Tasawuf
Tasawuf mengikuti tarekat Imam Al-Junaid Al-baghdadi dan para sufi yang sealiran dengannya
Oleh: A. Fatih Syuhud
Murtadha Al-Zabidi dalam Syarah Ihya’ menegaskan bahwa tasawuf adalah bagian dari Ahlussunnah Wal Jamaah. Al-Zabidi menyatakan: “Yang dimaksud dengan Ahlussunnah ada empat golongan yaitu Al-Muhaddits, tasawuf, Asy’ariyah dan Maturidiyah.”[1] Pernyataan Al-Zabidi ini terkesan bahwa tasawuf adalah salah satu aqidah sebagaimana aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Padahal maksudnya tidak demikian. Al-Zabidi hanya ingin menyatakan bahwa penganut tasawuf tetaplah seorang muslim dan tidak keluar dari koridor Ahlussunnah Wal Jamaah. Karena, dari segi akidah seorang sufi bisa saja berakidah Hanabilah atau Ahlul Hadits seperti Syaikh Abdul Qadir Jailani, sementara sebagian yang lain beraqidah Asy’ariyah seperti Imam Ghazali.[2]
Tasawuf bukan madzhab aqidah atau fiqih. Ia merupakan implementasi dari pilar agama (arkan al-din) yang ketiga yaitu ihsan.[3] Dalam hadits dari Sahabat Umar bin Khattab Rasulullah ditanya malaikat Jibril tentang tiga pilar agama yaitu Islam, iman dan ihsan.[4] Ihsan, jawab Rasulullah, adalah “menyembah Allah seakan engkau melihatNya walaupun engkau tidak melihatnya, maka sesungguhnya Ia melihatmu.”[5]
Definisi Tasawuf
Ulama sufi mendefinisikan tasawuf atau tarekat dalam beberapa pengertian yang berbeda-beda. Berikut beberapa di antaranya:
- Tasawuf adalah mengamalkan ilmu. Seandainya para fuqaha (ahli fikih) mengamalkan ilmu mereka, maka itu sudah cukup (dianggap sufi).[6]
- Tasawuf adalah membuang akhlak tercela dan menanamkan akhlak terpuji (al-takhliyah wa al-tahliyah).[7]
- Tasawuf adalah akhlak itu sendiri. Siapa yang meningkat akhlaknya, maka berarti meningkat kualitas tasawufnya.[8]
Dr. Nuh Salman menyimpulkan bahwa apabila tasawuf dimaknai seperti di atas, maka ia adalah sistem pendidikan untuk mempraktikkan hukum syariah yang zhahir dan batin. Metode pendidikan bisa berbeda secara zhahirnya namun tujuannya tetap satu. Apabila tasawuf difahami demikian, maka tasawuf adalah baik dan berkah dan mengamalkan perintah Islam. Tidaklah penting lagi darimana kata tasawuf itu berasal.[9]
Hukum Tasawuf
Hukum boleh tidaknya tasawuf atau tarekat adalah berdasarkan pada parameter syariah Islam. Sepanjang tidak berlawanan dengan syariah Islam, maka amaliah tasawuf tidak ada masalah. Ulama sufi sepakat bahwa tasawuf harus komitmen pada syariah. Imam Al-Junaid, imam para sufi, berkata: “Semua jalan (tarekat) itu akan tertutup bagi makhluknya kecuali bagi orang yang mengikuti langkah Rasulullah. Barangsiapa yang tidak mengikuti Al-Quran dan hadits maka ia tidak patut diikuti di masalah ini. Karena ilmu kita terikat dengan Al-Quran dan hadits.”[10]
Syaikh Abul Hasan Al-Syadzili menyatakan: “Apabila mukasyafahmu berlawanan dengan ajaran Al-Quran dan hadits, maka berpeganglah pada Al-Quran dan hadits dan tinggalkan mukasyafah. Ucapkan pada dirimu sendiri: Allah telah menjaminku terpelihara dari dosa (maksum) dengan Al-Quran dan hadits, dan tidak menjamin maksum dengan mukasyafah, ilham dan musyahadah. Selain itu, mereka (ahli tarekat) sepakat bahwa tidak seharusnya mengamalkan hasil mukasyafah dan ilham kecuali apabila selaras dengan Al-Quran dan Sunnah. “[11]
Menurut Dr. Nur Salman, apa yang dilakukan oleh Imam Al-Junaid Al-Baghdadi, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, Sayid Ahmad Al-Rifa’i dan tokoh-tokoh sufi yang lain tidak ada yang berlawanan dengan syariah Islam sebagaimana kesaksian dari para ulama yang sezaman dengan mereka.[12]
Adapun perilaku yang berlawanan dengan syariah, maka hal itu tidak dibenarkan dan haram hukumnya bahkan dapat berakibat kekufuran. Abdul Qadir Isa (w. 1991 M/1412 H) salah satu ulama dan mursyid tarekat Syadziliyah menyebutkan sejumlah amaliyah tasawuf yang berlawanan dengan syariah antara lain:
