Buku A. Fatih Syuhud

Visi, pemikiran dan karya tulis A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Zainab binti Muhammad Rasulullah

Zainab binti Muhammad Rasulullah*
Oleh A. Fatih Syuhud

Zainab merupakan putri tertua Nabi Muhammad dari istri pertamanya yaitu Sayyidah Khadijah. Zainab lahir pada tahun kelima pernikahan Nabi saat beliau berusia 30 tahun, atau 10 tahun sebelum diutusnya Muhammad sebagai Rasulullah, tepatnya pada tahun 600 Masehi. Zainab tidak berumur panjang. Pada tahun 629 Masehi atau tahun 8 Hijriah, putri Nabi ini wafat pada usia 29 tahun. Walaupun demikian, Zainab menjadi saksi sejarah masa transformasi ayahnya: dari sosok biasa menuju kenabian.

Walaupun hidup di lingkungan keluarga berada, Zainab tidaklah hidup bermanja-manja. Ia biasa membantu tugas ibu dalam melakukan aktivitas rutin rumah tangga. Dari merawat rumah sampai mengasuh adik-adiknya yaitu Ruqoyah, Ummu Kultsum dan Fatimah. Makanya tak heran kalau Fatimah menganggap Zainab sebagai ibu keduanya.

Pada usia remaja, Zainab dipinang oleh Abul Ash bin Rabi yang tak lain adalah sepupunya sendiri, putra dari bibinya yang bernama Halah binti Khuwailid yang merupakan saudara kandung dari Khadijah. Menikah dengan kerabat dekat seperti sepupu dan mindoan (dua pupu) dan seterusnya menjadi tradisi di kalangan bangsa Arab dan hal itu terus berlaku sampai saat ini. Di mana Islam tidak melarang perkawinan antar kerabat asal bukan mahram. Yang dimaksud mahram adalah seperti saudara kandung dan anak dari saudara kandung. (Daftar kerabat yang mahram dapat dilihat dalam QS An-Nisa 4 :23).

Ketika Muhammad diangkat sebagai Rasul pada usia 40 tahun, Zainab menjadi salah satu tokoh yang masuk Islam paling awal. Sedangkan suaminya masih enggan mengikutinya. Walaupun berbeda agama, Zainab tetap bersama suaminya karena memang saat itu belum ada aturan syariah yang melarang suami-istri tidak seagama untuk hidup bersama. Bahkan, saat ayahnya hijrah ke Madinah, Zainab tetap berada di Makkah bersama suami dan anak-anaknya yaitu Ali dan Umamah.

Saat perang Badar terjadi di Madinah antara muslim dan kafir Makkah pada tahun kedua Hijrah atau 624 Masehi, kaum kafir kalah telak dan yang masih hidup menjadi tawanan pasukan muslim. Salah satu tawanan itu adalah Abul Ash, suami dari Zainab, menantu Nabi. Zainab lalu mengirim kalung pengantin hadiah ibunya sebagai tebusan untuk pembebasan suami. Rasulullah meneteskan air mata karena beliau tahu pemilik kalung itu adalah putrinya yang begitu mencintai suaminya.

Umat Islam sepakat untuk mengembalikan kalung itu kepada Zainab dan sekaligus membebaskan Abul Ash. Kepulangan suaminya disambut gembira dan bahagia sekaligus kesedihan oleh sang istri. Bahagia karena suaminya menjadi manusia bebas. Tapi juga sedih karena di luar dugaan ternyata Abul Ash menceraikannya atas perintah dari Rasulullah setelah turunnya wahyu yang melarang wanita muslimah hidup bersama sebagai suami istri dengan pria kafir (QS Al-Mumtahanah 60:10 dan Al-Baqarah 2:221).

Betapapun mendalam cinta Zainab pada suaminya, namun dia rela bercerai dengan suami demi mentaati aturan syariah tersebut. Sejak saat itu, Zainab dipulangkan ke orang tuanya dan tinggal bersama Nabi di Madinah.

Kisah Zainab dan suaminya yang tetap non-muslim ini menjadi pelajaran berharga bagi setiap wanita muslimah saat ini: bahwa betapa pun besarnya cinta seorang wanita muslimah pada sosok pria idamannya, iman dan Islam hendaknya tetap menjadi prioritas utama dalam memilih calon pasangan. Kesamaan aqidah harus menjadi tolok ukur pertama dalam memilih suami dan rela menceraikan suami apabila di tengah jalan ternyata sang suami berubah agama alias murtad.

Hidayah datang pada setiap individu pada waktu dan momen yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi kejiwaan setiap orang. Ada yang datang dan dapat menerima kebenaran dengan cepat, namun ada juga yang baru bisa menerimanya setelah begitu lama menimbang-nimbang. Itulah yang terjadi pada Abul Ash. Lima tahun setelah perceraiannya dengan Zainab yakni pada tahun ketujuh Hijriah, akhirnya Abul Ash memutuskan untuk memeluk Islam. Dengan demikian, maka tidak ada lagi halangan untuk menyatukan cintanya kembali dengan Zainab. Ia pun hijrah ke Madinah dan kembali rujuk dengan Zainab pada tahun yang sama.

Pada tahun kedelapan hijriyah, yakni setahun setelah kedua pasangan ini baru menikmati kebersamaan mereka kembali, Zainab binti Rasulullah wafat meninggalkan suami dan dua orang putra yang bernama Ali dan Umamah. Ali meninggal ketika masih kanak-kanak dan Umamah tumbuh dewasa dan kemudian menikah dengan Ali bin Abi Thalib. setelah wafatnya Fatimah Az Zahra. Abul Ash sendiri wafat menyusul istrinya tercinta pada tahun ke-12 hijriah.[]

*Ditulis untuk Buletin El-Ukhuwah Ponpes Putri Al-Khoirot Malang

 

Zainab binti Muhammad Rasulullah
Kembali ke Atas