Buku A. Fatih Syuhud

Visi, pemikiran dan karya tulis A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Sikap Anak Muslim pada Orang Tua Non-Muslim

Sikap Anak Muslim pada Orang Tua Non-Muslim

Sikap Anak Muslim pada Orang Tua Non-Muslim
Sikap Anak pada Orang Tua Non-Muslim. Seorang anak muslim yang baik soleh dan solehah harus tetap berbakti pada orang tuanya yang non-muslim (Nasrani, Yahudi, Hindu, Buddha, dll) dan harus mentaati perintah mereka selagi perintah itu tidak terkait perkara dosa pada Allah. Anak juga dianjurkan untuk mendoakan kesuksesan dan kelancaran rejeki orang tuanya yang kafir.
Oleh: A. Fatih Syuhud

Nio Gwan Chung adalah seorang remaja cerdas yang selalu tiada henti mencari makna hidup. Ia merasa tidak puas dengan agama Buddha yang dianut orang tua dan dirinya.  Setelah melakukan banyak penelitian dan perenungan, ia pun pindah agama dan memeluk agama Kristen Protestan. Namun agama barunya ini belum dapat memuaskan dirinya. Setelah melalui  kontemplasi (renungan) yang lama dan mendalam serta membaca banyak referensi, akhirnya ia memutuskan masuk agama Islam. Ia merasa sangat puas dan mantap pada kesempurnaan ajaran Islam.

Ia masuk Islam dalam usia 17 tahun dan berganti nama menjadi Muhammad Syafii Antonio. Saat ini, Dr. Syafi’i Antonio menjadi salah satu tokoh yang sangat berpengaruh di bidang ekonomi Islam tidak hanya di level nasional tapi juga internasional. Saat ini Syafii Antonio diamanati sebagai Komite Perbankan Syariah pada Bank Indonesia, Shariah Advisory Council Bank Sentral Malaysia, serta Global Shariah Board al- Mawarid DUBAI. Antonio juga duduk sebagai Advisor/Dewan Pengawas di Bank Syariah Mandiri, Takaful Indonesia, Bank Mega Syariah, Schroders Investment Manager dan PNM.

Setelah keislamannya, ibunya kemudian menyusul menjadi mualaf. Namun, ayahnya tetap menjadi penganut Hindu yang taat. Dalam bukunya Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager Syafi’i Antonio mendoakan ayahnya yang masih tetap menjadi pemeluk Budha agar mendapat hidayah suatu hari nanti. Di halaman “Persembahan” buku tersebut ia mengatakan, “Ayahanda Nio Sem Nyau, seorang Haksu (Biksu Buddha Tridharma) yang masih setia membina ummatnya di beberapa klenteng di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bangka dan Belitung. Semoga suri tauladan Muhammad SAW dapat memberikan cakrawala baru dan hidayah atas izin-Nya.”[1] Sikap Syafii Antonio ini mengundang tanda tanya: bolehkah mendoakan orang tua yang kafir? Dan bolehkah tetap menjaga tali silaturahmi dengan mereka?

Apa yang dilakukan Syafi’i Antonio sangatlah tepat dan sesuai dengan tuntunan syariah. Memiliki orang tua yang berbeda agama bukan berarti harus putus hubungan silaturahmi. Dalam hadits sahih riwayat muttafaq alaih dari Asma ia berkata: “Aku datang ke ibu saat dia kafir pada masa Rasulullah. Aku lalu bertanya pada Nabi: ‘Aku datang pada ibuku karena dia rindu, apakah boleh aku silaturrahim?’ Nabi menjawab: ‘Iya, tetaplah berhubungan dengan ibumu.’”[2]

Hadits ini selaras dengan firman Allah dalam QS Luqman 31:15 “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.”[3] Makna eksplisit dari ayat ini ada dua hal yang prinsip terkait dengan hubungan seorang muslim dengan orang tua non-muslim: (a) wajibnya berbakti kepada orang tua walaupun ia non-muslim; (b) haram taat pada orang tua dalam masalah dosa.

Dari sudut pandang fiqih, maksud ayat ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah adalah: “… wajib berbakti pada kedua orang tua walaupun dia fasiq (pendosa) atau kafir. Dan wajib taat pada mereka di selain perkara maksiat pada Allah. Apabila mereka kafir, maka perlakukan mereka dengan baik di dunia dan jangan mentaati mereka dalam soal kekufuran dan kemaksiatan.”[4]

Dengan demikian, maka ayat-ayat Quran yang mengandung perintah dan kewajiban taat dan berbakti pada orang tua bersifat mutlak tanpa harus memandang agama apa yang dianut orang tua.  Perintah birrul walidain (berbakti), atau ihsan (berbuat baik) dapat ditemui dalam beberapa ayat berikut: QS Al-Baqarah 2:83; An-Nisa’ 4:36; Al-An’am 6:151; Al-Isra’ 17:23; 17:24; Al-Ankabut 29:8; Luqman 31:14; Al-Ahqaf 46:15; Al-Isra’. Semua perintah  berbuat baik dan taat orang tua selalu berada berurutan dengan perintah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Ini menunjukkan bahwa birrul walidain menempati posisi sangat penting dalam Islam. Lihat misalnya, dalam QS An-Nisa’ 4:36 Allah berfirman, “Dan sembahlah Allah jangan menyekutukan-Nya dan berbuat baik kepada orang tua.”[5]