- Al-hulul wa al-ittihad. Al-hulul artinya bertempat sedangkan al-ittihad artinya menyatu. Dalam istilah kaum sufi ia bermakna bahwa Allah bertempat di seluruh bagian alam; di laut, di gunung, di pepohonan, pada manusia, pada binatang, dan seterusnya. Atau dengan arti bahwa makhluk itu adalah perwujudan Sang Khalik. Maka, setiap makhluk apapun yang ada dan terlihat di alam semesta adalah dzat Allah itu sendiri. Menurut Syaikh Abdul Qadir Isa, pandangan ini adalah kufur yang jelas yang berlawanan dengan aqidah Islam. Ia menegaskan bahwa tidak ada seorang sufi yang meyakini Islam, iman dan ihsan dengan benar akan terperangkap pada kesesatan dan kekufuran ini.[13]
- Isqat al-Taklif atau menggugurkan kewajiban syariah. Pendapat sebagian kalangan bahwa syariah tidak berlaku atau gugur bagi penganut tasawuf dengan level tertentu adalah pandangan yang sesat dan menyesatkan yang juga dapat berakibat kufur. Syariah adalah dasar, tarekat adalah wasilah (perantara) dan hakikat adalah buah. Ketiga hal ini menjadi satu paket yang saling menyempurnakan dan tidak saling bertentangan atau menafikan. Dalam kaidah kaum sufi dikatakan: Setiap hakekat yang bertentangan dengan syariah maka ia zindiq (kufur). Zarruq, salah satu imam sufi menyatakan: “Tidak ada tasawuf kecuali dengan fiqih. Tidak ada fiqih kecuali dengan tasawuf. Dan tidak ada keduanya kecuali dengan iman.”[14]
Dari uraian singkat di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tasawuf atau tarekat dalam pengertian di atas adalah baik sebagai implementasi dari ihsan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, ada juga praktik dan amaliah tarekat yang dianggap keluar dari syariah dan berlawanan dengan Al Quran dan Sunnah. Terhadap hal ini, maka para ulama termasuk ulama sufi sendiri, dengan tegas menganggap kesalahan itu sebagai sesuatu yang batil, sesat dan bahkan ada yang sampai tingkat kufur.
Oleh karena itu, praktisi tasawuf selalu diingatkan agar selalu memperdalam ilmu syariah agar dapat selalu terpelihara dari kesalahan. Imam Ghazali selalu mengingatkan bahwa tasawuf tanpa mengerti ilmu fiqih akan berakibat zindiq. Ini artinya, syariah yang berdasarkan panduan Al-Quran dan Sunnah harus tetap menjadi standar penilaian baik dan buruk; sesat dan tidak sesat. Termasuk dalam menilai aliran tasawuf.[]
[1] Murtadha Al-Zabidi, Ithaf Al-Sadah Al-Muttaqin fi Syarh Ihya Ulum Al-Din, hlm. 2/86. Teks asal: والمراد بأهل السنة هم الفِرَق الأربعة: المحدِّثون والصُّوفية والأشاعرة والماتريدية
[2] Dr. Salman Nuh, mufti Yordania, “Hal lil Sufiyah Aqidah Khassah bihim Tukhalif Ahl al-Sunnah wal Jamaah”, Link: http://www.konsultasisyariah.in/2017/10/tarekat-tasawuf-sufi.html
[3] Shawki Allam, “Dawabit Al-Tasawuf Al-Sunni”, www.dar-alifta.org
[4] Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.
[5] Teks hadits: الإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
[6] Teks asal: العمل بالعلم، وقال لو أن الفقهاء عملوا بعلمهم لكفونا
[7] Teks asal: قلع الأخلاق الذميمة وغرس الخلاق الحميدة
[8] Nuh Ali Salman (Mufti Yordania bermadzhab Syafi’i), Fatawa Al-Syaikh Nuh Ali Salman, fatwa no. 4.
[9] Ibid.
[10] Suhrawardi, Awarif Al-Ma’arif, hlm. 78. Teks:
[11] Syaikh Abdul Wahab Al-Sya’roni, Al-Tabaqat Al-Kubro, hlm. 2/4. Teks: إذا عارض كشفك الكتاب والسنة، فتمسك بالكتاب والسنة، ودع الكشف، وقل لنفسك: إن الله تعالى قد ضمن لي العصمة في الكتاب والسنة، ولم يضمنها في جانب الكشف ولا الإلهام ولا المشاهدة، مع أنهم أجمعوا على أنه لا ينبغي العمل بالكشف ولا الإلهام إلا بعد عرضه على الكتاب والسنة
[12] Nuh Ali Salman, op.cit.
[13] Abdul Qadir Isa, Al-Haqaiq an Al-Tasawuf.
[14] Ahmad Zarruq, Qawaid Al-Tasawuf, hlm. 3. Teks: لا تصوف إِلا بفقه، إِذ لا تعرف أحكام الله الظاهرة إِلا منه. ولا فقه إِلا بتصوف، إِذ لا عمل إِلا بصدق وتوجه لله تعالى. ولا هما [التصوف والفقه] إِلا بإِيمان