fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Jihad dalam Islam (5): Larangan dalam Perang

larangan dalam perang jihad

larangan dalam perang jihadJihad dalam Islam (5):  Larangan dalam Perang
Oleh: A. Fatih Syuhud

Menghilangkan nyawa manusia adalah salah satu dosa besar dalam Islam.[1] Baik nyawa orang lain atau diri sendiri.[2] Kecuali dalam dua hal: dalam perang[3] dan qishash.[4] Dalam peperangan yang terjadi antara muslim dan kafir, maka penghilangan nyawa lawan merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan. Dan itu legal secara agama maupun secara hukum internasional. [5] Namun, dalam situasi perang pun, tidak semua tindakan membunuh dan merusak itu dibenarkan.  Ada aturan-aturan yang berlaku yang harus dipatuhi.

Dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah dijelaskan:  “(saat perang berkecamuk) Tidak boleh membunuh perempuan, anak-anak, orang gila, dan khunsa musykil ini kesepakatan ulama. Begitu juga, tidak boleh membunuh orang tua menurut jumhur ulama. Madzhab Hanbali menjelaskan bahwa petani yang tidak ikut perang hendaknya tidak dibunuh berdasarkan riwayat dari Umar ia berkata: ‘Takutlah pada Allah (jangan membunuh) petani yang tidak memerangimu.’ Auzai berkata: ‘Petani hendaknya tidak dibunuh apabila diketahui bahwa ia bukan kombatan (pasukan tempur).’”[6]

Ulama ahli fiqih klasik membagi orang kafir menjadi dua yaitu kafir dzimmi dan kafir harbi. Kafir dzimmi adalah orang non-muslim yang melakukan perjanjian damai dengan negara Islam. Sedangkan kafir harbi adalah kaum non-muslim yang tidak memiliki perjanjian damai dengan Islam. Kafir dzimmi tidak boleh diperangi secara mutlak kecuali kalau mereka merusak perjanjian yang disepakati. Sedangkan kafir harbi  boleh diperangi. Namun demikian, hanya individu kafir harbi yang ikut berperang yang boleh dibunuh. “Ulama fiqih sepakat bahwa darah kafir harbi itu dibolehkan. Apabila kafir harbi dibunuh oleh muslim maka tidak ada tanggungjawab baginya apabila termasuk pelaku perang (muqatil). Sedangkan kafir harbi yang bukan muqatil seperti wanita, anak-anak, orang tua, pendeta dan lainnya yang bukan pelaku perang dan bukan ahli strategi perang, maka tidak boleh dibunuh. Dan pembunuh kafir harbi non-kombatan harus ditakzir kecuali apabila yang dibunuh itu ikut berpartisipasi dalam perang melawan non-muslim atau membantu dengan pendapat, strategi atau penyemangat (pasukan).”[7]

Selain dilarang membunuh kecuali pasukan lawan, seorang mujahid yang sedang berperang melawan pasukan kafir juga dilarang membunuh hewan kecuali untuk dimakan dan menebang serta membakar pohon. Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad, Nabi bersabda: “Barangsiapa membunuh anak kecil atau orang tua atau membakar pohon kurma atau memotong pohon berbuah atau menyembelih kambing untuk diambil kulitnya maka ia tidak akan kembali dalam keadaan dicukupkan rejekinya.”[8]

Membunuh pendeta, biarawan, menghancurkan bangunan, membakar tanaman juga dilarang dalam jihad fi sabilillah.  Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq mengutus Yazid bin Abu Sufyan ke Syam sebagai panglima perang, ia berpesan pada Yazid sesuai pesan yang diberikan Rasulullah: “Jangan membunuh anak kecil, wanita, orang tua, orang sakit, pendeta, jangan menebang pohon berbuah, jangan merusak bangunan, jangan menyembelih unta atau sapi kecuali untuk dimakan, jangan menenggelamkan sarang tawon dan membakarnya.”[9] Termasuk juga dilarang merobohkan atau merusak tempat ibadah seperti gereja, kuil, vihara, kelenteng, dan sebagainya. [10] Bahkan, para ulama dengan tegas menyatakan bahwa pelaku pelanggaran harus dihukum mati.[11]

