Buku A. Fatih Syuhud

Visi, pemikiran dan karya tulis A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Pernikahan Beda Agama dalam Islam

Pernikahan Beda Agama dalam Islam Secara umum, Allah melarang perkawinan campur antar dua orang yang berbeda agama sebagaimana tersurat dalam QS 2:221. Namun, ada pengecualian dalam hal perempuan Ahli Kitab yang menikah dengan laki-laki muslim. Yang dimaksud Ahli Kitab adalah pemeluk agama Nasrani dan Yahudi. Kendatipun dibolehkan, Imam Syafi’i menganjurkan untuk tidak menikah dengan wanita non-muslim karena potensi konflik rumah tangga secara sosial dan psikologis.
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Al-Khoirot
Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang

Perkawinan merupakan salah satu institusi sosial yang dianggap sangat penting dalam Islam. Melalui perkawinan keberlanjutan generasi akan berjalan. Dan lewat lembaga perkawinan pendidikan dan penanaman keimanan Islam terhadap generasi muda akan ditanamkan. Oleh karena itu, Al-Quran dan hadits Nabi membuat petunjuk yang sangat jelas bagaimana sebuah perkawinan itu hendaknya dilakukan. Salah satu yang terpenting adalah bahwa seorang pria muslim hendaknya memilih calon pasangan yang seiman dan seagama. Tujuannya adalah untuk mencapai kesamaan dalam banyak hal termasuk dalam mendidik anak-anak kelak. Namun demikian, dalam kondisi tertentu Islam membolehkan seorang laki-laki muslim menikahi wanita non-muslim.

Pria Muslim dan Wanita Non-Muslim (Yahudi Nasrani)

Secara umum, Allah melarang perkawinan campur antar dua orang yang berbeda agama. Dalam QS 2:221 Allah berfirman “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” [1]

Namun dalam ayat lain Allah membuat suatu pengecualian di mana Islam mengijinkan seorang laki-laki muslim menikahi wanita Yahudi atau Nasrani yang salihah menurut standar agamanya. Dalam QS Al Maidah 5:5 Allah berfirman: “(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.”[2] Orang Nasrani dan Yahudi dikecualikan dari orang musyrik yang lain karena masih ada kesamaan kedua agama tersebut dengan Islam.

Al Husain bin Mas’ud Al-Baghawi dalam Tafsir Al Baghawi saat menafsiri QS 5:5 menerangkan kesepakatan ulama atas bolehnya pria muslim menikahi wanita Yahudi dan Nasrani walaupun terjadi ikhtilaf atau perbedaan pendapat tentang apakah kebolehan tersebut khusus wanita nonmuslim yang shalihah saja atau umum.[3]  Namun demikian, perlu diingat bahwa anak-anak hasil perkawinan campur harus dididik secara Islam. Dan bahwa wanita nonmuslim yang boleh dinikah hanyalah yang beragama Nasrani atau Yahudi sedang wanita nonmuslim yang lain tidak boleh dinikah sebagaimana dengan tegas disebutkan dalam QS 2:221.

Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi (Imam Nawawi), salah satu ulama paling otoritatif dalam fiqih madzhab Syafi’i, dalam kitab Raudhatut Talibin (Kitab NIkah) VII/136 membagi non-muslim menjadi 3 (tiga) dan perbedaan hukum terhadap ketiganya dalam soal nikah sebagai berikut:

الكفار ثلاثة أصناف .

أحدها : الكتابيون ، فيجوز للمسلم مناكحتهم ، سواء كانت الكتابية ذمية أو حربية ، لكن تكره الحربية ، وكذا الذمية على الصحيح ، لكن أخف من كراهة الحربية . والمراد بالكتابيين : اليهود والنصارى . فأما المتمسكون بكتب سائر الأنبياء الأولين ، كصحف شيث وإدريس وإبراهيم وزبور داود صلوات الله وسلامه عليهم ، فلا تحل مناكحتهم على الصحيح .

الصنف الثاني : من لا كتاب له ولا شبهة كتاب ، كعبدة الأوثان والشمس والنجوم والمعطلة والزنادقة والباطنية والمعتقدين مذهب الإباحة وكل مذهب كفر معتقده ، فلا تحل مناكحتهم .

الصنف الثالث : من لا كتاب لهم ، لكن لهم شبهة كتاب وهم المجوس . وهل كان لهم كتاب ؟ فيه قولان . أشبههما : نعم ، وعلى القولين لا تحل مناكحتهم ، لأنه لا كتاب بأيديهم ، ولا نتيقنه من قبل ، فنحتاط . وقال أبو إسحاق وأبو عبيد بن حربويه : يحل إن قلنا : كان لهم كتاب ، وهذا ضعيف عند الأصحاب .

Artinya: Orang kafir ada tiga macam. Satu, ahli kitab. Maka boleh bagi pria muslim menikahi mereka. Baik ahli kitab dzimmi atau harbi. Akan tetapi makruh menikahi wanita ahli kitab harbi. Menurut qaul sahih, menikahi wanita ahli kitab dzimmi juga makruh akan tetapi makruhnya lebih ringan daripada makruhnya harbi. Yang dimaksud dengan ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani. Adapun mereka yang menganut agama dan berpedoman pada kitab nabi-nabi yang lain seperti kitab nabi Sith, Idris, Ibrahim, Daud, maka tidak halal menikahi mereka menurut pendapat yang sahih.

