fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Akhlak Rasul

Akhlak Rasul dan Para Sahabat

AKHLAK RASUL DAN PARA SAHABAT

Buku ini diterbitkan oleh Pustaka Al-Khoirot pada akhir 2015 bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad dan Haul Para Pendiri dan Pengasuh Pesantren Al-Khoirot. Buku ini tersedia dalam format cetak dan digital (pdf). Yang berminat dapat menghubungi via email di: info@alkhoirot.com atau HP 0815-5325-6855 (SMS only).

DAFTAR INDEKS

akhlak rasul dan sahabat

  1. PROLOG
  2. NABI MUHAMMAD
    1. MASA KECIL DAN REMAJA
    2. MASA DEWASA
    3. RISALAH KENABIAN
    4. PUTRA PUTRI RASULULLAH
    5. UMMUL MUKMININ (ISTRI-ISTRI NABI)
  3. 10 SAHABAT YANG DIJAMIN SURGA
  4. SAHABAT AHLI HADITS


I. NABI MUHAMMAD

A. MASA KECIL DAN REMAJA

  1. Orang Tua Nabi
  2. Kelahiran Nabi
  3. Ummu Aiman: Ibu Kedua
  4. Halimatus Sa’adiah Ibu Susuan Nabi
  5. Kakek Abdul Muttalib (1)
  6. Abdul Muttalib (2)
  7. Bersama Paman Abu Thalib
  8. Sebagai Penggembala


B. MASA DEWASA

  1. Masa Remaja
  2. Sebagai Pengusaha
  3. Pernikahan dengan Khadijah


D. RISALAH KENABIAN

  1. Diplomasi
  2. Kesabaran Nabi
  3. Hidup Sederhana
  4. Demokrasi


C. PUTRA PUTRI RASULULLAH

  1. Qosim
  2. Abdullah
  3. Ibrohim
  4. Zainab
  5. Ruqoyyah
  6. Ummu Kultsum
  7. Fatimah Az-Zahra


II. UMMUL MUKMININ (ISTRI-ISTRI NABI)

  1. Khadijah binti Khuwailid
  2. Saudah binti Zamʿah
  3. Aisyah binti Abu Bakar
  4. Hafsah binti Umar bin Khattab
  5. Zainab binti Khuzaimah
  6. Hindun binti Abi Umayya (Ummu Salamah)
  7. Zainab binti Jahasy
  8. Juwairiyah binti Al-Harits
  9. Sofiyah bin Huyay
  10. Ramlah binti Abi Sufyan (Ummu Habibah)
  11. Maimunah binti Al-Harits
  12. Mariyah Al-Qibtiyah
  13. Rayhana bint Zayd


III. 10 SAHABAT YANG DIJAMIN SURGA

  1. Abu Bakar Ash-Shiddiq
  2. Umar bin Khattab
  3. Usman bin Affan
  4. Ali bin Abu Thalib
  5. Zubair bin Awwam
  6. Tolhah bin Ubaidillah
  7. Abdurrahman bin Auf
  8. Saad bin Abi Waqqash
  9. Abu Ubaidah bin Jarrah
  10. Said bin Zaid


IV. SAHABAT AHLI HADITS

  1. Abu Hurairah (1)
  2. Abu Hurairah (2)
  3. Abdullah bin Umar
  4. Anas bin Malik
  5. Aisyah binti Abu Bakar
  6. Abdullah bin Abbas
  7. Jabir bin Abdillah
  8. Abu Said Al-Khudri
  9. Abdullah bin Mas’ud
  10. Abdullah bin Amr bin Ash
  11. Umar bin Khattab


Prolog

Kebaikan dan kebajikan dari membaca biografi atau sejarah personal seorang figur publik adalah universal dan diakui tidak hanya oleh Islam tapi juga oleh kalangan cendekiawan dari berbagai latarbelakang budaya, agama dan etnis. Apalagi, kalau tokoh sejarah itu adalah juga seorang Nabi dan Rasul dan para Sahabat yang sebagian dari mereka telah dijamin masuk surga sebelum wafatnya.[1]

Dalam QS Al Ahzab 33:21 Allah berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”  Ayat ini menurut Al-Qurtubi dalam Tafsirnya menunjukkan wajibnya mengikuti perilaku Rasulullah dalam perkara agama dan sunnah meneladaninya dalam persoalan duniawi.[2]

Seorang muslim juga dianjurkan untuk belajar dan meneladani kepribadian Nabi Ibrahim. Dalam QS Al-Mumtahanah 60:4 Allah berfirman, ”Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia..”

