Buku A. Fatih Syuhud

Visi, pemikiran dan karya tulis A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

10 Pembatal Keislaman Wahabi (1): Syirik

Syirik Pembatal Keislaman

Syirik Pembatal KeislamanDoktrin Wahabi Salafi: 10 Pembatal Keislaman (1): Syirik
Oleh: A. Fatih Syuhud

Perbedaan dan persamaan definisi dan pengertian syirik menurut Ahlussunnah Wal Jamaah dan Wahabi Salafi

Selain doktrin tauhid rububiyah uluhiyah[1] dan akidah al-wala’ wal bara’[2] sebagai penyebab ekstrimisme kalangan Wahabi Salafi, yang ketiga adalah doktrin nawaqidh al-Islam al-ashrah atau 10 pembatal keislaman. Kalau dua doktrin pertama diciptakan oleh Ibnu Taimiyah  dan disebarkan oleh Muhammad bin Abdil Wahab, maka doktrin ketiga ini diciptakan langsung oleh pendiri gerakan Wahabi, Muhammad bin Abdil Wahhab.

Dalam Al-Muallafat, Ibnu Abdil Wahhab menyebutkan ada 10 pembatal keislaman,  yaitu (a) syirik atau menyekutukan Allah dalam ibadah termasuk menyembelih bukan karena Allah seperti menyembelih karena jin atau kuburan  berdasarkan pada QS An-Nisa 4:116[3]; (b) Orang yang menjadikan perantara antara dia dan Allah. Berdoa dan meminta syafaat pada mereka; (c) Orang yang tidak mengafirkan orang musyrik, atau ragu kekufurannya atau membenarkan madzhabnya; (d) orang yang berkeyakinan bahwa petunjuk selain Nabi itu lebih sempurna dari petunjuk Nabi atau bahwa hukum selain Nabi itu lebih baik dari hukum Nabi seperti mereka yang lebih mengutamakan hukum taghut atas hukum Nabi; (e) membenci salah satu ajaran Islam walaupun dia mengamalkannya berdasarkan QS Muhammad 47:9[4]; (f) menghina agama, pahala dan siksanya berdasarkan QS At-Taubah 9:65-66[5]; (g) sihir berdasarkan QS Al-Baqarah 2:102[6]; (h) bersekutu dengan orang kafir melawan sesama muslim berdasarkan QS Al-Maidah 5:51[7]; (i) berkeyakinan bahwa sebagian orang tidak wajib mengikuti syariah dan boleh keluar dari syariat sebagaimana Nabi Khidir yang keluar dari syariat Nabi Musa; (f) berpaling dari Islam dengan cara tidak belajar agama dan tidak mengamalkannya berdasarkan QS As-Sajadah 32:22.[8] Inilah 10 poin yang menurut Muhammad bin Abdil Wahab menyebabkan seseorang menjadi kafir atau murtad. Selanjutnya ia menutup pernyataan tersebut dengan kalimat “tidak ada bedanya bagi pelakunya apakah dia main-main atau serius kecuali karena dipaksa.”[9]

Bahwa 10 pembatal keislaman ini merupakan pernyataan Muhammad bin Abdul Wahab itu diakui oleh tokoh-tokoh senior Wahabi Salafi. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menyatakan “Yang paling berbahaya dan sering terjadi adalah 10 perkara yang membatalkan keislaman sebagaimana disebut oleh Syaikh Imam Muhammad bin Abdil Wahab.”[10] Sholeh bin Fauzan Al-Fawzan berkata: “Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab telah menyebut 10 pembatal keislaman. Ia adalah sebuah makalah tersendiri yang dicetak dan diterbitkan oleh Majmuah Al-Tauhid.”[11] Muhammad Sholeh Al-Munajjid bahkan menyatakan “10 pembatal keislaman yang disebut oleh Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahab semuanya ijmak ulama kecuali satu yaitu sihir. Karena dalam soal ini ada rincian hukumnya. Namun sebagian bentuknya disepakati ulama membatalkan keislaman.”[12]

Doktrin 10 pembatal keislaman ini cukup kontroversial di mata ulama Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) dan sangat berbahaya karena di dalamnya terdapat nada pengkafiran pada sesama muslim yang tidak mengikuti ajaran Wahabi. Sehingga doktrin ini dipakai oleh kalangan radikal sebagai alasan legal untuk memerangi saudaranya sesama muslim yang sudah dianggap murtad atau keluar dari Islam.

