Nobel Perdamaian Shirin Ebadi
Nobel Perdamaian Shirin Ebadi. Secara historis, wanita Iran jauh lebih emansipatif dibandingkan perempuan lain di kawasan.
Oleh A. Fatih Syuhud *
DALAM pemberian penghargaan Nobel Perdamaian tahun ini kepada pengacara serta aktivis HAM Iran Shirin Ebadi, Komite Nobel Norwegia telah memberikan wewenang kepada wanita umumnya dan perempuan Iran khususnya pada suatu poin yang krusial saat sedang terjadi ketegangan antara kalangan reformis dan konservatif, baik di Iran maupun di dunia Islam secara luas.
Anugerah Nobel untuk yang pertama diberikan kepada seorang muslimah tersebut berimplikasi sangat jauh, khususnya pascatragedi 11/9, tentang Islam dan bisa memberikan dorongan bagi peningkatan level introspeksi serta perubahan dalam masyarakat Islam yang sedang mencoba mengatasi berbagai problem akibat tragedi tersebut. Termasuk, menyikapi perang oleh AS di Afghanistan dan Iraq.Hadiah Nobel, khususnya yang berkaitan dengan anugerah untuk perdamaian dan literatur, biasanya bersifat politis, tak terkecuali dalam hal ini anugerah untuk Ebadi. Kalangan garis keras di Iran bersikap cukup kritis atas pengakuan tersebut. Sedangkan media di Iran tampak tidak seragam. Mereka yang pro-reformasi dalam sistem Iran tentunya menyambut pengumuman itu dan memuji keberanian serta keterusterangan Ebadi. Di sisi lain, kalangan garis keras justru menekankan perhatian terhadap adanya fakta bahwa Ebadi adalah bekas terdakwa dan mengisyaratkan bahwa dia berkonspirasi dengan organisasi luar (istilah eufemisme untuk Barat) di bawah kedok HAM dengan tujuan meruntuhkan kalangan klerikal Iran.
Tidak diragukan lagi, anugerah bagi Ebadi tersebut kembali mencuatkan perbedaan antara kalangan reformis yang disimbolkan dalam figur presiden Khatami dan klik konservatif yang terwakili dalam figur Ayatullah Khamenei. Khamenei saat ini sedang berada di posisi puncak dispensasi politis teokratis satu-satunya di dunia. Yakni, suatu sistem negara yang menjadi karakteristik khas aliran Syiah dan masih didukung penuh gairah oleh kalangan prorevolusi Islam 1979 pimpinan Khamenei yang berhasil menjatuhkan Shah Reza Pahlevi.
Seperti kita maklumi, pandangan konservatif selalu bersifat hitam putih dan menganggap Paman Sam sebagai setan besar serta menentang keberadaan Israel. Di sisi lain, tim Presiden Bush melihat Iran sebagai bagian dari poros setan. Dan, pandangan regional mereka merupakan kelanjutan trauma sandera 1979-1981 di kedutaan AS di Teheran.
Pantas diingat kembali, Iran adalah penerus kesan peradaban Persia yang bisa dikilas balik sejak periode sebelum Masehi. Fanatisme Islam Syiah sebenarnya hanya merupakan fenomena mutakhir. Secara historis, wanita Iran jauh lebih emansipatif dibandingkan perempuan lain di kawasan tersebut dan di bawah Shah Iran. Kalangan elite Iran mengadopsi kode sosial dan norma-norma yang lebih selaras dengan Paris.
Menariknya, perilaku misoginis menjadi lebih tampak di bawah rezim Khamenei. Kalangan wanita dipaksa mengenakan jilbab, melepaskan baju tradisional, dan mengecam cara berpakaian ala Barat. Pada waktu yang sama, wanita dilarang terjun dalam profesi tertentu. Dan, Ebadi sebagai hakim wanita pertama dalam sistem pengadilan Iran harus menanggalkan jabatannya.
Namun, wanita pemberani itu kemudian menjadi pengacara serta menangani berbagai kasus yang berkenaan dengan wanita dan anak-anak yang dieksploitasi klerikal Iran serta polisi agama. Dia kemudian ditahan. Itulah yang dimaksud dengan deskripsi bekas terdakwa tersebut.
Ada dua implikasi jangka panjang mengenai anugerah Nobel Perdamaian bagi Ebadi itu. Pertama, adanya kesan bahwa hal tersebut akan mempengaruhi perkembangan di Iran. Dan, pada waktu yang sama, respons awal Ebadi cukup signifikan disimak. Dia tampil di Paris tanpa mengenakan jilbab dan tampak teratur menanggapi berbagai pertanyaan. Dia menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara Islam dan HAM.
Ebadi menambahkan, kaum agamawan di Iran hendaknya menyambut gembira anugerah Nobel tersebut. Sebab, itu bermakna bahwa mereka bisa menjadi muslim dan berkomitmen terhadap nilai-nilai HAM. Hal itu merupakan pandangan yang dipenuhi impor sosio-politik bagi rezim-rezim otokratis dan otoritarian di banyak negara muslim.
Tetapi, pada waktu yang sama, Ebadi mengirimkan pesan yang jelas kepada Washington bahwa dia menentang berbagai bentuk intervensi atau imposisi dari luar. Dia berpendapat, perjuangan menegakkan HAM hendaknya dilakukan di Iran dan oleh rakyat Iran. Peringatan tersebut sangat signifikan karena mengundang perhatian terhadap anggapan negatif kalangan Barat yang diarahkan kepada negara dan masyarakat Islam secara umum.
Ebadi mengingatkan kembali bahwa Islam bukan agama monolit. Yakni, spesifikasi kontekstual pemeluk Islam merupakan fenomena umum di dunia Islam. Contohnya, perilaku muslim di Arab Saudi sangat berbeda dari mereka yang di Indonesia. Yang lebih spesifik, praktik keseharian umat Islam di Aceh tentu berbeda dari muslim Jawa atau Bali dan seterusnya.
Kedua, umat Islam terbagi dalam berbagai kelompok yang berbeda-beda. Dan, di situlah relevansi wanita patut disorot. Pascatragedi 11/9, prioritas utama dunia adalah memerangi terorisme. Dan, fokus saat ini adalah cara mendistorsi ajaran Islam. Penggunaan kekuatan militer besar-besaran dalam menaggulangi terorisme akan berdampak sangat terbatas. Akhirnya, tantangan yang harus dilakukan adalah cara mengubah pola pikir yang telah terinternalisasi selama berabad-abad.
Itu merupakan ritme kemasyarakatan yang sudah tertanam mendalam. Dan, apabila perang melawan terorisme ingin mencapai kemajuan berarti, wanita secara umum dan wanita dari kalangan masyakarat muslim khususnya harus didorong untuk menanamkan etos Islam yang liberal serta toleran. Dalam banyak hal, keluarga merupakan madrasah pertama. Wanita memiliki kontribusi yang tidak kecil dalam tahun-tahun dan masa-masa pembentukan individual.
Namun, perubahan-perubahan tersebut harus datang dari dalam. Dan, Ebadi menggarisbawahi spirit itu. Perubahan rezim dalam matriks Islam mungkin mudah. Tapi, perubahan ritme jauh lebih kompleks dan tidak bisa berhasil tanpa wanita. Itulah relevansi anugerah Nobel Perdamaian kepada Ebadi.[]
Dimuat di Jawa Pos, Sabtu, 18 Oktober 2003