fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Diperlukan Pendidikan Pencetak Pemimpin

Diperlukan Pendidikan Pencetak Pemimpin. Mengapa sistem pendidikan kita tidak dapat menciptakan pemimpin sejati di berbagai sektor? Dan mengapa ada sebagian kalangan luar pesantren menuduh pesantren identik dengan terorisme? Apa dasar mereka dengan tuduhan yang berkesan menggeneralisir itu?
Oleh A Fatih Syuhud
Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang

Daftar Isi

  1. Diperlukan Pendidikan Pencetak Pemimpin
  2. Pesantren, Madrasah, dan Terorisme


Diperlukan Pendidikan Pencetak Pemimpin

Kualitas istimewa adalah tujuan paling dituntut oleh institusi pendidikan yang mapan maupun baru. Kalangan perencana pendidikan saling memikirkan berbagai jalan dan cara, untuk mencapai kualitas istimewa yang menjadi dasar dari kredibilitas dan akseptabilitas institusi bersangkutan.

Pertimbangan ini sangat esensial bagi peningkatan level performanya dari dalam institusi dan pengakuan yang lebih besar dari luar. Sejumlah besar institusi yang ada di Indonesia, sedang mengalami krisis kredibilitas. Umumnya, yang menjadi ‘kambing hitam’ adalah pengajar atau dosen.Kualitas kepemimpinan juga sering dipertanyakan. Di seluruh dunia, pertanyaan yang sering dimunculkan adalah ‘Kemana perginya para pemimpin?’ Konteks persoalannya, tidak selalu bersifat politis.

Dalam tataran praksis, setiap negara mengeluh bahwa kualitas kepemimpinan di berbagai sektor telah memburuk dalam paro akhir abad ke-20. Keluhan tidak memberikan solusi. Diperlukan analisis yang matang. Ekspansi pendidikan global dan berbagai hal yang
berkaitan dengannya, membutuhkan kepemimpinan yang berkomitmen, berdedikasi dan tahan uji. Tidak setiap bangsa dapat beruntung memilikinya.

Integritas personal termasuk pemahaman diri dan kematangan, akan memotivasi secara berkesinambungan. Seorang pemimpin sejati tidak pernah berbohong pada dirinya sendiri dan tidak pernah bangga dengan pujian kosong yang diarahkan kepadanya oleh kroni dekatnya. Ia sendiri lebih memahami dari apa ia dibuat dan lebih mengerti kemampuan mentalnya yang ia temukan dalam proses yang belum terlatih. Objektivitas dalam membuat
keputusan atas pemikirannya sendiri, pencapaian dan kegagalan akan tampak. Individu semacam itu tidak akan pernah mengorbankan prinsip dan ide personal, hanya demi menyenangkan yang lain. Mereka yang mengompromikan nuraninya, tidak akan pernah bisa
menjadi pemimpin sejati.

Tekanan politik merupakan rintangan terbesar yang hanya dapat dihadapi oleh pemimpin profesional sejati. Mereka yang tumbuh dalam kepemimpinan, juga tumbuh dalam kejujuran dan komitmen. Mereka selalu belajar dengan penuh dedikasi dan memiliki nalar observasi tinggi. Figur yang selalu mempercayai orang lain dan yakin bahwa ‘kepercayaan akan melahirkan kepercayaan’, dapat membawa yang lain untuk menyepakati berbagai ide dan inisiatifnya. Bahkan mereka yang tidak sepakat dengannya, tidak segan untuk memberi apresiasi atas komitmen dan kejujurannya.

Rudy Giuliani, walikota New York yang menangani krisis 11/9 pada 2001 menganalisa transformasi dirinya akibat terjadinya tragedi itu, yang di luar dugaan. Ia berhasil, karena kualitas kepemimpinan yang diasah sebelumnya. Skenario ini dapat dipahami secara lebih tajam dalam konteks pendidikan. Dapatkah kita melupakan peran kepemimpinan Wahidin Sudirohusodo, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari dan banyak lagi yang lain di bidang pendidikan?

Salah satu konsen utama dalam dunia pendidikan adalah menyiapkan orang-orang untuk menjalankan dan memimpin insititusi. Prinsip dasar dari manajemen diajarkan di sekolah bisnis, melalui materi pelajaran populer. Sayangnya, program dan materi kepemimpinan dapat mengembangkan skill, tetapi hanya secara parsial dapat membantu dalam memperkuat karakter dan visi. Sebenarnya, banyak program semacam itu malah tidak menawarkan usaha ke arah sana.

