Pesantren dan Pendidikan Anti-Korupsi
Pesantren dan Pendidikan Anti-Korupsi. Kepeloporan santri dan pesantren dalam pemberantasan korupsi secara kultural bukanlah hal yang mustahil kalau ditinjau dari kuantias dan kualitas proses belajar para santri selama berada di pesantren.
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Alkhoirot Edisi Januari 2011
Pondok Pesantren Al-Khoirot
Pesantren secara empiris dikenal sebagai institusi yang sukses dalam membangun pendidikan yang berkualitas, khususnya di bidang agama. Imam Suprayogo, rektor UIN Maliki Malang, bahkan mengakui bahwa santri madrasah diniyah—yang merupakan bagian integral dari pesantren (salaf)—lebih mampu membaca kitab kuning daripada lulusan IAIN. Hal ini terjadi, antara lain, karena keikhlasan kyai dan guru yang mengajar yang tidak mengharapkan gaji. Dan keikhlasan santri yang belajar betul-betul untuk menimba ilmu, bukan mencari ijazah formal.
Kalangan intelektual muslim papan atas negeri ini yang dikenal mendalam ilmu agamanya juga dikenal memiliki latar belakang pendidikan dasar dan lanjutan di pesantren. Sebut misalnya, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Nurcholis Madjid, Buya Hamka, dan sebagian besar menteri agama RI, untuk menyebut di antaranya. Bolehlah dikatakan, seorang pemikir atau intelektual agama akan kurang meyakinkan kredibilitas ilmu agamanya apabila dia tidak pernah nyantri di pesantren. Orang akan curiga ilmu agamanya didapat dari baca buku terjemahan.
Di tengah sejumlah pujian yang diterima dan pencapaian riil yang dicapai pesantren, ada kritik pedas yang harus menjadi refleksi lembaga ini, khususnya para kyai pengasuh: bahwa pesantren dianggap tidak atau belum berhasil mendidik santri yang memiliki kepribadian, disiplin dan komitmen kuat di bidang anti-korupsi. Dengan kata lain, ilmu agama boleh tinggi, ibadah boleh rajin, tapi korupsi jalan terus setiap kali ada kesempatan.
Kritik itu bukan tanpa dasar. Kementerian (dulu, departemen) agama yang notabene sebagai markasnya para santri, juga dikienal sebagai salah satu kementerian paling korup. Padahal di antara para PNS di kemenag itu tidak sedikit yang dalam kehidupaan sehari-harinya berprofesi sebagai khatib dan rajib beribadah. Ada sebuah anekdot dari Munawir Sadzali, menteri agama era Orba, tentang seorang pejabat yang sangat rajin beribadah dan tiap tahun naik haji tapi juga rajin korupsi. Saat ditanya kenapa terjadi dua hal yang bertentangan itu, sang pejabat dengan ringan menjawab, “Haji adalah tugas agama, sedang korupsi merupakan tugas negara.”
Pada era Reformasi ini, di mana semua orang (termasuk santri) berpeluang menjadi pejabat eksekutif (Kepala Desa, Bupati, Gubernur, Presiden), legislatif (DPR/DPRD), atau yudikatif (hakim, jaksa, polisi) fenomena santri yang korupsi tidak hanya menjadi kasus yang terjadi di kementerian agama (kemenag) atau kementerian lain. Kasus santri yang terlibat kasus perkara korupsi juga di terjadi di lembaga legislatif baik pusat maupun daerah.
Pertanyaannya adalah mengapa itu terjadi? Tidakkah itu ironis, seorang yang dikenal taat beribadah, mendalam pemahaman agamanya, tahu betul mana yang halal dan haram, tapi saat mendapat amanah jabatan sama korupnya dengan mereka yang tidak pernah nyantri sama sekali.
