Buku A. Fatih Syuhud

Visi, pemikiran dan karya tulis A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Al-Wala’ Wal Bara’ menurut Wahabi Salafi dan Ahlussunnah Wal Jamaah

al-wala'-wal-bara' menurut Wahaلاi Salafi

al-wala'-wal-bara' menurut Wahaلاi Salafi
Doktrin Akidah Salafi Wahabi: Al-Wala’ Wal Bara’
Oleh: A. Fatih Syuhu

Al-wala’ wal bara’ adalah salah satu doktrin kalangan Salafi Wahabi dalam melakukan interaksi dengan manusia. Baik dengan sesama muslim maupun dengan non-muslim. Bahkan, menurut Ibnu Taimiyah yang memelopori doktrin ini, ia menjadi bagian dari rukun akidah Islam dan salah satu syarat keimanan.[1] Apa itu konsep akidah al-wala’ wal bara’?

Secara etimologis, al-wala’ memiliki beberapa makna seperti cinta, pertolongan, ikut, dekat. Sedangkan al-bara’ juga mengandung beberapa arti seperti jauh, berlepas diri, permusuhan.[2] Adapun dalam terminologi syariah, al-wala’ bermakna “menolong, menyukai, memuliakan orang yang disukai secara lahir batin.”[3] Sedangkan al-bara’ bermakna menjauh, melepaskan diri, permusuhan setelah mengingatkan.[4]

Ibnu Taimiyah dalam Majmuk al-Fatawa menjelaskan implementasi doktrin ini: “Bagi seorang muslim wajib bermusuhan dan berteman karena Allah. Muslim wajib berteman dengan sesama muslim. Walaupun pernah mendzaliminya. Karena, kedzaliman itu tidak memutuskan persekutuan keimanan sebagaimana disebut dalam QS Al-Hujurat 49:9 ‘Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!’ Allah tetap menganggap adanya persaudaraan sesama muslim walaupun sudah terjadi peperangan dan pelanggaran perjanjian dan Allah memerintahkan berdamai antara mereka. Muslim wajib bersekutu dengan sesama muslim walaupun dia menzalimi dan memusuhi. Sedangkan kafir wajib dimusuhi walaupun membantumu dan berbuat baik padamu. Allah mengutus para utusan dan menurunkan kitab-kitab agar supaya seluruh agama hanya untuk Allah. Maka, cinta hendaknya pada kekasih Allah dan benci pada musuh Allah; memuliakan dan pahala pada kekasih-Nya, sedangkan penghinaan dan siksa pada musuh-Nya.[5]

Dalam penjelasan di atas, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa sikap memusuhi orang kafir adalah harga mati sebaik apapun dia pada muslim dan sebesar apapun bantuannya pada muslim.

Lalu, bagaimana sikap seorang muslim pada muslim lain yang tidak seakidah, pelaku maksiat, atau pelaku “bid’ah”? Ibnu Taimiyah menjelaskan: “Apabila dalam diri seorang muslim berkumpul berbagai karakter yang berlawanan seperti baik dan buruk, khianat, taat dan maksiat, pelaku sunnah dan bid’ah, maka dia berhak atas pertemanan dan pahala menurut kadar kebaiknnya; dan berhak atas permusuhan dan siksa menurut kadar keburukannya. Maka, dalam satu individu terkumpul hal yang mewajibkan untuk dimuliakan dan dihinakan seperti hukum cambuk, potong tangan karena mencuri dan berhak atas bantuan dari Baitul Mal menurut kadar kebutuhannya.[6] Namun, pendapat Ibnu Taimiyah yang sudah sempit ini kemudian oleh sebagian ulama Wahabi semakin dipersempit lagi, dengan memasukkan muslim yang tidak seakidah ke dalam golongan kafir, sebagaimana penjelasan di bawah.

