Buku A. Fatih Syuhud

Visi, pemikiran dan karya tulis A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Ummu Aiman: Ibu Kedua Nabi

Ummu Aiman: Ibu Kedua Nabi ^
Oleh: A. Fatih Syuhud

Nabi memiliki perawat atau baby sitter sejak kecil yakni sejak wafatnya Ibu Nabi, Aminah, pada saat usia Nabi menginjak 6 tahun. Namanya Ummu Aiman. Nama lengkapnya Ummu Aiman Barokah binti Tsalabah bin Amr bin Hishn Al-Habasyiah. Ia seorang wanita berkulit hitam berasal dari Habasyah atau Abisinia yang sekarang disebut Etiopia. Ummu Aiman adalah seorang hamba sahaya milik ayah Nabi yaitu Abdullah bin Abdul Muttalib.

Selain merawat Nabi, ia juga menjadi pengasuh Nabi sampai berusia dewasa. Itulah sebabnya Rasulullah pernah menyebut Ummu Aiman sebagai ibu kedua. Dalam sebuah hadits Nabi bersabda: “Ummu Aiman adalah ibuku setelah ibuku (yang asli).” (Al-Isti’ab, 4/1794). Dan saat Nabi menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, Ummu Aiman dimerdekakan secara penuh oleh Nabi. Rasulullah lalu menikahkan Ummu Aiman dengan Ubaid bin Al-Haris Al-Khazraji dan memiliki satu anak bernama Aiman. Dari putra pertamanya inilah ia mendapat julukan (Arab, kuniyah) Ummu Aiman. Setelah suaminya wafat dan habis masa iddahnya, Nabi bersabda: “Barangsiapa yang ingin menikah dengan wanita ahli surga, maka nikahilah Ummu Aiman.” (Al-Tabaqat Al-Kubro, 8/224). Ia lalu dinikahi oleh Zaid bin Harisah dan memiliki putra bernama Usamah bin Zaid. Usamah ini di kemudian hari dipercaya Rasulullah untuk memimpin pasukan besar memerangi kerajaan Romawi saat baru berusia 17 tahun dan memenangkan perang.

Mengapa Ummu Aiman disebut Nabi sebagai ahli surga? Karena Ummu Aiman merupakan wanita yang beriman dan berilmu. Ia baik perilaku dan hatinya. Dan seorang perempuan yang baik selalu mudah untuk menerima kebenaran dan susah melakukan kejahatan atau dosa. Itulah sebabnya tidak sulit baginya untuk menerima Islam segera setelah Muhammad diangkat Allah menjadi Nabi dan Rasul-Nya yang terakhir. Ia bersama Khadijah istri Nabi, Ali bin Abu Thalib dan Zaid bin Haritsah termasuk di antara sedikit orang yang masuk Islam pada awal Nabi mendeklarasikan kerasulannya. Dan keislamannya itu tidak setengah-setengah. Ia masuk Islam secara total, mengikuti perintah dan menjauhi larangannya serta selalu belajar memperdalam Islam dengan tekun langsung dari Rasulullah dan dari para Sahabat.

Itulah sebabnya ia termasuk salah satu dari perawi hadits Nabi pada kurun pertama hijriah. Ia telah meriwayatkan sejumlah hadis dari Rasulullah dan juga meriwayatkan biografi Nabi. Dengan demikian, Ummu Aiman termasuk dari kalangan Sahabat perempuan yang juga menjadi ulama ahli hadits.

Ummu Aiman tidak hanya berilmu. Tapi juga siap berkorban untuk Islam. Dalam catatan sejarah, setidaknya ada tiga perang yang diikutinya dan turut berkontribusi di dalamnya. Salah satunya adalah perang Uhud di mana dalam perang ini ia bersama para wanita yang lain membantu pasukan Islam menyediakan minuman, mengobati yang luka, dan lain-lain. Ummu Aiman juga hadir dalam perang Khaibar dan Hunain, dua peperangan yang diikuti Rasulullah. Dalam perang Hunain inilah suami pertamanya, Ubaid Al-Khazraji gugur sebagai syahid.

Pengorbanan Ummu Aiman tidak sampai di sini. Sebelumnya, ia juga dua kali melakukan hijrah. Yakni ke Habasyah atau Abisinia dan kemudian ke Madinah. Saat perjalanan hijrah ke Madinah Allah memuliakannya dengan kejadian yang langka. Saat itu, Ummu Aiman menginap di daerah Munsharif. Ia merasa sangat haus tapi tidak ada air. Padahal saat itu ia sedang puasa. Tiba-tiba ada wadah air mendekat padanya dari langit. Ia mengambilnya dan meminumnya sampai puas. Ia berkata: “Setelah kejadian itu aku tidak pernah lagi merasa haus”.(Hadits riwayat Ibnu Saad dari Usman bin Qasim). Perlu diketahui bahwa kedua perjalanan hijrah itu dilakukan Ummu Aiman dengan berjalan kaki, tanpa bekal dan dalam keadaan berpuasa serta dalam situasi cuaca yang sangat panas. Dari sini dapat tergambar kesabaran, ketabahan dan keteguhan hati Ummu Aiman dalam menghadapi cobaan. Dan itu sudah terbukti ketika suami pertamanya wafat saat perang Hunain. Dan suami keduanya, Zaid bin Harisah, juga mati syahid saat perang Mu’tah.

Nabi juga sering memuji kepribadian, keislaman dan pengabdiannya pada Islam dan pada Nabi. Dalam sebuah hadits Nabi bersabda: “Ia termasuk Ahlul Bait-ku.” (Al-Tabaqat Al-Kubro, 8/223). Rasa sayang dan hormat Nabi yang tinggi tampak dari cara Nabi memanggilnya dengan sebutan “Ya Ummah” Wahai Ibuku. (Nawawi, Tahdzibul Asma wal Lughat).

Kisah Ummu Aiman di atas memberi pelajaran berharga pada kita bahwa: a) Islam memuliakan siapapun yang bertakwa dan berbudi luhur tanpa melihat asal status sosial atau warna kulit; b) Islam menghinakan siapapun yang tidak taat pada syariah Allah setinggi apapun status sosialnya di dunia; c) Ilmu dan iman dapat menghantar seseorang pada kemuliaan di dunia dan akhirat.[]

^Ditulis untuk Buletin EL-UKHUWAH Ponpes Putri Al-Khoirot Malang

Ummu Aiman: Ibu Kedua Nabi
Kembali ke Atas