Menurut Abdul Haq Al-Shanaybi, seorang pakar gerakan Islam radikal Timur Tengah, doktrin ini menjadi kutipan favorit kelompok ISIS (Islamic State in Iraq and Syam). Mereka mencetak 10 poin akidah ini dalam format stiker atau banner dan menempelkannya di mobil dan dinding rumah sebagai propaganda akidah dan untuk mendapat legitimasi teologis.[13] Artinya, ia menjadi alat kalangan teroris muslim untuk menjustifikasi perbuatan mereka dalam membunuh sesama muslim yang telah dianggap kafir.

Haram Mengkafirkan Sesama Muslim

Kesalahan Ibnu Abdil Wahab yang pertama dan sangat fatal dalam kasus ini adalah mengkafirkan (takfiri) pada sesama muslim atas perbuatan yang hukumnya masih menjadi masalah khilafiyah di kalangan ulama.  Ali Al-Qari[14] dalam Syarah Al-Syifa mengingatkan cara bersikap yang benar dalam menilai perbuatan seorang muslim: “Ulama menyatakan: Apabila ada 99 pendapat yang mengindikasikan kafirnya seorang muslim namun ada satu pendapat yang menyatakan keislamannya maka hendaknya bagi mufti dan hakim untuk mengambil pendapat yang satu tersebut. Ini berdasarkan pada sabda Nabi: ‘Hindari memberi had (hukuman) semampumu. Apabila terdapat jalan keluar, maka bebaskan dia. Imam yang salah dalam memaafkan itu lebih baik daripada salah dalam menghukum.”[15]

Menilai seorang muslim sebagai kafir atau syirik hanya dibolehkan pada kesalahan yang disepakati ulama (ijmak) atas kekufurannya.  Nabi bersabda: “Siapapun yang berkata pada saudaranya, ‘Hai kafir!’ maka tuduhan itu kembali pada salah satunya apabila ia sebagaimana yang dikatakan. Apabila tidak, maka tuduhan itu kembali pada penuduh.”[16] Salah satu maksud hadits ini, menurut Imam Nawawi adalah haramnya mengkafirkan sesama muslim.[17]

 

Perbuatan Ibadah yang Berakibat Syirik

 

Poin pertama dari 10 pembatal keislaman menurut Wahabi adalah syirik (menyekutukan Allah dengan yang lain).[18] Ulama sepakat bahwa syirik adalah dosa terbesar dalam Islam sebagaimana tersebut dalam QS An-Nisa’ 4:116. Syirik besar menyebabkan seorang muslim keluar dari Islam. Namun harus dipahami lebih dahulu apa yang dimaksud syirik.  Menurut Imam Nawawi, “syirik dan kufur terkadang memiliki satu arti yaitu kufur pada Allah. Terkadang makna keduanya berbeda. Menurut pendapat kedua, syirik adalah menyembah berhala dan benda-benda lain disertai pengakuan si pelaku atas adanya Allah sebagaimana kaum kafir Quraisy. Dalam konteks ini, maka kufur lebih umum dari syirik.”[19]  Definisi syirik dan kufur sebagaimana penjelasan Imam Nawawi jelas disepakati oleh semua ulama.

Namun, menurut Ibnu Abdil Wahab, syirik tidak hanya itu. Termasuk syirik adalah berdoa pada mayit, meminta tolong pada mayit (istighotsah), bernadzar dan menyembelih untuk selain Allah, misalnya untuk jin atau kuburan (para awliya). Pernyataan ini cukup membingungkan: apakah maksudnya adalah menyembelih tanpa menyebut nama Allah; atau menyembelih hewan dengan nama selain Allah; atau menyembelih dengan nama Allah tapi dengan tujuan untuk selain Allah? Ini secara implisit diakui oleh kalangan ulama Wahabi.  Oleh karena itu, Ibnu Utsaimin menjelaskan maksud ucapan ini sebagai berikut: “Menyembelih hewan ada tiga macam (a) untuk tujuan ibadah yakni untuk mengagungkan dan mendekatkan diri dengan cara yang syar’i. Ini hanya dilakukan pada Allah. Selain itu hukumnya syirik besar; (b) untuk memuliakan tamu atau walimatul urs, ini wajib atau sunnah; (c) untuk tujuan menikmati dagingnya atau diperdagangkan. Hukumnya boleh.”[20] Apabila mengikuti penjelasan Ibnu Utsaimin ini, maka sembelihan yang berakibat syirik, versi Wahabi, terjadi apabila penyembelihan itu bertujuan atau bermaksud sebagai ibadah atau mendekatkan diri pada selain Allah.