Apa itu Korupsi
Waktu saya membahas masalah korupsi di sebuah pengajian Jumat Legian, salah seorang alumni bertanya, apa batas-batas perilaku yang disebut korupsi? Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptus yang kata kerjanya bermakna merusak, sedang kata sifatnya berarti betul-betul rusak. Dalam pengertian etimologis sempit, korupsi berarti penyalahgunaan jabatan (abuse of power) oleh pejabat atau pegawai pemerintah untuk keuntungan pribadi dengan berbagai macam cara seperti pemerasan, menerima suap, penyelewengan, dan cara-cara lain yang di Indonesia dikenal dengan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Dalam pengertian luas, korupsi mencakup segala penyalahgunaan kekuasaan baik di pemerintah maupun di lembaga non-pemerintah untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Mengapa Ada Santri yang Korupsi?
Tentu saja pelaku korupsi di Indonesia itu bukan hanya mereka yang berlatarbelakang santri. Korupsi dilakukan oleh mayoritas pejabat atau PNS yang punya peluang melakukan abuse of power. Akan tetapi fakta bahwa santri menjadi bagian dari mereka yang terlibat tindak pidana korupsi, bukan mereka yang memberantasnya, sudah cukup menjadi fenomena yang menampar institusi pesantren. Dan ini harus menjadi bahan refleksi mendalam dari kalangan para pengasuh pesantren. Mengingat, pesantren adalah lembaga pendidikan yang mendidik santrinya hampir 20 jam setiap harinya. Dan mayoritas dari materi didikan adalah berkaitan dengan ilmu keagamaan. Adakah itu berarti bahwa pendidikan dan ilmu agama tidak mencegah orang menjadi koruptor ataukah ada yang salah atau kurang dalam pendidikan keagamaan di pesantren?
Di dalam pesantren, khususnya pesantren salaf atau pesantren yang memiliki madrasah diniyah (madin), ada tiga cabang ilmu yang paling banyak dipelajari. Yaitu, ilmu tata bahasa Arab (nahwu shorof), fiqh (hukum Islam), dan ilmu kalam (teologi ketuhanan). Dari ketiga cabang ilmu tersebut, fiqh menempati porsi terbesar dan dominan dalam kegiatan belajar mengajar santri. Dari fiqh dipelajari berbagai aspek ditinjau dari pandangan syariah. Yang halal, haram, wajib, mubah, makruh, dan lain-lain. Dari fiqh santri mengenal apa saja tindakan yang diwajibkan seperti salat lima waktu dan diharamkan oleh agama, seperti mencuri, berzina, membunuh orang, minum alkohol, dan lain sebagainya.
Jadi, fiqh menjadi sumber satu-satunya bagi santri untuk memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan etika berperilaku secara islami. Dan menurut saya di sinilah masalahnya.
Kekurangan Fiqh
Fiqh adalah produk hukum. Dan sebagaimana produk hukum yang lain ia terkadang hanya menjadi semacam batas akhir antara halal dan haram. Dan inilah kelemahan fiqh. Dalam beberapa kasus, keputusan fiqh bukanlah keputusan yang ideal. Sebaliknya, malah bisa dipakai oleh individu tertentu yang berhartinurani “kotor” untuk mengeksploitasinya, dan menjadikannya sebagai tameng. Sekadar contoh, kita masih ingat kasus seorang kyai/mubalig kondang yang menikahi seorang janda di sebuah hotel tanpa wali dan saksi. Dan cuma satu malam. Benar apa yang dikatakan Al Ghazali, “man tafaqqaha bila tasawwufin tafassaqa, man tasawwafa bila tafaqquhin tazandaqa.” Fiqh tanpa tasawwuf akan berakhir kefasikan, tasawuf tanpa fiqh akan berakhir kekufuran.
Oleh karena itu, ilmu fiqh saja tidak cukup untuk membuat seorang santri bebas dari pikiran kotor yang koruptif. Masih diperlukan ilmu-ilmu lain di samping ilmu fiqh sebagai pendukung agar santri memiliki karakter yang kuat, keilmuan mumpuni dan idealisme setingkat kaum sufi. Tanpa itu, santri yang lemah iman akan selalu mencari “lubang-lubang kelemahan hukum fiqh” untuk membenarkan tindakan korupsinya. Apabila ini terjadi maka yang terlihat adalah ironi: seorang koruptor yang memakai topeng agama.
