Demokrasi ala Syiah Irak
Oleh A Fatih Syuhud
Media Indonesia, Kamis, 03 Maret 2005
KALANGAN Syiah Irak memperkenalkan fenomena baru dalam dunia demokrasi: demokrasi diam. Hasilnya justru lebih dramatis. Berapa lama kelompok Syiah menunggu untuk berkuasa di Irak secara diam-diam? Lebih dari 1.300 tahun menurut hitungan Masehi dan 1.400 tahun dalam hitungan Hijriah.
Sejak putra Sayidina Ali, Husain, keluarga dan pengikutnya, dibantai di padang Karbala dalam perebutan kekuasaan melawan Umayyah, Sunni telah berkuasa di kawasan itu yang mencakup juga Irak. Damaskus waktu itu menjadi ibu kotanya; sedangkan Baghdad dibangun oleh Khalifah Abbasiyah, Mansur. Syiah membantu Abbasiyah melengserkan Umayyah, dan dengan cepat dilibas begitu kekuasaan di ambang pintu Abbasiyah. Kemudian, Abbasiyah menyerahkan kekuasaan pada Turki sebelum pasukan Hulagu dari Mongolia menghancurkan mereka dan Bagdad pada 1258. Setelah itu, pergantian kekuasaan silih berganti yang terbagi antara Turki dan tokoh Kurdi legendaris Salahuddin Al Ayyubi (Saladin) sampai khilafah Usmaniyah Turki berhasil merestorasi stabilitas dan kesatuan otoritas pusat dan berakhir dengan kemenangan Inggris pada Perang Dunia I pada 1918.
Pada 1917, Inggris merebut Yerusalem dan Bagdad dari Turki; pada 1918 Inggris berhasil menguasai seluruh kawasan Arab, termasuk Mekkah dan Madinah, pertama dalam sejarah kedua Tanah Suci itu dikuasai nonmuslim. Inggris mencoba pemerintahan langsung di Irak. Pada bulan Ramadan, 1920, Syiah menyatakan jihad melawan pendudukan Inggris di Najaf dan Karbala. Mereka menyebut Inggris ‘Franji’, istilah yang pernah dipakai untuk kalangan Salibis. Sunni dengan sukarela bergabung dalam perlawanan itu. Inggris terpaksa menarik kepala pemerintahannya, AT Wilson. Pada 1921, Winston Churchill, menteri kolonial Imperium Inggris, mengangkat pemerintahan boneka berwajah Arab untuk menarik sentimen massa. Faisal, pangeran dari keturunan Hasyimiyah, menjadi raja baru Irak. Faisal tidak pernah tinggal di Irak kecuali ketika duduk di takhta singgasananya pada jam 6 pagi 23 Agustus 1921.Dinamika politik kolonialisme kala itu tidak relevan dibahas panjang, namun perlu dicatat bahwa minyak dikontrol oleh perusahaan asing, dan basis militer Inggris tetap bercokol di Irak jauh setelah Inggris secara resmi ‘menarik diri’ dari Irak yang berdaulat.Kemarahan rakyat atas sikap kompromistis Faisal akhirnya memuncak, dan pada 14 Juli 1958 keluarga kerajaan dibunuh secara sadis (bagian-bagian tubuh keluarga kerajaan dibagi-bagi sebagai tropi oleh rakyat) setelah sebuah kudeta yang dipimpin oleh gerakan Tentara Pembebasan Irak. Duta besar Inggris Sir Michael Wright bersembunyi, tetapi dalam waktu 24 jam berhasil membuat perjanjian dengan orang kuat baru yang menjamin terproteksinya seluruh kepentingan Inggris di Irak. Pada Februari 1963, kalangan pejabat dari Partai Baath merebut kekuasaan dari kelompok koalisi yang tak solid. Akan tetapi, siapa pun yang berkuasa di Irak, semuanya berasal dari minoritas Sunni. Yang terakhir dan paling sukses dari mereka adalah Saddam Hussein, yang muncul di permukaan setelah kudeta berdarah pada 1968. Saddam, seperti yang kita ketahui, juga seorang Sunni.
Mobilisasi politik Syiah dalam konteks modern bermula setelah kudeta 1958, dengan terbentuknya Al Dawa Al Islamiyah oleh Mahdi Al Hakim dan Mohammad Baqr Al Sadr. Tujuannya adalah untuk membentuk demokrasi dan hak pilih, memperjuangkan Islam, memerangi ateisme (baca: komunisme) dan menciptakan Republik Islam yang belum didefinisikan. Pada 1965 seorang ulama diasingkan dari Iran dan tinggal di Najaf: Ayatullah Ruhullah Khomeini.
Dalam rangkaian ceramahnya antara 21 Januari dan 8 Februari 1970 di Najaf, Khomeini mendefinisikan bentuk negara Islam dan menawarkan diagnosa untuk ‘dunia Islam yang putus asa dan impoten’. Kalangan pimpinan Syiah yang prorezim yang berkuasa di Najaf, dipimpin oleh Grand Ayatullah Abulqassem Khoi, yang didukung oleh Saddam, menentang keras Khomeini dan Shah Iran. Akan tetapi, rakyat berbeda pendapat. Slogan di Najaf jelas menggambarkan sentimen yang berkembang: ‘Kami di sini siap berkorban untukmu, Khomeini!’
Saddam dan Khomeini berkuasa pada tahun yang sama: 1979. Khomeini menyerukan Syiah Irak untuk bangkit menentang Saddam. Saddam merespons dengan satu-satunya cara yang dia ketahui. Tidak ada yang tahu persis berapa jumlah Syiah yang dieksekusi. Ayatullah Hakim dihukum mati, tetapi kemudian diizinkan pergi ke Iran. Pada April 1990 Sadr dan saudarinya, Amina, dihukum mati oleh Saddam.
Tampaknya, Gedung Putih-nya Bush membuat dua miskalkulasi. Pertama, ia mentransfer kebencian Syiah pada Saddam menjadi sambutan pada Amerika dan mengartikan kediaman Syiah sebagai restu pada AS. Kedua, Washington memilih figur Syiah, Perdana Menteri Ayad Allawi dengan kalkulasi akan mendapat cukup suara dari komunitasnya untuk membentuk aliansi dengan Kurdi yang pro-AS yang akan memungkinkan Allawi tetap dalam posisi sebagai kepala pemerintahan selama pembuatan Konstitusi. Seperti dimaklumi, apa yang dipilih dalam pemilu Irak adalah parlemen dan pemerintahan interim.
Tetapi, pemimpin dari diamnya Syiah adalah Ayatullah Ali Al Sistani. Dalam isyarat pertama ke depan, Sistani mengantongi lebih dari 70% suara dibanding 18% untuk Allawi. Ayatullah Al Sistani sudah lama menunggu hari semacam ini. Pesannya pada komunitas Syiah cukup sederhana: jangan berisik, biarkan kekerasan dilakukan Sunni, dan kerahkan tenaga untuk pemilu. Itulah mengapa dia dapat mengontrol Muqtada Al Sadr, ketika Sadr mengangkat senjata. Dengan kata lain, Syiah dapat menggunakan kekerasan juga apabila perlu, terutama apabila mandat kekuasaan hasil pemilu ditolak.
Ada peribahasa lama Cina yang mungkin cocok untuk situasi Bush saat ini. Berhati-hatilah atas apa yang kita kehendaki, karena kita mungkin akan mendapatkannya. Bush menginginkan demokrasi di Irak. Dia telah mendapatkan itu, walaupun mungkin tidak persis seperti skenario yang dia inginkan.***