Madzhab Maliki tidak sepakat, menurut madzhab Maliki apabila saat menyembelih disebut nama Allah dan pelaku (Ahli Kitab) berniat menghadiahkan untuk berhala sebagaimana sebagian muslim yang menyembelih untuk dihadiahkan pada para wali (awliya) maka dagingnya boleh dimakan tapi makruh.[21]

Imam Nawawi dalam Syarah Muslim berkata “Apabila penyembelihan (yang menyebut nama selain Allah) itu dimaksudkan untuk mengagungkan dan ibadah pada selain Allah, maka itu berakibat kufur. Apabila penyembelih itu seorang muslim, maka ia murtad.”[22] Pernyataan Imam Nawawi di sini yang perlu digarisbawahi adalah “apabila ada niat ibadah pada selain Allah”. Menurut ulama Aswaja, perbuatan ibadah yang dilakukan pada selain Allah tapi tidak ada niat ibadah, maka hukumnya tidak syirik karena tidak adanya niat ibadah tersebut.  Seperti sujudnya malaikat pada Nabi Adam. Sujud termasuk perbuatan ibadah tapi tidak ada niat malaikat untuk beribadah padanya. Maka, sujud para malaikat tidak dianggap syirik.

Abdul Aziz Al-Dahlawi dari madzhab Hanafi menyatakan: “Tawaf (berputar) di kuburan orang soleh atau orang wali adalah bid’ah karena tidak ada pada zaman sebelumnya. Hanya saja ada perbedaan pendapat apakah haram atau boleh? Sebagian berpendapat boleh, yang benar tidak boleh karena menyerupai orang kafir yang mengelilingi berhala. Juga, tawaf tidak disyariatkan kecuali di Ka’bah. Oleh karena itu, menyerupakan kuburan orang soleh dengan Ka’bah itu tidak baik. Namun, pendapat yang mengafirkan orang yang mengamalkannya dan mengeluarkannya dari Islam itu pendapat yang sangat buruk. Begitu juga, mengafirkan itu sangat buruk bagi mukaffir (yang mengafirkan).[23]

Kesimpulan penting dari soal syirik ini adalah bahwa apa yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Wahab tentang perkara yang dianggap syirik adalah masalah khilafiyah di kalangan ulama. Ini berlawanan dengan apa yang dikatakan salah satu ulama Wahabi yang menyatakan bahwa kesepuluh pembatal keislaman itu sudah disepakati oleh ulama  (ijmak).[24] Pernyataan ini tidak benar. Sebagaimana diuraikan di atas, satu poin pertama saja sudah menunjukkan bahwa soal ini adalah masalah khilafiyah di antara ulama. Dan di mana ada masalah khilafiyah ulama, maka tidak ada seorang pun yang berhak untuk menyatakan seakan-akan itu hukum yang pasti. Sebagaimana disebutkan dalam kaidah fikih: “Kesepakatan ulama menjadi hukum yang pasti, sedangkan perbedaan ulama menjadi rahmat yang luas.”[25] Yang dimaksud rahmat yang luas adalah bolehnya orang awam untuk mengambil salah satu pendapat khilafiyah dan anjuran bagi yang lain untuk menghormati pilihan orang lain yang tidak sama dengan pendapat kita.[]

Footnote

[1] A. Fatih Syuhud, “Beda Tauhid Ahlussunnah dan Salafi Wahabi: Uluhiyah Rububiyah”, fatihsyuhud.net

[2] A. Fatih Syuhud, “Al-Wala’ wal Bara’”, fatihsyuhud.net.

[3] QS An-Nisa’ 4:116 “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” Teks asal: إِنَّ اللَّـهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ

[4] QS Muhammad 47:9 “Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Quran) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” Teks asal: ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزَلَ اللَّـهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

[5] QS At-Taubah 9:65-66 “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” Teks asal: وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّـهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ .لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

[6] QS Al-Baqarah 2:102 “sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” Teks asal: وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ

[7] QS Al-Maidah 5:51 “Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” Teks asal: وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

[8] QS As-Sajadah 32:22 “”

[9] Muallafat Muhammad bin Abdil Wahhab, hlm. 5/212-214; Muhammad bin Abdil Wahab, Nawaqidh Al-Islam, Majmuah Tauhid.