Memang tujuan mereka yang utama adalah ‘memproduksi manajer multinasional’. Siapa yang akan mempersiapkan pemimpin? Institusi pendidikan tidak begitu memperhatikan aspek ini. Terdapat perbedaan mendasar antara pemimpin dan manajer. Memelihara status quo, mengandalkan pada kontrol, mengikuti aturan secara ketat, mengambil pandangan pendek, mengopi dan meniru strategi serta pendekatan orang lain bukanlah kepribadian seorang pemimpin. Poin ini dapat menjadi poin plus bagi manajer; khususnya bagi mereka yang lebih percaya pada ‘presentasi’ daripada ‘kemajuan’.

Setiap individual memiliki potensi, energi dan kekuatan yang tak terbatas. Mereka yang dapat menyadari, memelihara, memproyeksi dan mengungkap hal ini secara luas akan menjadi pemimpin. Bibit proyeksi, ekspresi dan manifestasi ini dipupuk di sekolah dan
bahkan sebelum itu, di dalam keluarga dan komunitas.

Akan tetapi, peran pendidikan tetaplah kritikal. Ia memerlukan pengertian yang lebih intens pada abad ke-21 ini, di mana pendidikan tidak lagi terbatas pada seperempat pertama kehidupan seseorang. Kebanyakan institusi pendidikan kita yang mempersiapkan tenaga pengajar, sampai saat ini hanya membuat sekolah dan perguruan tinggi untuk pelatihan. Dengan demikian, ini bukanlah ‘mendidik’ anak didik untuk menjadi guru tetapi hanya melatih mereka.

Mengapa sistem pendidikan kita tidak dapat menciptakan pemimpin sejati di berbagai sektor? Peran seorang guru secara tradisional merupakan pemimpin sebuah komunitas, petunjuk dan mentor. Guru saat ini ‘dilatih’ secara profesional. Pelatihan biasanya tak mempedulikan pendekatan induktif, eksplorasi, inisiatif, fleksibilitas, alternatif dan imajinasi.

Konsekuensinya, ia kurang dalam mendidik keterbukaan, sintesis dan proses. Fokus dalam pelatihan lebih ditekankan pada fakta, arah, stabilitas, kekakuan, aturan dan tujuan jelas. Apabila mereka yang mempersiapkan tenaga pengajar masih sadar akan perbedaan antara pendidikan dan pelatihan, maka mereka akan mendidik kepemimpinan dengan cara lebih halus dan pelajar akan lebih memahami keperibadian mereka sendiri.

*Tulisan ini pernah dimuat di Banjarmasin Post, Rabu, 02 Juni 2004


Pesantren, Madrasah, dan Terorisme
Oleh A Fatih Syuhud

JIHAD dan institusi pendidikan Islam tradisional, yang di Indonesia dikenal dengan sebutan pesantren dan madrasah untuk kawasan Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan), merupakan isu kontroversial beberapa tahun terakhir di seluruh dunia. Akan tetapi, dihubungkan dengan agama Islam, konsep agama dan sekolah semestinya dapat dibaca dan dilihat dengan pemahaman lebih terbuka mengingat adanya berbagai laporan di media tentang institusi ini.

Yang pertama berdasarkan atas pernyataan yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Collin Powell, bahwa anak-anak yang belajar di pesantren hanyalah mereka yang orangtuanya tidak mampu membayar biaya di sekolah-sekolah umum. Karena kemiskinan, mereka dengan mudah terperangkap ke dalam jaringan terorisme. Pesantren yang dimaksud Powell adalah pesantren-pesantren yang berada di negara Pakistan dan Afghanistan, di mana pusat-pusat terorisme dikendalikan dan dikoordinir di dalam kamuflase pesantren.

Sejumlah laporan media mengkhawatirkan seruan pemimpin Al-Qaeda, Osama Bin Laden, yang mengajak segenap muslim seluruh dunia untuk bersiap-siap melakukan jihad. Tokoh yang mengklaim dirinya sebagai mentor agama ini, dengan target utamanya adalah AS, juga mengajak para ulama atau pemimpin agama, dan pemimpin negara-negara muslim, untuk membentuk sebuah dewan yang akan menyuplai senjata dan amunisi untuk jihad melawan barat. Pesannya ini dimuat pada sebuah situs Islam. Dijelaskan juga bahwa tujuan dari dewan tersebut adalah untuk menyatukan muslim, mempertahankan Islam, menyiapkan jihad dan memberikan persenjataan bagi kalangan mujahid.