Begitu juga, Allah menganjurkan seorang muslim untuk belajar sikap dan akhlak dari para Nabi yang lain sebagaimana disebut dalam QS Shad 38:30 – 48 yang menjelaskan secara ringkas tentang kisah para Nabi terdahulu dari Nabi Daud sampai Nabi Ismail. Sepak terjang mereka dalam berjuang menegakkan kalimat Allah, hambatan yang dialami dan keberhasilan yang dicapai setelah lulus menjalani berbagai ujian yang beraneka ragam model dan bentuknya. Yang menarik dijelaskan juga sisi-sisi manusiawi para Rasul tersebut yang terkadang khilaf secara tak sengaja namun segera memohon maaf atas kesalahan kecil tersebut. Seakan Allah ingin memberikan pelajaran penting pada manusia: bahwa orang yang baik di mata Allah bukan orang yang selalu sempurna 100 persen dan selalu benar dan tanpa salah sedikitpun. Kesalahan itu manusiawi selagi manusia memiliki sensitivitas tinggi untuk menyadari kesalahan itu dan segera memperbaikinya.

Lihat misalnya Nabi Sulaiman yang oleh Allah disebut sebagai “sebaik-baik hamba”[3]. Ia disebut demikian bukan karena tidak pernah salah tapi karena mudah bertaubat atas kesalahannya yang sekecil apapun. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertaubat.”[4] Semua kisah-kisah atau biografi para Nabi dan Rasul ini bertujuan meneguhkan hati dan karakter dan memiliki banyak efek positif lain seperti disebut dalam QS Hud 11:120


وَكُلاًّ نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ

Artinya: Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.

Sahabat Nabi Generasi Terbaik

Dalam sebuah hadits sahih riwayat muttafaq alaih, Nabi menjelaskan tentang tingkatan generasi terbaik Islam:


خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ يَجِيءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ، وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ

Artinya: Sebaik baik manusia ialah orang yang sezaman dengan saya (para shahabat) kemudian generasi yang mengikuti mereka (para Tabi’in) kemudian generasi yang mengikuti mereka dengan baik (Tabi’it Tabi’in), kemudian datang satu kaum dimana persaksian mereka mendahului sumpahnya dan sumpah mereka mendahului persaksiannya.[5]

Imam Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan:


الصَّحِيحُ أَنَّ قَرْنَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الصَّحَابَةُ ، وَالثَّانِي : التَّابِعُونَ ، وَالثَّالِثُ : تَابِعُوهُمْ

Artinya: Yang sahih bahwa  (yang dimaksud) masanya Rasulullah adalah Sahabat, kedua Tabi’in, ketiga Tabi’it Tabi’in.[6]

Apa yang dimaksud hadits “Yang terbaik adalah para Sahabat” memang masih menjadi perdebatan para ulama: apakah meliputi semua Sahabat atau khusus pada Sahabat tertentu saja.  Al-Qurtubi dalam Tafsirnya menjelaskan perbedaan ulama terkait maksud hadits di atas:


وهذا يدل على أن أول هذه الأمة أفضل ممن بعدهم ، وإلى هذا ذهب معظم العلماء ، وإن من صحب النبي – صلى الله عليه وسلم – ورآه ولو مرة في عمره أفضل ممن يأتي بعده ، وإن فضيلة الصحبة لا يعدلها عمل . وذهب أبو عمر بن عبد البر إلى أنه قد يكون فيمن يأتي بعد الصحابة أفضل ممن كان في جملة الصحابة ، وإن قوله عليه السلام : ( خير الناس قرني ) ليس على عمومه بدليل ما يجمع القرن من الفاضل والمفضول .