[10] Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Nawaqidh Al-Islam, hlm. 1. Teks asal: ومن أخطرها وأكثرها وقوعا عشرة نواقض ذكرها الشيخ الإمام محمد بن عبد الوهاب

[11] Sholeh bin Fauzan Al-Fawzan, “Ma Hiya Nawaqidh Al-Islam?”, islamway.net.

[12] Shaleh Al-Munajjid, “Nawaqidh Al-Asyrah Mujma’ Alaiha”, islamqa.info.

[13] Abdul Haq Al-Shanaybi, “Awqifu al-Dima’ Iktasyifu Ibna Taimiyah wa Ibna Abdil Wahab”, hibapress.com.

[14] Ali Al-Qari (wafat, 1606 M/1014 H) seorang ulama ahli fiqih (al-faqih) madzhab Hanafi, ahli hadits (muhaddits) dan ahli qira’ah (al-muqri’). Ia dikenal sebagai ulama yang wara’ dan zuhud.

[15] Ali Al-Qari dalam Syarah Al-Syifa, hlm. 2/499. Teks asal:  قال علماؤنا، إذا وجد تسعة وتسعون وجها تشير إلى تكفير مسلم ووجه واحد إلى إبقائه على إسلامه فينبغي للمفتى والقاضي أن يعملا بذلك الوجه، وهو مستفاد من قوله عليه السلام: ادرءوا الحدود عن المسلمين ما استطعتم، فإن وجدتم للمسلم مخرجا فخلوا سبيله، فإن الأمام لأن يخطئ في العفو خير له من أن يخطئ في العقوبة. رواه الترمذي والحاكم

[16] Hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim (muttafaq alaih). Teks asal: أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلا رَجَعَتْ عَلَيْهِ

[17] Abu Syaraf Al-Nawawi, Syarah Muslim, hlm. 2/238. Teks asal: معناه رجعت عليه نقيصته لأخيه ومعصية تكفيره معناه فقد رجع عليه تكفيره ; فليس الراجع حقيقة الكفر بل التكفير ; لكونه جعل أخاه المؤمن كافرا ; فكأنه كفر نفسه ; إما لأنه كفر من هو مثله ، وإما لأنه كفر من لا يكفره إلا كافر يعتقد بطلان دين الإسلام

[18] Muhammad bin Abdil Wahab, Nawaqidh Al-Islam, loc.cit.Teks asal poin pertama dari 10 poin fatwa Ibnu Abdil Wahab: الشرك في عبادة الله تعالى ومن ذلك دعاء الأموات، والاستغاثة بهم، والنذر والذبح لهم كمن يذبح للجن أو للقبر.

[19] Abu Syaraf Al-Nawawi, op.cit, hlm. 2/56. Teks asal: الشرك والكفر قد يطلقان بمعنى واحد وهو الكفر بالله تعالى ، وقد يفرّق بينهما فيخص الشرك بعبدة الأوثان وغيرها من المخلوقات مع اعترافهم بالله تعالى ككفار قريش فيكون الكفر أعم من الشرك

[20] Ibnu Utsaimin, “Syarh Al-Ushul Al-Tsalatsah”, Majmuk Al-Fatawa, hlm. 6/63.

[21] Abrdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh alal Madzahib Al-Arba’ah, hlm. 2/28. Teks asal: أما إذا ذكر اسم الله عليها وقصد إهداء ثوابها للصنم كما يذبح بعض المسلمين للأولياء فإنها تؤكل مع الكراهة

[22] Abu Syaraf An-Nawawi, op.cit., hlm. 6/475. Teks asal: فَإِنْ قَصَدَ مَعَ ‏ذَلِكَ تَعْظِيم الْمَذْبُوح لَهُ غَيْر اللَّه تَعَالَى وَالْعِبَادَة لَهُ كَانَ ذَلِكَ كُفْرًا ، فَإِنْ كَانَ الذَّابِح ‏مُسْلِمًا قَبْل ذَلِكَ صَارَ بِالذَّبْحِ مُرْتَدًّا

[23] Abdul Aziz Al-Dahlawi, Al-Fatawa Al-Aziziyah.

[24] Muhammad Shaleh Al-Munajjid, loc.cit.

[25] Ibnu Qudamah,  Al-Mughni, hlm. 1/29. Teks asal: اتفاق العلماء حجة قاطعة و اختلافهم رحمة واسعة

10 Pembatal Keislaman Wahabi (1): Syirik
Kembali ke Atas