Ummu Habibah Istri Rasulullah
Ummu Habibah adalah Istri Nabi Muhammad yang merupakan putri dari Abu Sufyan. Abu Sufyan adalah kepala suku Quraisy yang paling berpengaruh di Makkah yang sangat menentang dakwah Islam. Namun satu tahun setelah pernikahan putrinya dengan Nabi, Abu Sufyan menyatakan diri masuk Islam. Ummu Habibah sendiri masuk sejak awal kerasulan Nabi dan bersama suaminya hijrah ke Habasyah (Ethiopia) untuk menghindari penindasan bangsa Quraish.
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin El-Ukhuwah
Ponpes Putri Al-Khoirot Malang
Ummu Habibah adalah salah satu istri Nabi. Nama aslinya adalah Romlah binti Abu Sofyan dan lahir pada tahun 35 sebelum hijrah atau 589 Masehi. Ummu Habibah adalah julukan kuniyah berdasarkan nama putrinya dari suami pertama. Ia salah satu perempuan Makkah yang masuk Islam sejak awal kerasulan Nabi Muhammad hampir bersamaan dengan sepupunya yaitu Usman bin Affan, Khalifah ketiga Islam. Sedangkan ayahnya, Abu Sofyan bin Harb, adalah salah satu musuh Islam utama dan paling berkuasa di Makkah pada awal kerasulan Nabi karena ia ketua suku Quraish. Abu Sofyan baru masuk Islam setelah penaklukan Makkah pada tahun ke-8 Hijrah atau 630 Masehi. Setahun setelah putrinya menikah dengan Rasulullah.
Ummu Habibah masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi dari kakek buyut mereka yakni Abdu Manaf. Oleh karena itu, ia menjadi istri Nabi yang paling dekat hubungan nasabnya dengan Rasulullah. Ia juga menjadi istri Nabi yang paling mahal maskawinnya. Ia juga menjadi satu-satunya istri Nabi yang saat dinikah berada di tempat yang berbeda dengan Nabi: yakni Nabi berada di Madinah sedangkan Ummu Habibah berada di Habasyah (Ethiopia).
Pernikahan Ummu Habibah dengan Nabi adalah perkawinan yang kedua. Suami sebelumnya adalah Abdullah bin Jahsh Al-Asadi. Dengan suami pertamanya inilah pada tahun 616 Masehi ia hijrah ke Habasyah (Ethiopia) setelah masuk Islam demi menghindari penindasan dan siksaan dari kaum kafir Quraisy. Dari suami pertama inilah Ummu Habibah memperoleh seorang putri bernama Habibah. Sejarawan Ibnu Ishaq menyatakan bahwa saat berada di Habasyah Abdullah bin Jahsh murtad dan memilih masuk Kristen sampai meninggal pada tahun 627 Masehi .[1] Sedangkan Ummu Habibah tetap menjadi seorang muslimah dan menolak ajakan suaminya untuk masuk Nasrani dan memilih bercerai dengan suaminya.[2] Namun, pendapat yang sahih menyatakan hal ini tidak benar. Ubaidillah bin Jahsh tetap seorang muslim dan tidak bercerai dengan Ummu Habibah sampai akhir hayatnya. Faktanya, berdasarkan penuturan Ummu Habibah sendiri, Rasulullah baru menikahinya setelah kematian suaminya.[3]
Pernikahan Nabi dengan Ummu Habibah terbilang unik dibanding pernikahan istri-istri Nabi sebelumnya karena beberapa hal. Pertama, yang menjadi wali nikah saat perkawinan itu adalah kerabat jauh dari Ummu Habibah yang bernama Khalid bin Said bin Al-Ash yang saat itu sama-sama berada di negara Habasyah (Ethiopia). Jadi, yang menjadi wali bukanlah ayah atau saudara kandung dari Ummu Habibah yang saat itu masih kafir. Al-Mawardi dalam Al-Hawi Al-Kabir menyatakan ini menunjukkan bahwa ayah yang kafir tidak berhak dan tidak sah menikahkan putrinya yang muslim dan hak perwalian pindah ke kerabat lain yang muslim atau ke wali hakim.[4]
Kedua, Rasulullah sebagai pengantin pria berada di Madinah dengan jarak 1.357 km dari negeri Habasyah tempat pengantin wanita berada. Ini artinya, pengantin pria dapat tidak hadir pada acara ijab kabul dan mewakilkan pada orang lain.