Dengan demikian, maka penerapan akidah al-wala’ wal bara’ menurut kalangan ulama Salafi Wahabi terbagi menjadi tiga: pertama, orang yang harus dicintai sepenuhnya. Yaitu, orang muslim yang taat pada ajaran syariah Islam dan mengikuti akidah Salafi Wahabi.[7]

Kedua, orang yang disukai di satu sisi, dan dibenci di sisi lain. Yaitu, orang muslim yang seakidah (penganut Wahabi Salafi) tapi mencampur aduk amal baik dan buruk. Ia harus disukai menurut kadar kebaikannya dan dibenci dan dimusuhi menurut kadar keburukannya.[8]

Ketiga, orang yang harus dibenci secara total. Dalam hal ini ada empat kelompok yaitu, (a) orang yang kufur (ingkar) pada Allah, para malaikat, kitab-kitab Allah dan hari akhir. Tidak percaya pada takdir baik dan buruk. Dan bahwasanya semua terjadi karena qadha dan qadar-Nya. Ingkar adanya hari kebangkitan setelah mati; (b) meninggalkan salah satu rukun Islam yang lima atau mensyirikkan (menyekutukan) Allah dengan orang lain dalam ibadah  seperti dengan para Nabi, para wali dan orang shaleh dan melakukan perbuatan yang dianggap ibadah pada mereka seperti mencintai, berdoa, takut, berharap, mengagungkan, meminta tolong, istighotsah, menyembelih, nadzar, merendahkan diri, senang, takut, bergantung; (c) mengikuti atau mempelopori perbuatan yang dilakukan oleh ahli bid’ah yang sesat; (d) setiap orang yang melakukan salah satu atau semua dari 10 perbuatan[9] yang mengeluarkan diri seseorang dari Islam.[10]

Jadi, dalam bahasa yang sederhana al-wala’ wal bara’ adalah teologi cinta dan benci pada sesama manusia berdasarkan pada agama yang dipeluk dan akidah yang dianut. Siapa yang harus dicintai dengan sepenuh hati (muslim taat yang seakidah), atau dicintai dengan setengah hati (muslim seakidah tapi kurang taat), dan siapa yang harus dibenci dengan sepenuh hati (orang kafir dan orang muslim yang tidak seakidah baik taat atau pendosa).

Pandangan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja)

Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah menolak konsep al-wala’ wal bara’ dijadikan sebagai syarat dari akidah apalagi disebut sebagai salah satu dari rukun Islam.  Syaikh Dr. Syauqi Allam, mufti Mesir,[11] menyatakan: “Dalam ilmu tauhid, ilmu kalam atau ilmu-ilmu lain yang membahas akidah keimanan bagi muslim tidak ada yang disebut dengan “akidah al-wala’ wal bara.”[12] Itu artinya, bahwa menjadikan doktrin ini sebagai akidah dan rukun iman adalah bid’ah yang tidak dicontohkan oleh generasi salaf.[13]

Bagi kalangan Aswaja, rukun iman itu hanya ada enam sebagaimana disebut dalam hadits sahih riwayat muslim yaitu:  “beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para Rasul, hari akhir, takdir baik dan buruk.”[14]

Menurut Syauqi Allam, senang dan benci itu pada dasarnya perbuatan hati yang timbul dari akidah keimanan. Seorang muslim yang beriman pada enam rukun iman di atas akan otomatis membuahkan rasa cinta dan kecondongan pada sesama muslim. Sebagaimana akan timbul dalam hatinya sikap melepaskan diri dari pemikiran yang berlawanan dengan yang diyakininya.[15]

Syaudi Allam menambahkan bahwa tidak berteman dengan non-muslim dalam arti memusuhi dan menyakiti mereka, dalam konteks di luar keadaan perang, adalah berlawanan dengan teks sharih (eksplisit) dari Al-Quran dan sunnah. Muslim diperintah untuk berkata baik pada setiap manusia tanpa membedakan agamanya. Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah 2:83 “Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.”[16] Dalam QS An-Nahl 16:90 Allah berfirman “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.”[17] Sebagaimana Allah tidak melarang muslim untuk berbuat baik pada non-muslim, menyambung silaturahmi, memberi hadiah dan menerima hadiah dari mereka dan bentuk kebaikan yang lain. Allah berfirman dalam QS Al-Mumtahanah 60:8[18] “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”[19]

Kesimpulan

Dari uraian singkat di atas, ada dua benang merah yang dapat ditarik terkait soal ini, pertama, bahwa doktrin al-wala’ wal bara’ adalah doktrin teologi bid’ah yang tidak ada dan tidak digunakan oleh kalangan generasi salaf. Kedua, bahwa doktrin al-wala’ wal bara’ atau suka dan benci berdasar agama dan kesamaan akidah, yang oleh kalangan Salafi Wahabi dianggap sebagai  akidah dan pilar iman, menjadi salah satu penyebab penting yang melatarbelakangi sikap radikal kalangan ini di samping doktrin tauhid uluhiyah dan rububiyah.[20] Sementara doktrin tauhid uluhiyah rububiyah digunakan sebagai alat untuk mengkafirkan sesama muslim yang tidak seakidah, maka doktrin al-wala’ wal bara’ digunakan untuk dua tujuan yaitu (a) untuk mempererat ikatan persaudaraan antara sesama golongan yang sama-sama berakidah Wahabi Salafi; (b) untuk membenci dan memusuhi “golongan di luar” mereka bagaimanapun baiknya golongan luar tersebut. Yang dimaksud “golongan luar” bukan hanya kelompok non-muslim, tapi juga kalangan sesama muslim yang tidak seakidah.[]

