Pelit dalam Islam
Pelit dalam Islam
Oleh A. Fatih Syuhud
Salah satu penyakit yang harus dijauhi dan dibuang jauh-jauh adalah pelit (QS Al Hadid 57:23-24)[1] karena ia adalah salah satu penyakit hati, penyakit perilaku dan penyakit masyarakat.
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38).[2] Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60)[3] dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).[4]
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7).[5] Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38).[6]
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak suai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180;[7] An Nisa’ 4:36;[8] At Taubah 9:77).[9]
Bagaimana merubah perilaku pelit? Pertama, kemauan kuat untuk berubah. Kedua, berusaha meneladani teman-teman di sekitar kita yang oleh banyak orang dianggap dermawan.
Merubah karakter buruk, pelit hanyalah salah-satu di antaranya, adalah sulit dan merupakan perjuangan panjang dan terjal. Quran menyebutnya sebagai “jalan yang mendaki lagi sukar” (QS Al Balad 90:11)[10] yang kalau berhasil melalui jalan mendaki tersebut kita akan mendapat gelar ash-habul maymanah atau golongan kanan (QS Al Balad 90:18),[11] yaitu orang-orang yang berhasil mengalahkan dirinya sendiri; menaklukkan watak dan perilaku buruk yang bersembunyi dalam hatinya.[]
CATATAN AKHIR
[1] (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
[2] Ingatlah, kamu Ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir Sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.
[3] Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[4] Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
[5] Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.
[6] Ingatlah, kamu Ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir Sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.
[7] Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa Kitab dan hikmah Kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”.
[8] Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.
[9] Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).
[10] Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.
[11] Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.