Buku A. Fatih Syuhud

Visi, pemikiran dan karya tulis A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Terorisme Islam: Fitnah atau Realitas?

Terorisme Islam: Fitnah atau Realitas? Banyak umat Islam yang melakukan self-denial dengan menolak kenyataan bahwa ada sebagian elemen radikal dalam tubuh umat yang rela mengkafirkan sesama muslim, membunuh manusia tak berdosa atas nama agama tak peduli yang dibunuh sesama muslim atau kafir; tak peduli apakah korban yang tewas itu pasukan militer atau sipil, wanita atau anak-anak. Dalam diri umat ini ada aliran radikal yang bernama Wahabi dan menyebut dirinya dengan Salafi, dan populer disebut dengan Salafi Wahabi. Mereka adalah neo-khawarij baru yang rela membunuh dan menghabisi nyawa orang lain atas nama penafsiran ekstrim agama yang mereka yakini. Lebih buruk lagi, ajaran sesat Wahabi Salafi menyebar luas di Indonesia dan negara Islam lain berkat bantuan finansial dari pemerintah Arab Saudi. Baik bantuan langsung pada berbagai lembaga dan pesantren bermanhaj Wahabi atau dengan cara memberikan beasiswa penuh pada generasi muda Islam untuk belajar di berbagai perguruan tinggi negeri di Arab Saudi atau cabangnya di Indonesia. Ketika selesai studi dan pulang ke negara masing-masing, mereka akan menjadi mubaligh, ustad dan dai Wahabi yang setia dan berkomitmen tinggi untu menyebarkan ajaran Muhammad bin Abdul Wahab sang pendiri ajaran Wahabi.
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Al-Khoirot Edisi Mei 2011
Ponpes Al-Khoirot Malang

Pada hari Sabtu 7 Mei 2011 saya kedatangan dua orang tim redaksi Buletin Sidogiri yang hendak mewawancarai saya seputar terorisme dan Islam. Isu terorisme semakin hangat akhir-akhir ini seiring dengan terbunuhnya Usamah bin Ladin di tangan pasukan khusus AS, Navy Seals pada 2 Mei 2011. Di mata Amerika dan internasional, Usama bin Ladin dianggap sebagai ikon terorisme global.

Tulisan berikut secara substantif sama dengan respons saya saat wawancara dengan Buletin Sidogiri tersebut.

Definisi Terorisme

Secara sederhana terorisme dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang memakan banyak korban jiwa dan kerusakan dari pihak sipil yang dilakukan oleh pihak non-negara baik itu perseorangan atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu yang biasanya bersifat politis atau ideologis.

Definisi tersebut sebenarnya mengandung kontroversi terutama berkaitan dengan perjuangan kelompok yang sedang berada di bawah penjajahan negara lain seperti Palestina. Namun secara umum definisi tersebut diterima semua pihak.

Dari definisi tersebut maka kejahatan dan kekerasan yang dilakukan oleh negara, seperti Israel terhadap rakyat Palestina, tidak disebut aksi terorisme. Walaupun tetap disebut sebagai kejahatan yang dilakukan oleh oknum dalam negara tersebut yang apabila terbukti dapat diadili oleh Mahkamah Internasional.

Istilah Terorisme Islam

Istilah terorisme Islam atau Islamic terrorist mengacu pada aksi terorisme yang dilakukan oleh kelompok atau perseorangan yang kebetulan seorang muslim. Istilah ini banyak mengundang protes umat Islam karena mengandung unsur labeling atau generalisasi yang berkonotasi negatif dan salah: bahwa semua umat Islam adalah teroris. Generalisasi cenderung berakibat prejudice yang naif. Namun, istilah itu sering dipakai oleh media internasional sayap kanan untuk mendistorsi citra Islam sebagai agama yang pro-kekerasan.

Yang patut dipertanyakan juga adalah apabila media dengan ringan memakai istilah teroris Islam, mengapa mereka tidak pernah memakai label yang sama untuk aksi terorisme yang dilakukan oleh umat Kristen, Hindu, Budha dan Komunis sebagai teroris Kristen, teroris Hindu, teroris Budha dan teroris Komunis?

Penggiringan Opini Media

Betulkah ada aksi teror di Indonesia yang dilakukan oleh orang muslim? Apakah ada kemungkinan rekayasa pihak-pihak tertentu? Pertanyaan ini agak menggelikan tapi dapat dimaklumi.

