karena selalu haus ilmu, maka secara natural santri progresif akan luas wawasannya. Dan luas wawasan identik dengan cara berfikir terbuka dan tidak sempit. Terutama dalam menyikapi perbedaan (QS Al Maidah 5:48),[5] khususnya perbedaan pendapat antar-golongan dalam umat Islam dengan cara, antara lain, berusaha memakai standar paling ketat untuk diri sendiri, dan menggunakan standar penilaian paling longgar untuk orang atau golongan lain.
Ketiga, perilaku yang reformatif. Banyak ilmu sangatlah pincang tanpa reformasi perilaku. Santri progresif selalu memperbaiki perilakunya. Santri yang banyak ilmu akan menjadi ilmuwan. Santri yang mereformasi perilakunya akan menjadi pemimpin. Dan santri progresif adalah seorang ilmuwan sekaligus pemimpin yang baik ilmu maupun tindak tanduknya akan menjadi rujukan banyak orang di sekitarnya.
Reformasi perilaku adalah jihad besar seperti disebut dalam sebuah Hadits Nabi saat kembali dari kemenangan besar di perang Badar, “Kita baru pulang dari jihad kecil (perang Badar), menuju jihad besar yaitu (memerangi) nafsu.”
Perang untuk melawan musuh dianggap jihad kecil oleh Rasulullah karena ia merupakan pertarungan fisik yang kasat mata dan melawan pihak lain. Sedangkan mereformasi diri merupakan “perang” yang tidak kasat mata. Lebih sulit lagi, karena yang diperangi untuk direformasi adalah karakter diri sendiri. Manusia lebih mudah melihat kejelekan karakter orang lain dibanding kekurangan diri sendiri.
Oleh karena itu mereformasi karakter memiliki dua tingkat kesulitan. Pertama, untuk mengidentifikasi apa saja kekurangan yang terdapat dalam perilaku kita dan, kedua, menanamkan kemauan yang kuat (determinasi) untuk merubahnya serta kedisiplinan untuk konsisten dengan perubahan diri yang kita lakukan. Etika agama, etika sosial dan etika universal hendaknya menjadi standar dalam proses mengevaluasi kekurangan diri ini.
Santri progresif yang memiliki ketiga kriteria di atas akan menjadi sosok ilmuwan, ulama (orang alim) dan sekaligus pemimpin yang akan menjadi panutan siapapun yang memiliki kejujuran dan hati nurani.[]
CATATAN AKHIR
[1] Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[2] Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
[3] Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
[4] Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
[5] Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu,