Buku A. Fatih Syuhud

Visi, pemikiran dan karya tulis A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Menghindari Poligami (1)

Menghindari Poligami. Bolehnya poligami dalam Islam hendaknya tidak dijadikan celah bagi laki-laki untuk menjadikan wanita sebagai permainan belaka. Karena kalau itu yang dilakukan, maka agama hanya dijadikan sebagai tempat mencari legalitas minimal dan melupakan legalitas  dan etika ideal.

Menghindari Poligami (1)
Oleh A. Fatih Syuhud

Dalam QS An-Nisa’ 4:3 Allah berfirman “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,” Ayat ini secara jelas menyatakan bahwa poligami itu dibolehkan dalam Islam. Walaupun di akhir ayat terdapat larangan berpoligami kalau kuatir tidak adil, namun menurut ulama fiqih itu tidak mempengaruhi keabsahan pernikahan.

Walaupun boleh secara syariah, namun bukan berarti harus dilakukan. Poligami tidak sunnah. Bahkan, kalau bisa dihindari kecuali karena sebab-sebab khusus dan atas ijin istri pertama. Karena, pada dasarnya kebolehan tersebut bersifat dispensasi dan itupun suami harus yakin dapat berbuat adil. Ulama menyatakan bahwa hukumnya makruh menikahi dua wanita apabila istri pertama sudah memenuhi segala kebutuhan suami dan dapat menjaga kehormatannya dengan dasar QS An-Nisa’ 4:129 di mana Allah berfirman: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” Dalam sebuah hadits Nabi bersabda: “Barangsiapa beristri dua lalu cenderung pada salah satunya, maka pada hari kiamat separuh tubuhnya akan miring” (HR Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah).

Adapun apabila suami tidak mampu memberi nafkah pada istri kedua atau takut tidak berbuat adil padanya, maka hukumnya haram seperti tersebut dalam akhir ayat QS An-Nisa 4:3 yaitu “…jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” Yang dimaksud dengan adil di sini menurut ulama adalah kesamaan dalam segi makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, giliran dan nafkah. Tidak termasuk sama dalam segi cinta.

Dengan demikian, maka sseorang uami yang menikah dengan hanya satu istri merupakan pilihan utama yang lebih menjamin tercapainya cita-cita suatu perkawinan yaitu sakinah, mawaddah wa rahmah (tentram, kasih sayang dan berkah) dan lebih dianjurkan oleh Islam.

Poligami baru dapat menjadi pertimbangan apabila dalam kasus-kasus khusus seperti (a) istri mandul berdasarkan diagnosa medis sedangkan suami normal; atau (b)  suami memiliki hasrat syahwat (sexual drive) yang tinggi sedangkan istri tidak dapat melayani dengan maksimal karena menderita low libido (tidak ada atau kecil nafsunya), atau sering sakit-sakitan, atau masa haidnya lama sehingga suami tidak bisa menahan diri untuk menunggu masa “liburan” yang terlalu panjang.

Kalau aturan syariah saja cukup ketat dalam mengatur poligami, maka demikian juga menurut aturan hukum negara.  Apalagi bagi mereka yang menjadi pegawai negeri sipil (PNS) terlebih lagi yang bekerja di militer sebagai tentara atau kepolisian. Dari sudut etika sosial kemasyarakatan di Indonesia juga cenderung negatif terhadap orang yang berpoligami terutama di kalangan para wanita.

Di samping itu, ada hal lain yang tak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan saat seorang suami ingin berpoligami yaitu perasaan istri pertama dan anak-anaknya. Seandainya diadakan survei apakah seorang istri rela suaminya menikah lagi, maka hampir pasti jawabannya adalah tidak setuju. Begitu juga anak-anak dari istri pertama. Pertanyaan yang sama tentu dapat diajukan pada suami itu sendiri: sendainya Islam membolehkan istri melakukan poliandri (memiliki lebih dari satu suami) apakah suami pertama akan menyetujui? Tentu jawabnya tidak.  Oleh karena itu, dalam situasi yang normal di mana kehidupan rumah tangga berjalan dengan baik, istri salehah, dan punya anak-anak yang taat, maka tidak ada alasan bagi suami untuk menikah lagi. Namun dalam situasi yang tidak normal, seperti disebutkan di atas, maka dibolehkan bagi seorang suami untuk menikah lagi dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.[]

Menghindari Poligami (1)
Kembali ke Atas