Buku A. Fatih Syuhud

Visi, pemikiran dan karya tulis A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Peluang Abbas Atasi Krisis Palestina

A Fatih Syuhud
Media Indonesia, Selasa, 15 Februari 2005

PERTEMUAN sejumlah pemimpin negara Timur Tengah di Sharm el-Sheikh beberapa waktu lalu, yang melibatkan Presiden Mesir Husni Mubarak, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, Raja Abdullah II dari Jordania, dan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon telah membuka era baru hubungan Israel-Palestina. Usai konferensi itu, Mahmoud Abbas mengatakan, ”Apa yang kami umumkan hari ini adalah awal dari pelaksanaan butir-butir peta perdamaian yang diprakarsai kuartet perdamaian, dan hal itu pula merupakan langkah penting untuk membuka peluang baru bagi bergulirnya proses perdamaian, seperti sedia kala.” Sedangkan Ariel Sharon mengatakan, ”Di depan kita adalah kesempatan untuk menjauhi pertumpahan darah yang telah menghinggapi kita selama empat tahun terakhir ini.”

Prestasi di Sharm el-Sheikh itu tidak lepas dari peranan presiden baru Palestina, Mahmoud Abbas atau Abu Mazen yang merupakan figur pragmatis dan moderat. Semua pihak, tidak hanya Israel, AS, dan Eropa, tetapi juga kalangan Islamis semacam Hamas, menginginkan dia memenangkan pemilu yang baru diadakan untuk jabatan Presiden Otoritas Palestina.Abbas mengejutkan banyak pengamat dengan melakukan kampanye pemilu yang lihai di mana selama kampanye sempat menyebut Israel sebagai ‘Zionist enemy’. Israel mengenal Abbas dengan baik untuk tidak menganggap retorika pemilu semacam itu sebagai isu besar. Abbas akan merasa lebih nyaman seandainya ia memenangi pemilu dengan 70% suara, bukan 62%. Akan tetapi, jelas dia telah mendapat mandat cukup untuk mengimplementasikan dan memenuhi manifesto pemilunya.

Pemilu pasca-Arafat yang pertama ini melahirkan fakta menarik. Gerakan mainstream Fatah, komponen utama PLO, telah berhasil menciptakan imej baru di tubuh Palestina. Gerakan ekstremis ini memberi ruang pada kelompok moderat. Terjadinya marjinalisasi kalangan Islamis garis keras diharapkan menjadi awal yang baik bagi dimulainya dan berkembangnya pembicaraan damai.

Dalam banyak hal, alasan faktor Arafat tidak lagi ada bagi Ariel Sharon, yang akan berada di bawah tekanan AS. George W Bush pasti ingin sekali melihat berhasilnya proses Peta Damai di Timteng untuk alasan historis dan sebagai cara kompensasi penyelamat muka atas kekacauan di Irak.

Memang pertemuan di Sharm el-Sheikh itu telah melewati perjalanan panjang, karena sempat diwarnai sejumlah insiden seperti yang terjadi di Karni, Jaluar Gaza, di mana enam Israel tewas. Insiden itu sempat mengendurkan semangat Israel untuk melanjutkan gagasan pertemuan dengan pemimpin negara Timur Tengah. Namun, di tengah-tengah kemasygulan itu, masyarakat internasional berharap insiden di Karni tidak akan mengakibatkan perubahan strategis dalam proses perdamaian, tetapi hanya sebuah penundaan taktis. Pemerintahan Sharon mengeluarkan pernyataan menyusul insiden Karni, tetapi sampai sejauh ini beberapa tindakannya tidak terlalu drastis. Abbas tidak cenderung menggunakan kekuatan untuk menundukkan kelompok radikal dan memilih untuk membujuk mereka untuk menyepakati gencatan senjata sebagaimana yang pernah dia lakukan semasa menjadi perdana menteri era Arafat. Dan akhirnya, pertemuan tingkat tinggi yang melibatkan Israel, Mesir, Jordania, dan Palestina itu terjadi juga.

***

Sharon tentunya akan semakin memperkuat posisi Abbas seandainya Sharon menawarkan untuk melepaskan sejumlah tahanan Palestina dalam jumlah signifikan. Secara emosional, ini merupakan satu-satunya isu paling penting bagi rakyat Palestina.

‘Bantuan’ Sharon berikutnya adalah dengan membongkar sejumlah pos pemeriksaan, blokade ekonomi dan rintangan lain untuk rakyat Palestina. Namun, adalah salah besar apabila bersikeras menuntut penghentian aktual seluruh kekerasan sebagai prasyarat bagi dimulainya pembicaraan damai, tidak hanya karena hal itu tidak realistis mengharapkan Abbas dapat mengontrol seluruh elemen radikal, tetapi juga karena peta jalan tidak menuntut hal tersebut.

Peta jalan, dalam tahap pertama, menuntut diakhirinya kekerasan oleh kedua belah pihak dan juga diakhirinya seluruh aktivitas perkampungan ilegal, termasuk perluasan perkampungan yang sudah ada dan pembongkaran sejumlah kamp militer di Tepi Barat. Penghentian kekerasan oleh Palestina bukanlah prasyarat bagi Israel untuk menaati kewajibannya dalam soal perkampungan. Keduanya harus diimplementasikan secara serentak.

Rencana Sharon untuk mundur dari Jalur Gaza merupakan langkah brilian. Hal ini pada dasarnya dimotivasi oleh keinginan untuk mengurangi korban dan menyelamatkan nyawa rakyat Israel sendiri. Rencana penarikan dari Jalur Gaza juga memiliki keuntungan tambahan untuk membangun imej Sharon, orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan massal di Sabra dan Shatilla, sebagai sosok moderat di mata masyarakat internasional ketika banyak kalangan di dalam partainya menentang rencana itu.

Memang dari pertemuan di Sharm el-Sheikh itu Ariel Sharon mendapatkan momentum karena ia bisa hadir di negara Arab terbesar (Mesir) dengan diapit tiga pemimpin Arab, padahal selama ini Sharon dicitrakan sebagai tokoh Yahudi yang tangannya penuh dengan lumuran darah Arab. Kecuali itu, Sharon juga mendengar sendiri deklarasi Presiden Abbas tentang berakhirnya segala bentuk kekerasan dan kemungkinan kembalinya Duta Besar Mesir dan Jordania ke Tel Aviv. Namun, di atas bangunan tersebut, sebenarnya Presiden Abbas mendapatkan keuntungan lipat ganda karena sesungguhnya deklarasi itu menguntungkan gerakan perlawanan Palestina karena gerakan perlawanan itu memberikan gencatan senjata kepada Presiden Abbas bukan kepada PM Sharon. Di situlah kepiawaian seorang Abbas. Memang, meskipun Palestina kini memiliki tokoh sekaliber Abbas, namun masa depan penyelesaian konflik di negeri itu sangat tergantung dari komitmen warga Palestina dan Israel untuk patuh dan taat kepada deklarasi Sharm el-Sheikh tersebut. Karena itu, pekerjaan rumah bagi Presiden Abbas setelah memenangi pemilu dan menjadi arsitek konferensi Sharm el-Sheikh, adalah bagaimana menjaga manuver kubu garis keras agar tidak mematuk fondasi perdamaian itu. ***

Peluang Abbas Atasi Krisis Palestina
Kembali ke Atas