Irak, Vietnam Kedua Bagi AS?
Oleh A. FATIH SYUHUD
Pikiran Rakyat, Kamis, 06 Nopember 2003
IRAK kembali menghiasi headline berbagai media dunia, tak terkecuali Indonesia. Resolusi terbaru DK PBB memberikan legitimasi pada pasukan pendudukan AS dan Inggris. Konferensi Madrid dianggap oleh banyak kalangan sebagai sukses besar. Memo internal Menlu AS Donald Rumsfeld pada empat pembantu terdekatnya banyak diberitakan media. Isinya tampak kurang menyenangkan dalam konteks operatif. Tertulis, “AS relatif kurang memiliki rencana jangka panjang, tetapi kita bekerja keras dalam usaha untuk menyetop teroris! Namun, rasio antara biaya dan keuntungan tampak tidak memihak kita!”
Acara “60 Minutes” televisi CBS yang disiarkan minggu ini menayangkan sejumlah hasil wawancara tentang beberapa perubahan pandangan kalangan Syiah dalam soal peran AS di Irak. Kantor berita Prancis AFP telah melaporkan hasil jajak pendapat yang diadakan oleh Centre for Research and Strategic Studies Irak. Tayangan televisi CBS dan laporan AFP dalam soal Irak itu tampaknya patut disimak.Televisi CBS mewawancarai dua agamawan Syiah, yang termasuk dari kalangan yunior, tetapi cukup banyak membuat berita. Salah satu di antaranya, Hussein Khomeini. Hussein membuat pernyataan yang seandainya diucapkan 15 tahun lalu niscaya akan membuat kakeknya, Ayatullah Khomeini, marah besar. Khomeini muda ini mengecam sistem teokrasi dalam bentuk apa pun dan di mana pun.
Bila pernyataan Hussein Khomeini menyenangkan telinga kalangan hawkist Gedung Putih, pandangan agamawan satunya lagi, Moqtada al Sadr, putra dari Grand Ayatullah Irak yang terbunuh oleh aktivis partai Baath dan memiliki pengaruh sangat besar, justru sebaliknya, menyengat telinga Gedung Putih. Dalam pernyataannya, Moqtada menganggap Saddam Hussein sebagai naga kecil dan Amerika sebagai naga besar. “Naga kecil itu telah pergi dan naga besar baru saja masuk,” katanya.
Oposisinya terhadap pendudukan AS semakin tampak dengan adanya fakta semakin meningkatnya sejumlah serangan pada pasukan AS di kawasan Syiah. Aktivisme Syiah menentang pasukan pendudukan ini juga merupakan sebuah bagian yang kompleks dalam kalkulasi domestik Irak. Karena perlawanan atas pendudukan, apabila dibiarkan dilakukan oleh kalangan Sunni saja, hal itu dapat berdampak besar pada distribusi akhir kue kekuasaan pada periode pascakonflik.
Jajak pendapat yang dilaporkan AFP itu diadakan pada awal Oktober di kota-kota besar kawasan Syiah, Sunni, dan Kurdi. Kendati mengandung sejumlah keterbatasan, hasilnya menarik untuk dicermati. Sebanyak 67% rakyat Irak menganggap kehadiran AS sebagai pendudukan dan hanya 15% menganggapnya sebagai pembebas. Survei yang sama yang dilakukan pada bulan April setelah patung Saddam dirobohkan adalah masing-masing 46% dan 43%.
Kembali pada laporan AFP, 46% responden rupanya berpendapat bahwa situasi keamanan semakin memburuk dan hanya 23% percaya bahwa pasukan koalisi mampu memperbaiki keadaan. Ditanya tentang bentuk pemerintahan masa depan Irak, 33% responden mendukung bentuk negara Islam sedang 30% memilih demokrasi ala Barat. Dalam soal siapa yang paling layak memimpin Irak masa depan, agamawan Syiah al Hakim, Bahr al Ulum dan Ibrahim al Jafar menduduki tiga urutan teratas (masing-masing 58%, 57%, dan 54%). Pilihan ini jelas lebih berpihak pada kalangan agamawan Syiah dibanding dengan pemimpin Irak yang dikenal dunia Barat. Kalangan pendukung teori modernisasi Irak tampaknya perlu mengkaji kembali argumen mereka.