Ketiga, Nabi meminta bantuan raja Habasyah yang non-muslim untuk melamar Ummu Habibah. Raja Najasyi tidak hanya memenuhi permintaan Rasulullah, tapi juga sekaligus membantu Nabi memberikan maskawin sejumlah 400 dinar emas serta pesta perkawinan yang meriah. Setelah itu, Raja Najasyi mengutus Syurahbil bin Hasanah untuk menemani Ummu Habibah ke Madinah menemui Nabi. Al- Quran mengingat peristiwa ini dengan turunnya ayat dalam QS Al-Mumtahanah 60:7. Ummu Habibah menikah dengan Nabi dalam usia 36 tahun sedang Rasulullah berusia 60 tahun. Pernikahan ini terjadi pada tahun ke-7 hijriah atau 628 masehi. Setahun kemudian, Abu Sufyan bin Harb, ayah dari Ummu Habibah dan kepala suku Quraish yang paling memusuhi Nabi menyatakan masuk Islam.
Salah satu hikmah berharga yang bisa diambil dari kisah Ummu Habibah ini adalah bahwa tidak ada larangan bagi seorang muslim untuk bersahabat baik dengan orang non-muslim selagi mereka juga berperilaku baik pada kita. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS Al-Mumtahanah 60:8 “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang (kafir) yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”[]
[1] Dalam kitab Ar-Raudh Al-Anf, 6/347, Ibnu Ishak menceritakan: فحدثني محمد بن جعفر بن الزبير قال: كان عبيد الله بن جحـش ـ حين تنصَّر ـ يمر بأصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم وهم هنالك من أرض الحبشة، فيقول: فقّحنا وصأصأتم؛ أي أبصرنا، وأنتم تلتمسون البصر ولم تبصروا بعد. Lihat juga, Sirah Ibnu Ishaq, Tahqiq Muhammad bin Humaidullah, hlm. 241. Riwayat hadits dalam soal ini sanadnya dianggap dhaif karena Ibnu Ishak adalah generasi ketujuh yang tidak pernah bertemu Sahabat Nabi.
[2] Dalam kitab Al-Istiab (Hamish Al-Isobah), hlm. 2/263; Tarikh Thabari, 2/213. Lemahnya riwayat Thabari karena berasal dari Hisyam bin Muhammad bin Saib Al-Kalbi yang menurut Imam Ahmad berstatus matruk. Lihat Lisanul Mizan 6/196.
[3] Dalam hadits sahih riwayat Ahmad dengan sanad yang sahih dari Zuhri dari Urwah dari Ummi Habibah: نها كانت تحت عبيد الله ابن جحش، وكان أتى النجاشي فمات، وأن رسول الله صلى الله عليه وسلم تزوج أم حبيبة وهي بأرض الحبشة، زوّجها إياه النجاشي، وأمهرها أربعة آلاف. (Bahwasanya Ummu Habibah pernah menjadi istri dari Ubaidullah bin Jahash. Ia datang ke Habasyah tempat Raja Najasyi dan meninggal di sana. Dan bahwa Rasulullah menikahi Ummu Habibah saat ia masih di negara Habasyah. Yang menikahkan adalah Raja Najasyi dengan mahar 4000 dinar). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasai. Lihat, Tabaqat Ibnu Saad 8/97, 218; Al-Mustadrak 4/21-22.
[4] Al-Mawardi dalam Al-Hawi Al-Kabir, hlm. 9/116 menyatakan:
فدل على انتقال الولاية بالكفر عمن هو أقرب إلى من ساواها في الإسلام ، وإن كان أبعد ، فلأن الله تعالى قد قطع الموالاة باختلاف الدين ، فلم تثبت الولاية معه كما لم يثبت الميراث