Mobil Mewah Anggota Dewan
Mobil Mewah Anggota Dewan. Di sebuah negara yang menganut budaya konsumerisme seperti Amerika Serikat, gaya hidup pejabat yang sederhana tetap lebih mendapat apresiasi dibanding mereka yang hidup mewah.
Oleh A. Fatih Syuhud
Perilaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali jadi perhatian. Kali ini karena perilaku gaya hidup mewah yang dipertontonkan sebagian anggotanya (Jawa Pos, 15/11/2011). Yang pro atau yang merasa menjadi pelaku menganggap bahwa tidak ada yang salah pamer mobil mewah atau rumah mewah selagi semua itu bukan hasil korupsi.
Beberapa bulan yang lalu, saya kedatangan tamu sejumlah aktivis politik sebuah partai. Di tengah perbincangan saya secara eksplisit mengeritik perubahan gaya hidup sejumlah elite politik partai tersebut yang cenderung mewah dan tidak lagi bangga menampakkan kesederhanaan seperti dulu. Sebuah gaya hidup yang tidak berbeda dengan elite partai-partai lain. Sehingga hal itu berdampak pada hilangnya simpati banyak lapisan masyarakat secara signifikan. Jawaban dari mereka sama: selagi harta untuk melakukan kemewahan itu didapat secara halal, tentu tidak masalah. Jawaban normatif semacam ini akan banyak dan sering kita jumpai setiap kita mempertanyakan perilaku pejabat publik. Anehnya, pembelaan itu tidak hanya datang dari para pejabat yang terlibat, tapi juga oleh para anak buah dan pendukungnya.
Padahal, di sebuah negara yang menganut budaya konsumerisme seperti Amerika Serikat, gaya hidup pejabat yang sederhana tetap lebih mendapat apresiasi dibanding mereka yang hidup mewah. Pada pemilu presiden AS tahun 2008, salah satu kelebihan capres Barack Obama dibanding Mc Cain adalah gaya hidup Obama yang sederhana walaupun dia mampu untuk hidup mewah. Salah satu buktinya, menurut media online The Huffington Post, adalah Barack Obama hanya mempunyai satu mobil, dibanding Mc Cain yang memiliki tujuh buah mobil.
Di Amerika, hidup sederhana juga mulai banyak diserukan dan menjadi pilihan hidup para jutawan dan milyarder. Stanley & Danko dalam bukunya The Millionaire Next Door (1998) menuturkan hasil surveinya demikian: “Kalangan jutawan yang hidup glamor sebenarnya mewakili minoritas kecil orang kaya Amerika. Mayoritas hartawan AS memilih pola hidup sederhana. Ciri khas gaya hidup mereka antara lain tidak pernah gonta-ganti mobil kalau yang ada masih berfungsi baik. Tidak memakai baju dan arloji mahal. Dan rumah mereka relatif sederhana dibanding status kekayaan mereka.” Sayangnya, pemberitaan seputar keglamoran yang ditampilkan dalam film dan kalangan selebritis Hollywood tampaknya lebih dominan menempati ruang bawah sadar kita sehingga menjadi mindset dan obsesi yang sulit dihilangkan. Dan perilaku hidup mewah akan semakin besar dampaknya pada bangsa apabila itu dilakukan oleh para pejabat publik.
Terlepas dari kontroversi legal atau tidaknya, halal atau haramnya hidup mewah, setidaknya, ada beberapa dampak yang diakibatkan dari perilaku hedonis para pejabat publik.
Pertama, standar sukses yang artifisial. Tidak sedikit dari masyarakat yang menjadikan pejabat tinggi sebagai role model dan standar sukses. Dan ketika idola mereka mengidentifikasi diri dengan simbol-simbol kemewahan, masyarakat dengan mudah akan berkesimpulan bahwa hidup mewah adalah bagian tak terpisahkan dari suatu kesuksesan. Tak peduli apakah kejujuran dan integritas harus dikorbankan untuk mencapainya.
Kedua, Muhammed Ali, Acting Assistant Director Corrupt Practices Investigation Bureau of Singapore dalam penelitiannya yang berjudul, Eradicating Corruption: The Singapore Experience menulis bahwa hidup mewah menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya korupsi di kalangan pejabat publik. Karena, gaji sebesar apapun tidak akan mampu membiayai gaya hidup mewah yang memang tidak ada standar bakunya. Pada saat yang sama, kesempatan untuk memanfaatkan jabatan cukup terbuka.
Ketiga, minusnya empati pada kaum yang lemah. Dalam sebuah sistem demokrasi seperti Indonesia, DPR dan pejabat publik lain pada dasarnya adalah “pegawai” yang dipilih langsung atau tidak langsung oleh rakyat dari sebuah perusahaan yang bernama Indonesia. Sudah seharusnya kalangan pegawai ini memiliki empati yang besar pada nasib “bos-bos”-nya yang secara ekonomi masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan. Bentuk empati minimal adalah dengan tidak menunjukkan gaya hidup yang sangat kontras dengan kebanyakan rakyat. Sikap empati tinggi dari salah satu calon pimpinan KPK patut ditiru. Pada harian Jawa Pos dia pernah menyatakan bahwa dia selalu naik angkutan umum saat pergi ke kantor walaupun punya mobil. Alasannya,”tidak enak sama tetangga.”
Hidup mewah dari hasil keringat sendiri, bukan hasil korupsi, adalah halal menurut pandangan fiqh (hukum Islam) dan sah secara yuridis formal. Akan tetapi dalam realitas kehidupan keseharian, hidup berdasarkan koridor hukum—hukum positif atau hukum Islam– saja tidak cukup. Ada rambu-rambu etika yang harus dipatuhi untuk menjamin kehidupan yang harmonis antarsesama. Al Ghazali sangat tepat ketika mengatakan man tafaqqaha bila tasawwufin tafassaqa, orang yang cenderung terlalu menyandarkan perilaku pada fiqh tanpa memedulikan tasawwuf, akan mudah jatuh ke lembah dosa. Dalam bahasa yang lebih umum dapat diartikan sebagai “orang yang terlalu berpatokan pada yuridis formal tanpa menghiraukan etika sosial, akan cenderung berperilaku korup.” Karena, menurut saya, hukum adalah minimalis, dan etika moral adalah idealis. Namun, pakar hukum Satjipto Rahardjo tidak sependapat. Baginya, semua itu sudah tercakup dalam hukum.
Hukum, kata Prof. Satjipto Rahardjo dalam Penegakan Hukum Progresif (hal. 253), ada dua aliran: aliran “Minimalis” dan “Idealis”. Aliran Minimalis mengatakan bahwa hukum sudah dijalankan apabila peraturan-peraturan sudah diterapkan sesuai dengan apa yang tercantum di situ. Ini adalah tampang hukum sebagai teknologi. Sedang “Aliran Idealis” berpendapat bahwa menerapkan peraturan begitu saja tidak cukup, melainkan kita juga perlu memikirkan nilai-nilai dan cita-cita yang ingin diwujudkan oleh hukum dan yang tidak mudah dibaca dalam peraturan. Hukum bukan semata-mata teknologi, melainkan sarana untuk mengekspresikan nilai dan moral. Jadi, kalau menurut “Aliran Idealis” apabila korupsi itu perbuatan melanggar hukum, maka segala perilaku yang mengarah pada korupsi, seperti hidup mewah, juga ilegal. []