Buku A. Fatih Syuhud

Visi, pemikiran dan karya tulis A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Hukum Cerai Paksa dalam Islam

Hukum Cerai Paksa dalam Islam adalah tidak sah. Kalau memang pemaksaan itu tidak dikehendaki oleh suami dan si pemaksa, baik orang tua atau pihak lain, memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk melaksanakan ancamannya.
Oleh A. Fatih Syuhud

Ada banyak kasus terjadinya cerai paksa di mana suami atau istri dipaksa oleh pihak ketiga untuk menceraikan pasangannya. Pihak ketiga yang melakukan pemaksaan tersebut ada dua macam, pertama, orang tua atau kerabat dekat dari pasangan suami-istri atau orang lain yang memiliki kepentaingan tertentu. Salah satu contoh kasus adalah seperti permasalahan seorang suami yang dipaksa menceraikan istrinya seperti yang disampaikan kepada Konsultasi Islam Al-Khoirot[1] sebagai berikut:

Saya seorang muslim duda tanpa anak, sudah menikah resmi (KUA) dengan seorang muslimah janda dengan dua anak. Kebetulan orang tua saya seorang ulama yang dikenal masyarakat di kota saya. Pada saat menikah memang tidak ijin orang tua saya karena sejak awal orang tua sangat menentang, semenjak mendapat isu dia wanita yang tidak baik.

Sementara saya punya keyakinan dia wanita yang baik dan itu saya rasakan sampai saat ini. Setelah orang tua mengetahui saya menikah, beliau dan saudara saya meminta saya menceraikan istri saya atau dicap durhaka kepada orang tua. Saya sudah berupaya secara halus untuk meyakinkan orang tua dan keluarga bahkan dengan bukti-bukti yang valid, namun mereka bersikeras meminta saya cerai. Saya katakan saya tidak bisa memilih salah satu karena keduanya harus berjalan seiring.

Masalah kedua terjadi di mana suami atau istri dipaksa untuk menceraikan pasangannya karena mendapat ancaman fisik dari pihak ketiga. Misalnya, seorang suami mendapat ancaman akan dibunuh atau dianiaya apabila tidak menceraikan istrinya.

Dalil Perilaku Terpaksa

Allah berfirman dalam QS An-Nahl 16:106 “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)…”[2] Ayat ini secara umum mengakui situasi sulit yang dihadapi orang yang sedang terancam dan karena itu memaafkannya. Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i menyatakan bahwa taqiyah (bersikap pura-pura) itu boleh dalam sejumlah perkara yang asalnya diharamkan apabila dalam keadaan terpaksa dan berada dalam ancaman sebagaimana yang terjadi pada seorang Tabi’in bernama Ata’ bin Abi Robbah.[3] Al-Kayya Al-Harasi memiliki pendapat serupa tentang orang yang menyatakan kufur atau murtad karena berada dalam ancaman tanpa niat dalam hati, maka pernyataannya itu dimaafkan.[4]

Ar-Razi bahkan menyatakan bahwa seorang muslim yang berada dalam ancaman pedang boleh minum alkohol, dan makan babi karena menjaga keselamatan diri itu wajib dengan dasar ada larangan dalam Islam untuk mencelakai diri sendiri.[5]

Demikian juga, Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa orang muslim yang mengakui dirinya kafir karena terpaksa maka ia dimaafkan dan kata-katanya itu tidak membuatnya harus dihukum.[6] Dalam kasus lain, Imam Nawawi mencontohkan seorang yang melakukan sumpah atau kesaksian bohong karena terpaksa, maka ia tidak wajib membayar kafarat atau denda karena sumpahnya orang yang dipaksa itu tidak berkekuatan hukum tetap.[7] Selain itu, ada hadits yang menyatakan bahwa “Sumpah orang yang dipaksa itu tidak dianggap.”[8]

Dalam sebuah hadits Nabi bersabda bahwa Allah memaafkan perilaku seorang yang timbul karena keliru, lupa atau terpaksa.[9]  Dalam hadits lain Nabi bersabda bahwa talak itu tidak terjadi saat ighlaq.[10] Menurut Abu Daud kata ighlaq bermakna marah. Namun menurut Syarbini, makna dari kata ighlaq  adalah ikroh atau terpaksa.[11]

Perceraian Karena Terpaksa

Berdasarkan dalil-dalil nash (teks) yang disebut di atas, maka ulama ahli fiqih madzhab Syafi’i membuat beberapa kesimpulan hukum terkait dengan perbuatan talak yang dilakukan oleh seorang suami yang disebabkan karena paksaan. Imam Syafi’i dalam Al-Umm menyatakan:

والإكراه أن يصير الرجل في يدي من لا يقدر على الامتناع منه من سلطان أو لص أو متغلب على واحد من هؤلاء ويكون المكره يخاف خوفا عليه دلالة أنه إن امتنع من قول ما أمر به يبلغ به الضرب المؤلم أو أكثر منه أو إتلاف نفسه .  فإذا خاف هذا سقط عنه حكم ما أكره عليه من قول ما كان القول شراء أو بيعا أو إقرارا لرجل بحق أو حد أو إقرارا بنكاح أو عتق أو طلاق أو إحداث واحد من هذا وهو مكره فأي هذا أحدث وهو مكره لم يلزمه

 