[1] Ibnu Taimiyah, Kitab Al-Iman, hlm. 14.

[2] Ibrahim Musthofa, dkk, Al-Mukjam Al-Wasith.

[3] Ibnu Abil Izzi, Syarah Al-Thohawiyah, hlm. 403

[4] Ibnu Taimiyah, Al-Furqon, hlm. 53; Majmuah Ulama, Al-Durar Al-Saniyah fil Ajwibah Al-Najdiyah, hlm. 2/325.

[5] Ibnu Taimiyah, Majmuk Al-Fatawa Ibnu Taimiyah, hlm. 12/208-209.

[6] Ibid.

[7] Sulaiman Ibnu Sahman, Irsyad Al-Thalib, hlm. 13.

[8] Ibnu Taimiyah, Majmuk Al-Fatawa Ibnu Taimiyah, loc. cit.

[9] 10 perbuatan pembatal keislaman atau nawaqidh al-islam al-ashrah adalah doktrin Muhammad bin Abdil Wahab, pendiri gerakan Wahabi. Kesepuluh poin tersebut adalah: syirik, tawasul, tidak mengkafirkan orang kafir, percaya bahwa hukum selain syariah Islam itu lebih baik, tidak menyukai syariah walaupun mengamalkan, menghina ajaran Islam, sihir, membantu orang kafir melawan muslim, meyakini bahwa mengikuti syariah Rasul itu tidak wajib, berpaling dari Islam dengan tidak mempelajari dan mengamalkan. Lihat, Al-Durar Al-Saniyah, hlm. 8/89-90 dan Muallafat Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhab, hlm. 5/212-214.

[10] Sulaiman Ibnu Sahman, op.cit., hlm. 19. Teks asal: من يبغض جملة وهو من كفر بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر، ولم يؤمن بالقدر خيره وشره، وأنه كله بقضاء الله وقدره وأنكر البعث بعد الموت، وترك أحد أركان الإسلام الخمسة، أو أشرك بالله في عبادته أحداً من الأنبياء والأولياء والصالحين، وصرف لهم نوعاً من أنواع العبادة كالحب والدعاء، والخوف والرجاء والتعظيم والتوكل، والاستعانة والاستعاذة والاستغاثة، والذبح والنذر والإبانة والذل والخضوع والخشية والرغبة والرهبة والتعلق، أو ألحد في أسمائه وصفاته واتبع غير سبيل المؤمنين، وانتحل ما كان عليه أهل البدع والأهواء المضلة، وكذلك كل من قامت به نواقض الإسلام العشرة أو أحدها

[11] Mufti Mesir sejak 2013 sampai sekarang.

[12] “Al-wala’ wal Bara’”, nomor fatwa 2726, http://dar-alifta.org.eg.

[13] Tentang salaf dan salafi, lihat A. Fatih Syuhud “Beda Generasi Salaf dan Gerakan Salafi Wahabi”.

[14] Hadits riwayat Muslim dari Umar bin Khattab. Hadits ini dikenal dengan sebutan hadits Jibril. Teks asal: قال : ” أخبرني عن الإيمان ” قال : ( أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر ، وتؤمن بالقدر خيره وشره ) .

[15] Syauqi Allam, loc.cit.

[16] QS Al-Baqarah 2:83 Teks asal: وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا

[17] QS An-Nahl 16:90 Teks asal: إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ

[18] QS Al-Mumtahanah 60:8. Teks asal: لَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوَهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ المُقْسِطِينَ

[19] Syauqi Allam, loc.cit.

[20] A. Fatih Syuhud, “Beda Tauhid Ahlussunnah dan Salafi Wahabi: Uluhiyah Rububiyah”, fatihsyuhud.net

Al-Wala’ Wal Bara’ menurut Wahabi Salafi dan Ahlussunnah Wal Jamaah
Kembali ke Atas