Artinya: Hadits ini menunjukkan bahwa umat yang paling awal lebih utama dari generasi setelahnya. Ini pendapat mayoritas ulama. Orang yang pernah bersama Nabi dan pernah melihatnya walaupun sekali dalam hidupnya itu lebih utama dibanding orang yang datang setelahnya. Keutamaan bersama Nabi tidak bisa dibandingkan dengan amal. (namun) Abu Umar bin Abdil Bar berpendapat bahwa terkadang orang yang hidup setelah era Sahabat itu lebih utama dibanding Sahabat secara umum. Adapun sabda Nabi “Sebaik-baik manusia adalah pada zamanku” itu tidak berlaku secara umum dengan alasan bahwa pada zaman Sahabat terdiri dari orang yang utama (al-fadil) dan yang diutamakan (al-mafdul).[7]

Apalagi, kalau pendapat Abu Umar dikaitkan dengan sebuah hadits dari Anas bin Malik yang dikutip oleh Al-Baghawi dalam Tafsirnya di mana Rasulullah bersabda:


مثل أمتي مثل المطر لا يدرى أوله خير أم آخره

Artinya: Umatku itu seperti hujan. Tidak diketahui apakah awalnya lebih baik dari yang akhir.[8]

Dan hadits riwayat Abu Umamah yang dikutip Al-Qurtubi dalam Tafsirnya di mana Nabi bersabda:


طوبى لمن رآني وآمن بي ، وطوبى سبع مرات لمن لم يرني وآمن بي

Artinya: Beruntunglah orang yang melihatku dan beriman padaku. Dan beruntung tujuh kali orang yang tidak melihatku dan beriman padaku.[9]

Teladan dan Inspirator Pertama dan Utama

Apapun pendapat yang kita ikuti, satu hal yang pasti bahwa para Sahabat yang dibahas profil singkatnya di buku ini termasuk dari kalangan mereka yang khusus yang pasti menjadi figur-figur muslim terbaik sepanjang zaman sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas. Mereka mulia bukan hanya karena pernah bertemu dan bersama Rasulullah, tapi juga karena mereka adalah ulama, muhaddits, mufassir, dan sebagian dari mereka juga menjadi pejabat tinggi yang dengan semua prestasi dan kesempatan duniawi yang dimiliki tetap menganut  gaya hidup wara’, menjauhi gaya hidup hedonis dan materialistik serta tetap menjaga idealisme Islam tertinggi.  Mereka adalah sosok figur terbaik setelah Rasulullah. Mereka terpuji dari perspektif syariah dan bijaksana dari sudut pandang sosial dan politik. Oleh karena itu, sosok mereka, di samping figur Rasulullah tentunya, adalah sangat layak untuk menjadi inspirator pertama dan utama bagi semua umat Islam sebelum kita mengambil inspirasi dari siapapun tokoh dunia dan tokoh nasional maupun tokoh lokal yang hidup di zaman kini dan zaman lampau.

Tidak sedikit dari kalangan generasi muda terpelajar yang setelah mereka sukses mencapai tahap pendidikan tingkat tinggi justru mengalami penurunan kadar keimanan dan keislaman dan menjadi agnostik (tidak peduli agama). Salah satu sebab utama karena yang menjadi inspirator pertama dan utama mereka bukanlah Rasulullah dan para Sahabat, melainkan kalangan tokoh-tokoh non-muslim baik kalangan filsuf, negarawan, sastrawan dan lainnya yang sama sekali tidak memberi suri tauladan perilaku islami. Membiasakan anak didik untuk membaca biografi Rasulullah, para Sahabat, para cendekiawan muslim klasik dan modern menjadi kewajiban orang tua dan seluruh kalangan edukator muslim baik guru, ustadz, dosen, kyai, habaib, buya, tuan guru, tokoh masyarat dan lainnya.[]

Referensi:

[1] Lihat, “10 Sahabat yang Dijamin Surga” pada Bab 3 buku ini.

[2] Muhammad bin Ahmad Al-Anshari dalam Tafsir Al-Qurtubi, hlm. 14/144.

[3] QS Shad 38:30

[4] QS Shad 38:34

[5] Riwayat Bukhari no.2652, Muslim no. 2533 dari Abdullah bin Masud

[6] Imam Nawawi dalam Syarah An-Nawawi ala Muslim, hlm. 16/85.

[7] Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurtubi dalam Tafsir Al-Qurtubi, hlm. 4/163.

[8] Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi, Tafsir Al-Baghawi, hlm. 2/92

[9] Al-Qurtubi, ibid.

Kembali ke Atas