Pasukan kafir yang kalah diberi kebebasan untuk tetap memeluk agamanya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan Nabi membiarkan penyembah berhala bernama Tsamamah bin Atsal Al-Hanafi yang tertangkap dalam pertempuran untuk tidak berpindah agama. Nabi lebih memilih meminta para sahabat untuk berdialog bersama Al-Hanafi saat penyembah berhala itu merasa terjamin keselamatannya.[12]

Aturan Islam dalam peperangan di atas memberikan sejumlah pelajaran berharga bagi kita antara lain, pertama,  perang jihad fi sabilillah yang dilakukan muslim terhadap non-muslim  adalah opsi terakhir.[13] Pilihan utama adalah jihad secara non-kekerasan.[14]  Dalam situasi perang pun, syariah Islam tetap mewajibkan agar kerusakan yang timbul karena perang diusahakan seminimal mungkin. Yakni, hanya terbatas pada pasukan tempur dari kedua pihak. Kalangan yang tidak ikut bertempur tidak boleh diganggu, apalagi dihancurkan, termasuk infrastruktur.

Kedua, jihad perang hanya dilakukan antara negara muslim dengan non-muslim.  Bukan antara muslim dengan sesama muslim.  Peperangan yang dilakukan antara sesama muslim, seperti yang terjadi saat ini di Timur Tengah, adalah haram dan dosa besar. Nabi bersabda: “Apabila dua orang muslim bertemu dengan kedua pedangnya, maka yang membunuh dan yang dibunuh sama-sama masuk neraka.”[15]

Ketiga, sikap muslim yang ideal adalah menghormati sesama manusia (al-ukhuwah al-insaniyah) bukan hanya dengan sesama muslim tapi juga dengan non-muslim yang menghargai kita sebagaimana dengan tegas dinyatakan dalam QS Al-Mumtahanah 60:8 “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang kafir yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”[16]

Keempat, perang bukan pilihan utama dalam Islam, bahkan itu solusi terakhir. Tujuan utama dari syariah adalah meningkatkan kualitas manusia ke level terbaik di bidang akhlak. Baik akhlak kepada Allah maupun akhlak pada sesama makhluk.[17]  Sehingga potensi dan kemampuan yang dimiliki dapat bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia dan alam semesta, di dunia dan akhirat.[]

Footnote

[1] QS Al-Maidah 5:32 “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” Lihat juga, QS Al-Baqarah 2:179.

[2] Uraian detail, lihat A. Fatih Syuhud “Jihad dalam Islam (4): Bom Bunuh Diri, Jihad atau Terorisme?”

[3] QS At-Taubah 9:36 “Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”  Lihat juga, QS Al-Baqarah 2:190.

[4] QS Al-Baqarah 2:178 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh… Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).”

[5] A. Fatih Syuhud, “Jihad dalam Islam (2): Jihad Kecil”.

[6] Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, hlm. 42/353. Teks asal: ولا يجوز قتل النساء، والصبيان، والمجانين، والخنثى المشكل باتفاق الفقهاء، وكذلك لا يجوز قتل الشيوخ عند جمهور الفقهاء، وصرح الحنابلة بأن الفلاح الذي لا يقاتل لا ينبغي أن يقتل؛ لما روي عن عمر ـ رضي الله عنه ـ أنه قال: اتقوا الله في الفلاحين الذين لا ينصبون لكم الحرب ـ وقال الأوزاعي: لا يقتل الحراث إذا علم أنه ليس من المقاتلة

[7] Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, hlm. 42/194. Teks asal: اتفق الفقهاء على أن دم الكافر الحربي ـ وهو غير الذمي، والمعاهد، والمؤمن ـ مهدر، فإن قتله مسلم فلا تبعة عليه إذا كان مقاتلا، أما إذا كان الكافر الحربي غير مقاتل كالنساء، والصبيان، والعجزة، والرهبان وغيرهم ممن ليسوا أهلا للقتال أو لتدبيرها، فلا يجوز قتله، ويعزر قاتله، إلا إذا اشترك في حرب ضد المسلمين، أو أعانهم برأي، أو تدبير، أو تحريض