Irak juga dibahas dalam pertemuan puncak Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Malaysia dan apa yang terjadi di sana cukup menarik. Pendudukan asing atas sebuah negara anggota mendorong negara-negara anggota lain untuk menelorkan sebuah resolusi menyerukan jadwal akhir pendudukan dan agar PBB diberi peran utama. Akan tetapi, tekanan terbuka Amerika telah berakibat pada diubahnya resolusi itu dengan sebuah pernyataan yang hanya mendorong penarikan mundur AS dan adanya peran bagi PBB. Hal yang cukup menarik adalah seorang anggota Dewan Pemerintah Irak, yang memimpin delegasi negerinya ke konferensi itu menganggap draf resolusi itu sebagai bentuk campur tangan urusan dalam negeri Irak (dan oleh karena itu bertentangan dengan Piagam OKI). Padahal, OKI hanya mengikuti tren yang telah digariskan oleh resolusi 1511 DK PBB pada 16 Oktober yang memberikan otoritas pada pasukan koalisi pimpinan AS untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna memelihara situasi keamanan.
Resolusi itu memberi PBB sebuah “peran vital” (bukan peran “utama”) dalam rekonstruksi Irak. Resolusi terbaru ini merupakan kemenangan semantik dan kekalahan substansi. Kendati AS tampak berhasil mengegolkan resolusi, sikap enggan berbagai negara donor dalam memberikan komitmen finansial di Madrid tampak jelas menunjukkan adanya rasa skeptis mereka untuk berspekulasi di Irak.
Vietnam kedua
MANTAN Menlu AS, Henry Kissinger, menulis dalam salah satu bukunya, dua dekade setelah peristiwa perang Vietnam, tentang kejutan “robohnya konsensus nasional Amerika dalam soal Vietnam”. Apakah demonstrasi di Washington pada akhir minggu ini dan eskpresi ketidaksepakatan pada minggu-minggu terakhir di Beltway dan di tempat lain di AS, menandakan awal dari proses serupa? Apakah Irak akan menjadi Vietnam kedua bagi AS?
Ada fakta paralel yang tampak mengarah ke situ. Mulai dari kemarahan atas anggapan adanya konspirasi internasional terhadap Amerika dan determinasi untuk membangun institusi bebas di negara lain. Kemudian diikuti oleh kesadaran adanya keterbatasan kekuasaan Amerika dan menyebarnya kemarahan moral atas tewasnya tentara Amerika dalam perang di tanah asing.
Sebuah laporan Human Right Watch (HRW) pada 21 Oktober yang menuduh pasukan AS telah menggunakan kekuatan berlebihan (excessive force) terhadap warga sipil Irak telah menambah dimensi baru dalam konflik ini. Laporan HRW itu hanya menyentuh salah satu aspek dari taktik kolonialisme. Ia tidak menyebut sejumlah laporan yang cukup kredibel atas adanya hukuman kolektif, hukuman pada komunitas petani berupa perusakan tanaman dan kebun buah-buahan. Hal-hal semacam itu tentu sulit untuk dilupakan.
Oleh karena itu, rencana besar menuju sebuah Timur Tengah Baru, yang dibuat untuk “membuka pintu demokrasi di dunia Arab dan kelangsungan hidup negara Israel” seperti yang diimpikan kalangan hawkist pemerintahan Bush tampaknya akan terbentur realitas pahit.
Di sisi lain, legitimasi terbuka yang diberikan AS atas taktik represif Ariel Sharon tidak dapat berbuat banyak untuk menjamin keamanan Israel dan rasa aman rakyatnya. Sekaligus sama sekali tidak membantu terciptanya road map yang dirancang Bush. Sebaliknya, kemarahan kalangan akar rumput terhadap kebijakan AS telah mencapai level yang tak terpikirkan di seluruh dunia Arab.
Dapatkah hal ini menjadi pertanda perubahan? Mungkin. Akankah hal ini akan berlanjut menuju terciptanya reformasi demokratis yang dibarengi dengan kestabilan aktivitas ekonomi? Penulis cenderung menjawab tidak. Prospek akan terjadinya kondisi stabil kawasan Timur Tengah mungkin hanya ada dalam fantasi sebagian kecil ideolog yang mengelilingi Bush, sedangkan dunia pada umumnya akan melihatnya dengan rasa penuh kekhawatiran. Kita di Indonesia hendaknya tidak berilusi tentang itu. Begitu juga kita hendaknya tidak tertipu dengan prospek pseudomodernisasi yang dipaksakan dari luar.***
Penulis mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University India.