Tidak sedikit dari umat Islam yang percaya pada teori konspirasi. Bahwa terorisme yang terjadi di Indonesia sebenarnya dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dalam negara yang ingin mendistorsi citra Islam. Asumsi itu seandainya pun benar tidak akan menghilangkan fakta bahwa para pelaku terorisme di Indonesia mayoritas dilakukan oleh individu muslim. Hal ini berdasarkan fakta- hukum dan pengakuan para teroris itu sendiri di pengadilan. Kalau toh ada campur tangan pihak-pihak tertentu, pastinya itu dalam level yang tidak signifikan atau di belakang layar, seperti penyuplai dana atau pembuat skenario. Namun, untuk menjadi pelaku yang rela bunuh diri diperlukan alasan ideologis yang kuat dan ekstrim di atas kepentingan ekonomi dan politis para pelaku bom teror bunuh diri itu.

Karena itu, asumsi ada penggiringan opini yang dilakukan media saya kira kurang tepat. Terutama, dalam konteks Indonesia di mana mayoritas media di Indonesia dimiliki oleh muslim kecuali sebagian yang berada di bawah Kompas group. Tugas media adalah memberitakan fakta. Dan adalah juga fakta bahwa dalam 20 tahun terakhir aksi terorisme mayoritas dilakukan oleh individu yang dalam KTP-nya beragama Islam.

Ideologi Jihad dan Ideologi Wahabi

Apa yang membuat para calon pengantin—istilah untuk calon pelaku teror bunuh diri—itu tersenyum saat disyuting untuk terakhir kalinya sebelum melakukan aksi bunuhdirinya adalah motivasi ideologis. Mereka termakan oleh doktrin jihad yang salah. Mereka mengira bahwa jihad dapat dilakukan kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja. Padahal dalam kitab-kitab fiqh klasik jelas ada aturan tertentu kapan jihad itu dapat dilakukan dan siapa yang dapat mengeluarkan fatwa jihad.

Dalam Fiqhul Jihad karya Syaikh Yusuf Qardhawi ditegaskan bahwa jihad dalam Islam adalah bersifat defensif (mempertahankan diri) saat diserang oleh kekuatan luar. Bukan ofensif atau menyerang saat situasi keamanan kondusif.

Akan tetapi, Islam membolehkan perbedaan dalam menafsiri Al Quran dan Hadits. Dan opini yang diikuti oleh para teroris itu adalah opini kelompok garis keras dalam Islam. Yakni, kelompok Wahabi atau Salafi. Kelompok ini mendapat dana besar dari pemerintah Arab Saudi untuk menyebarkan pahamnya di seluruh dunia. Termasuk di Indonesia.

Di Indonesia, mereka menyebarkan pahamnya dengan melalui khutbah, ceramah dan penguasaan masjid dan musholla.

Apa yang Harus dilakukan umat?

Ini pertanyaan penting. Dan jawabannya, salah satunya, terletak pada mengatasi sumber masalah. Yakni, persempit ruang gerak kelompok garis keras di Indonesia. Jangan membiarkan mereka menguasai masjid dan musholla milik NU atau Muhammadiyah.

Kedua, kutuk setiap tindakan terorisme yang dilakukan oleh muslim atau non-muslim. Pesantren harus membuat garis batas yang jelas dengan kalangan teroris. Bahwa pesantren bukan bagian dari mereka dan tidak bersimpati pada mereka.

Ketiga, jadikan sikap moderat dalam Islam bagian dari kurikulum pesantren dan sekolah formal. Saya melihat ada sebagian buku kurikulum agama di MTs dan MA yang isinya berbau paham Wahabi yang mudah memberi label syirik atau kufr pada saudarnya sesama muslim. Buku-buku kurikulum agama seperti itu juga harus ditinjau ulang agar benih-benih Wahabi yang ditanam di mana-mana itu tidak sampai tumbuh subur dan menjadi teror-teror bunuh diri berikutnya.

Keempat, laporkan ke pihak yang berwajid apabila ada kalangan mubaligh atau khatib yang menganjurkan kekerasan. Begitu juga apabila ada orang baru di sekitar kita yang gerak-geriknya mencurigakan. Dengan demikian, ruang gerak teroris akan menjadi semakin sempit dan insyaalah akan hilang dari bumi nusantara ini.

Umat Islam memiliki banyak tugas ke depan untuk memajukan bangsa dan agama antara lain dengan meningkatkan kualitas pendidikan, keahlian dan kualitas keimanan.[]

Terorisme Islam: Fitnah atau Realitas?
Kembali ke Atas