[8] Hadits riwayat Ahmad dinukil oleh Al-Haitsami dalam Majmauz Zawaid wa Manbaul Fawaid, “Kitab Al-Jihad”. Teks asal: من قتل صغيرا أو كبيرا أو أحرق نخلا أو قطع شجرة مثمرة أو ذبح شاة لإهابها لم يرجع كفافا

[9] Hadits riwayat Baihaqi, Sunan Al-Kubro, no. 17591 dari Abu Bakar. Teks hadits: لا تقتلوا صبيا ، ولا امرأة ولا شيخا كبيرا ، ولا مريضا ، ولا راهبا ، ولا تقطعوا مثمرا ، ولا تخربوا عامرا ، ولا تذبحوا بعيرا ولا بقرة إلا لمأكل ، ولا تغرقوا نحلا ولا تحرقوه. Lihat juga, Pesan Rasulullah setiap mengirim delegasi perang berdasar hadits riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas.  Teks hadits: عَنِ ابن عباس رضي الله عنهما قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم إِذَا بَعَثَ جُيُوشَهُ قَالَ: “اخْرُجُوا بِسْمِ اللَّهِ تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ لَا تَغْدِرُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تُمَثِّلُوا وَلَا تَقْتُلُوا الْوِلْدَانَ وَلَا أَصْحَابَ الصَّوَامِع

[10] Teks hadits: أوصيكم بتقوى الله وبمن معكم من المسلمين خيراً، إغزوا باسم الله تقاتلون في سبيل الله من كفر بالله، لا تغدروا ولا تغلوا ولا تقتلوا وليداً ولا امرأة ولا كبيراً فانياً ولا منعزلاً بصومعة ولا تقربوا نخلاً ولا تقطعوا شجراً ولا تهدموا بناءً

[11] Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, hlm. 9/251.  “Barangsiapa yang memerangi non-kombatan seperti wanita, orang tua, pendeta dalam pertempuran maka ia dibunuh. Tidak ada perbedaan ulama dalam soal ini. Ini pendapat Auza’i, Tsauri, Laits, Syafi’i, Abu Tsaur, dan ulama Ahli Ra’yi.” Teks asal: ومن قاتل من هؤلاء أو النساء أو المشايخ أو الرهبان في المعركة قتل  لا نعلم فيه خلافا وبهذا قال الأوزاعي والثوري والليث والشافعي وأبو ثور وأصحاب الرأي

[12] Abdul Malik bin Hisyam Al-Humairi dalam As-Sirah An-Nabawiyah (Ibnu Hisyam), hlm. 2/639.

[13] Lebih detail tentang tipologi jihad defensif dan ofensif, lihat A. Fatih Syuhud “Jihad dalam Islam (2): Jihad Kecil”

[14] Lihat, A. Fatih Syuhud, “Jihad dalam Islam (1): Jihad Besar”

[15] Hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Bakrah. Teks lengkap hadits: عن أبي بكرة أن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ قال: “إذا التقى المسلمانِ بسيفَيْهما فالقاتل والمقتول في النار” قلت: يا رسول الله هذا القاتِل فما بالُ المقتول؟ قال: “إنّه كان حريصًا على قتل صاحبه”Lihat penjelasan hadits ini oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, hlm. 18/11 dan As-Syaukani dalam Nailul Autor, hlm. 7/50.

[16] QS Al-Mumtahanah 60:8 Teks asal:  لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّـهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّـهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

[17] Tujuan syariah menurut ulama ada lima yaitu hifzhud din (memelihara agama), hifzhunnafs (memelihara diri), hifzhul aql (menjaga akal), hifzhun nasl (memelihara keturunan), hifdzul mal (menjaga harta).  Bahasan detail soal ini lihat Dr. Abu Abdirrahman Al-Akhdari dalam Al-Faiq fil Maqashid Al-Syar’iyah.

Kembali ke Atas