Santri sebagai Pelopor Anti Korupsi
Saya percaya bahwa kelompok yang paling ideal menjadi pelopor anti-korupsi adalah santri. Karena santri (a) memiliki tradisi kehidupan yang sederhana—syarat mutlak untuk menjadi pelopor antikorupsi; (b) memiliki wawasan keagamaan kuat, dan (c) tradisi amar ma’ruf nahi munkar yang mengakar. Dengan syarat, selama di pesantren santri mendapat pendidikan, pelatihan dan keilmuan yang cukup untuk menjadi bekal memerangi korupsi. Jadi, fiqh tidak menjadi satu-satunya bekal dalam perjuangan saat mereka mendapat amanah di pemerintahan, legislatif, yudikatif atau di manapun mereka kelak bekerja.
Kepeloporan santri dan pesantren dalam pemberantasan korupsi secara kultural bukanlah hal yang mustahil asal dimulai dari hal-hal berikut:
Pertama, teladan hidup sederhana dari kyai pengasuh pesantren. Kyai–santri bukan hanya hubungan guru-siswa atau dosen-mahasiswa. Jauh lebih mendalam dari itu. Hubungan kyai-santri adalah gabungan hubungan guru-murid, orang tua-anak dan artis-fans, Kyai adalah tokoh yang dihormati, tempat bertanya dan sekaligus idola.
Apabila hidup sederhana adalah syarat awal untuk tidak korupsi maka santri harus memiliki mindset (pola pikir) dan determinasi untuk hidup sederhana apabila kelak dalam posisi ekonomi mapan dan berkecukupan. Yang tak kalah penting, mindset dan perilaku sederhana itu harus dimulai dari tokoh sentral pesantren yaitu sang kyai.
Banyak kyai hartawan yang tetap menjaga tradisi gaya hidup sederhana –yang dapat dilihat dari tipe rumah dan merk mobil. Namun, tidak sedikit para kyai hartawan yang hidup mewah. Ini tentu menjadi fenomena yang agak memprihatinkan. Kyai adalah pemimpin umat pedesaan yang mayoritas miskin, sudah selayaknya mereka berempati kepada umat yang mereka ayomi di samping sebagai upaya menjadi teladan para santrinya.
Kedua, fiqh kejujuran dan anti-korupsi. Perilaku santri adalah fiqh oriented yaitu selalu berorientasi atau berdasarkan pada fiqh. Maka, perlu dibuat kitab fiqh khusus dan ditulis dalam bahasa Arab—santri umumnya kurang yakin kredibilitas suatu kitab fiqh kalau ditulis dalam bahasa Indonesia. Kitab fiqh khusus ini bisa saja ditulis ulama Indonesia secara perorangan maupun kerja kolektif. Dan menjadi kurikulum wajib di seluruh pesantren.
Kitab itu nantinya berisi segala sesuatu yang berkaitan dengan korupsi: dosa besarnya perilaku korupsi, uraian perilaku korupsi dan seterusnya yang tentu saja ditulis dengan gaya fiqh. Kejujuran sebagai kewajiban agama dan bahwa berperilaku jujur adalah martabat tertinggi seorang muslim yang harus dijaga hendaknya diulas dengan detail. Perlunya hidup sederhana bagi santri hartawan hendaknya ditulis dalam bab tersendiri karena ini juga berkaitan erat dengan nafsu korupsi.
Ketiga, mengadakan pelatihan pendidikan anti-korupsi bekerja sama dengan lembaga terkait, seperti KPK atau universitas yang memiliki kurikulum serupa. Kalau perlu dan memungkinkan dapat memasukkan kurikulum pendidikan anti-korupsi sebagai salah satu mata pelajaran bagi pesantren yang memiliki sekolah lanjutan seperti SLTP (MTs, SMP) dan SLTA (MA, SMA, SMK).
Keempat, sistem administrasi yang transparan. Untuk membiasakan santri dengan transparansi dan akuntabilitas, maka segala manajemen administrasi di pesantren maupun sekolah formal di bawah naungan pesantren diusahakan tansparan dan teraudit dengan baik sehingga ini dapat menjadi bekal awal bagi santri saat mereka terjun dalam pekerjaan apapun yang mereka pilih. Karena, korupsi terkadang timbul dari ketidakmampuan manajemen, bukan dari kesengajaan.[]