(… Apabila ia takut ancaman itu akan terjadi padanya kalau tidak melakukan yang diperintahkan oleh si pengancam … seperti talak…, maka statusnya adalah orang yang dipaksa yang tidak terkena sanksi hukum).[12]

Al-Kayya Al Harasi dalam Ahkam al-Quran menyatakan:

إنّ حكم الردّة لا يلزمه… إنّ المشرّع غفر له لما يدفع به عن نفسه من الضرر… واستدلّ به أصحاب الشافعي على نفي وقوع طلاق المُكرَه، وعتاقه، وكل قول حُمل عليه بباطل، نظراً لما فيه من حفظ حقّه عليه، كما امتنع الحكم بنفوذ ردّته حفظاً على دينه

(Hukum murtad tidak dikenakan pada orang yang dipaksa… Allah memaafkan perbuatan haram yang dilakukan untuk menghindari diri dari bahaya. Ulama madzhab Syafi’i mendasarkan dalil pada tidak terjadinya talak suami yang dipaksa… Dan setiap kata yang terkait dianggap batal..)[13]

Syarat Cerai Paksa yang Tidak Terjadi

Sebuah perceraian karena paksaan dianggap tidak terjadi talak apabila sifat pemaksaan dan kondisi yang dipaksa memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a)      Si pemaksa mampu melakukan isi ancamannya tersebut.
b)      Pihak yang dipaksa tidak mampu menolak ancaman tersebut.
c)      Pihak yang dipaksa yakin bahwa si pemaksa akan melaksanakaan ancamannya segera.
d)     Isi ancaman termasuk sesuatu yang membahayakan jiwa, raga atau harta seperti ancaman pembunuhan, pemukulan yang dapat mencederai, pemotongan anggota tubuh, penahanan dalam waktu yang lama, pengambilan atau perusakan harta benda, dan semacamnya.
e)      Isi ancaman berupa sesuatu yang membahayakan pada keluarga dan kerabat seperti akan membunuh atau menyakiti  atau memperkosa anak, istri atau orang tua atau salah satu ahli warisnya.

f)       Ancaman itu bukan sesuatu yang hak.
g)      Pihak yang diancam tidak punya pilihan lain.
h)      Pihak yang dipaksa tidak berniat menceraikan istrinya.[14]

Kesimpulan

Dari poin-poin di atas, maka jelaslah bahwa perceraian yang dilakukan dengan terpaksa dan berada di bawah ancaman yang dapat membahayakan jiwa atau harta diri sendiri atau keluarga dekat termasuk dari talak yang tidak terjadi asalkan tidak disertai niat saat mengucapkan kata cerai tersebut.

Adapun keterpaksaan yang ringan yang tidak membahayakan jiwa, seperti tekanan psikologis dari orang tua, maka kata cerai yang diucapkan tetap terjadi karena dia masih memiliki pilihan untuk tidak melakukannya.[15]

Ini adalah pendapat dari ulama madzhab Syafi’i dan dua madzhab fiqh yang lain yaitu madzhab Maliki dan Hanbali. Sedangkan madzhab Hanafi menganggap talak paksa itu tetap terjadi.[16][]

[1] Konsultasi Islam Al-Khoirot adalah layanan pengabdian masyarkaat yang menerima berbagai keluhan dan pertanyaan berbagai permasalahan agama melalui internet dari umat Islam di seluruh dunia . Layanan ini diberikan oleh PP Al-Khoirot dan diasuh oleh Dewan Pengasuh PP-Alkhoirot.
[2] Teks asal QS An-Nahl :106: من كفر بالله من بعد إيمانه إلا من أكره وقلبه مطمئن بالإيمان
[3] Imam Syafi’I dalam Ahkam al-Quran, II/114-115.
[4] Al-Kayya Al-Harasi dalam Ahkam Al-Quran, III/246.
[5] Fakhru Rozi dalam At-Tafsir Al-Kabir, XX/121.
[6] Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, XII/263.
[7] Abu Syaraf An-Nawawi dalam Al-Majmuk, XVIII/3.
[8] Teks hadits: ليس على مقهور يمين. Sand hadits ini lihat Imam Nawawi, ibid.
[9] Teks hadits riwayat Ibnu Majah sebagai berikut: إن الله وَضع عن أمتي الخطأ، والنسيان، وما استكرهوا عليه
[10] Teks hadits riwayat Abu Daud dari Aisyah hadits no. 2193 sebagai berikut: لا طلاق ولا عتاق في إغلاق
[11] Syihabuddin Ar-Romli dalam Nihayah al-Muhtaj ila Syarhil Minhaj, VI/445.
[12] Imam Syafi’i dalam Al-Umm, III/236.
[13] Al-Kayya Al-Harasi dalam Ahkam al-Quran III/246.
[14] Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj  Vol. VIII/36-37. Lihat juga pada halaman yang sama Hasyiyah Abdul Hamid As-Syarwani  dan Hasyiyah Ibnu Qasim Al-Ubbadi.
[15] Al-Umm, ibid.
[16] Al-Jaziri dalam Al-Fiqh alal Madzahib al-Arbaah, IV/143

*Ditulis untuk Buletin Al-Khoirot Ponpes Al-Khoirot Malang

Hukum Cerai Paksa dalam Islam
Kembali ke Atas