Mendoakan Orang Tua Non Muslim

Apabila menyambung silaturahmi dan berbakti pada orang tua non-muslim itu bukan hanya boleh, tapi justru wajib, maka apakah hal yang sama berlaku juga dalam hal mendoakan mereka? Imam Nawawi dalam Al-Majmuk menyatakan boleh mendoakan orang tua kafir dengan syarat dan kondisi tertentu: “Mendoakan orang kafir agar diampuni (kekafirannya) adalah haram dengan dalil Quran dan ijmak ulama. Adapun mendoakan mereka agar mendapatkan hidayah dan masuk Islam maka boleh. Sedangkan mendoakan agar mendapatkan kemanfaatan duniawi seperti harta, anak, kesembuhan dan lainnya maka (a) tidak boleh apabila kafir harbi (sedang memerangi muslim); dan (b) apabila tidak memerangi Islam maka tidak apa-apa mendoakan seperti itu dengan dalil bolehnya berkunjung saat tertimpa musibah yang tentunya dengan mendoakannya..”[6] Namun Nashiruddin Abul Khair dalam Tafsir Al-Baidhawi sedikit berbeda pendapat dengan Imam Nawawi.  Dalam menjelaskan maksud ayat dalam QS QS At-Taubat 9:113 ia menyatakan, “Ayat ini menjadi dalil bolehnya memohonkan ampun pada orang tua yang masih hidup karena itu artinya agar mereka mendapat hidayah iman.”[7]

Kalau mendoakan keselamatan orang tua non-muslim tidak dibolehkan, maka begitu juga mendoakan orang tua kafir yang meninggal dalam keadaan kafir.  Dalam QS At-Taubat 9:113 Allah berfirman, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.”[8] Ibnu Arabi dalam Ahkamul Quran menyatakan, “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beberapa laki-laki dari Sahabat Nabi bertanya pada Nabi: Ya Rasulullah sebagian dari ayah-ayah kami adalah orang-orang yang baik pada tetangga dan menyambung silaturrahim, apakah kami tidak boleh memohonkan ampun pada mereka? Maka turunlah ayat QS At-Taubat 9:113 di atas (artinya tidak boleh).”[9]

Perbedaan agama antara anak dan orang tua hendaknya tidak menjadi penghalang untuk silaturahmi dan berbakti pada mereka selagi hal itu tidak berlawanan dengan syariat Islam. Berbakti atau berbuat baik pada orang tua meliputi: membantu mereka apabila diperlukan, menjaga tali silaturahmi, dan menaati perintah yang selain maksiat. Yang tak kalah penting adalah menunjukkan sikap dan akhlak yang sebaik mungkin agar orang tua menjadi terkesan dan tertarik mengikuti langkah anaknya menjadi muslim yang menginspirasi.[]

Baca juga: Sikap Muslim pada Non-Muslim

Footnote

[1] Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec (Nio Gwan Chung), Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager, hlm. Iii, Tazkia Publishing, Cet. XIII, 2008.

[2] Hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim. Teks hadits: عن أسماء رضي الله عنها قالت: قدمت علي أمي وهي مشركة في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فاستفتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم قلت: قدمت على أمي وهي راغبة أفأصل أمي، قال نعم صلي أمك

[3] QS Luqman 31:15. Teks ayat:  وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَن تُشْرِ‌كَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَاۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُ‌وفًاۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْ‌جِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

[4] Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, hlm. 7/322. Teks asal:

ومن الواجب على المسلم بر الوالدين وإن كانا فاسقين أو كافرين ، ويجب طاعتهما في غير معصية الله تعالى ، فإن كانا كافرين فليصاحبهما في الدنيا معروفا ، ولا يطعهما في كفر ولا في معصية الله تعالى

[5] QS An-Nisa’ 4:36. Teks ayat: وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

[6] Imam Nawawi dalam Al-Majmuk Syarah Muhadzab, hlm. 5/120. Teks asal:

وأما الصلاة على الكافر، والدعاء له بالمغفرة فحرام بنص القرآن والإجماع. أما الدعاء له بالهداية، والدخول في الإسلام فيجوز.

وأما الدعاء له بمنافع الدنيا من مال وولد وشفاء ونحوها فلا يجوز إن كان محارباً، وإلا فلا بأس بالدعاء له بذلك، بدليل جواز تعزيته في مصابه حيث كان جاراً بالدعاء له بالإخلاف عليه، ونحو ذلك

[7] Nashiruddin Abul Khair dalam Tafsir Al-Baidhawi, hlm. 3/100.

[8] QS At-Taubat 9:113. Teks ayat: مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُ‌وا لِلْمُشْرِ‌كِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْ‌بَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

[9] Ibnu Arabi dalam Ahkamul Quran, hlm. 2/591.  Teks asal: روى ابن عباس  أن رجالا من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم قالوا له : يا رسول الله ; إن من آبائنا من كان يحسن الجوار ، ويصل الأرحام ، أفلا نستغفر لهم ؟ فأنزل الله :  ما كان للنبي .

Sikap Anak Muslim pada Orang Tua Non-Muslim
Kembali ke Atas