Dalam konteks Asia Selatan, pernyataan bahwa pesantren itu identik dengan pendidikan anak-anak miskin dan bahwa kalangan elite tidak tertarik menyekolahkan anak-anaknya di sana, adalah benar belaka. Berbeda dengan pesantren di Indonesia, semua pesantren di kawasan Asia Selatan, tak terkecuali di India, tidak dipungut biaya apa pun. Pesantren di kawasan ini menanggung semua beban kebutuhan santri, mulai dari buku, asrama sampai biaya makan dan minum.

Akan tetapi, tidak sedikit juga dari kalangan kelas menengah muslim yang anak-anaknya belajar di pesantren. Mereka berpikir bahwa kendati hidup berkecukupan dan modern, adalah penting untuk membekali anak-anak mereka dengan pendidikan agama yang benar dan mumpuni. Karena itu, mereka mengirim anak-anaknya ke pesantren atau madrasah.

Alasan mengapa kalangan muslim kaya tidak mengirim anak-anaknya ke pesantren juga berdasarkan pada fakta terlalu banyaknya penekanan pada pendidikan agama dan sangat sedikit pendidikan ilmu-ilmu kontemporer. Mayoritas karir anak-anak hasil didikan pesantren sangat bergantung pada bidang yang berkaitan dengan agama. Pada umumnya karir mereka berkisar mulai dari membuat pesantren kecil-kecilan, dengan menganut sistem pendidikan yang sama, atau bekerja sebagai muadzin, imam masjid, mubaligh dan ustadz di pesantren sejenis.

Pesantren juga terdapat di India dan Bangladesh. Dan karena pesantren di Pakistan dan Afghanistan umumnya berada di bawah kendali ulama ektremis semacam Masood Azhar, Syed Salahuddin dan Mullah Omar, maka mereka menciptakan bibit-bibit teroris muda. Akan tetapi tuduhan ini tentu saja tidak dapat ditujukan pada pesantren-pesantren di India dan Bangladesh karena umumnya institusi pesantren di kawasan ini didirikan dan dijalankan oleh orang-orang yang tidak dapat dikatakan sebagai memiliki hubungan apapun dengan jaringan teroris. Tuduhan Collin Powell juga hanya diarahkan pada Pakistan dan Afghanistan, bukan India, Bangladesh apalagi Indonesia. Statemen dari Menlu AS itu patut mendapat perhatian dan muslim di seluruh dunia hendaknya berpikir secara serius tentang bagaimana menghilangkan noda tersebut dari institusi pesantren seperti tuduhan dari Powell, bahwa pesantren menanam bibit teroris dan terorisme.

Apabila kita melihat seruan Osama Bin Laden dan ajakannya untuk melakukan jihad yang menarik perhatian seluruh dunia Islam, jelaslah bahwa kata jihad itu selalu dipakai tetapi tidak pernah dijelaskan maknanya. Apa itu jihad? Dan tugas siapa untuk
melakukan jihad? Arti sebenarnya dari jihad dibiarkan tanpa penjelasan bukan karena Osama Bin Laden tidak memahami artinya. Akan tetapi justru karena apabila makna sebenarnya dari jihad diungkap, maka tujuan dan misi utama dari teroris fundamentalis akan terkalahkan. Serangan teroris pada gedung World Trade Center di New York, Bali dan Madrid disebut jihad oleh Al Qaeda dan organisasi militan yang lain, yang notabene merupakan penyimpangan makna yang besar karena ia akan mengakibatkan menyebarnya kesalahpahaman atas Islam.

Islam adalah sebuah agama humanisme. Islam tidak pernah memaafkan ekstrimitas dan ketidakadilan terhadap siapapun. Dalam konteks ini, makna dan misi jihad adalah untuk membawa perdamaian dan keadilan serta menunjukkan jalan yang benar pada umat manusia.[]

*Tulisan ini pernah dimuat di Sriwijaya Post 28 April 2004

Kembali ke Atas