Kedua, orang kafir yang tidak memiliki kitab yaitu penyembah berhala, matahari, bintang, dll maka tidak boleh menikahi mereka.

Ketiga, nonmuslim yang tidak punya kitab. Tapi mempunyai keserupaan dengan kitab seperti kaum Majusi. Ada dua pendapat tentang boleh tidaknya menikahi wanitanya. Yang sahih haram menikahi mereka.

Pernyataan dari Imam Nawawi di atas jelas menegaskan bolehnya menikahi wanita Nasrani dan Yahudi tanpa syarat apapun. Artinya, baik wanita Nasrani yang dulu atau yang sekarang. Baik kitabnya masih asli atau tidak.

Perlu juga diketahui, bahwa kitab Yahudi dan Nasrani sudah tidak asli lagi sejak dahulu jauh sebelum turunnya Al-Qur’an. Hal itu disebut secara terang benderang dalam Al-Quran. Lihat misalnya QS Al-Baqarah 2:79; Ali Imran 3:71, 78, 79, 187, ; An-Nisa’ 4:44, 46; Al-Maidah 5:13, 41.

Wanita Muslimah dengan Laki-laki Non-Muslim

Berbeda dengan pria muslim yang boleh menikahi wanita nonmuslim, wanita muslimah dilarang menikahi laki-laki nonmuslim secara mutlak apapun agamanya baik Yahudi, Nasrani apalagi pemeluk agama yang selain kedua agama samawi tersebut. Hal itu jelas tersurat dalam QS 2:221 dan menurut Al-Baghawi larangan wanita muslimah menikahi laki-laki nonmuslim adalah ijmak (kesepakatan) seluruh ulama.[4] Dengan demikian maka apabila terjadi perkawinan campur semacam itu, hukumnya tidak sah.

Alasan pelarangan tidak dijelaskan secara detail di dalam Al-Quran kecuali bahwa hal itu akan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi keluarga. Di samping itu, dalam Islam maupun dalam agama lain suami adalah pemimpin rumah tangga sehingga apabila kendali rumah tangga diserahkan kepada nonmuslim, maka tentunya seluruh keluarga, anak dan istri, akan mengikuti kendali suami. Itu juga yang menjadi salah satu alasan mengapa kawin beda agama itu dibolehkan bagi pria muslim, tidak bagi wanita muslimah.

Wali Nikah Wanita Non-Muslim

Dalam Islam salah satu hal yang sangat prinsip dalam perkawinan adalah adanya wali nikah bagi calon pengantin perempuan. Dalam perkawinan antar agama, maka wali nikah yang berhak menikahkan mempelai adalah sama dengan wali nikah yang muslim yaitu ayah, kakek dan saudara kandung atau seayah, keponakan, paman, dan seterusnya sebagaimana disebut dalam urutan laki-laki kerabat yang berhak menjadi wali nikah.[5]

Apabila tidak ada wali kerabat atau yang ada tidak bersedia menikahkan maka wali hakim berhak menikahkan. Hal ini berdasar kaidah umum yang bersumber dari sebuah hadits Nabi yang mengatakan bahwa “penguasa adalah wali nikah dari orang yang tidak punya wali”.[6]  Wali hakim yang dimaksud dalam konteks Indonesia adalah pejabat pemerintah yang membidangi masalah perkawinan yaitu pejabat KUA, modin desa, dan lain-lain. Termasuk dalam wali hakim juga adalah imam masjid, ahli agama yang dipercaya.

Dalam hal perkawinan antar sesama muslim namun wali nikahnya nonmuslim, maka hak menikahkan berpindah ke wali hakim karena orang kafir tidak berhak menikahkan kerabatnya yang muslim.[7]  Al Mawardi mengungkapkan argumennya mengapa laki-laki non-muslim tidak boleh menjadi wali nikah perempuan muslimah sbb:

وأصل ذلك أن اتفاق الدين شرط في ثبوت الولاية على المنكوحة ، فلا يكون الكافر وليا لمسلمة ولا المسلم وليا لكافرة : لقوله تعالى : ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا [ النساء : 141 ] وقوله أيضا : لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء بعضهم أولياء بعض [ المائدة : 51 ] فدلت هاتان الآيتان على أن لا ولاية لكافر على مسلمة ، وقال تعالى : والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض [ التوبة : 71 ] فدل على أن لا ولاية لمسلم على كافرة ، ولأن النبي صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يتزوج أم حبيبة بنت أبي سفيان ،  وكان أبوها وإخوتها كفارا ، وهي مسلمة مهاجرة بأرض الحبشة ، تزوجها من أقرب عصباتها من المسلمين ، وهو خالد بن سعيد بن العاص ، فدل على انتقال الولاية بالكفر عمن هو أقرب إلى من ساواها في الإسلام ، وإن كان أبعد ، فلأن الله تعالى قد قطع الموالاة باختلاف الدين ، فلم تثبت الولاية معه كما لم يثبت الميراث

 

Dari uraian singkat ini dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama dalam Islam walaupun dibolehkan dalam kasus yang khusus tapi hendaknya menjadi pilihan terakhir karena berpotensi memiliki resiko sosial yang dapat mengancam keutuhan, keharmonisan dan kesinambungan rumah tangga. Karena, Islam lebih menyukai terjalinnya sebuah pernikahan berdasarkan pada kesamaan iman. []

[1] وَلَا تَنكِحُوا۟ الْمُشْرِكٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا۟ الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا۟ ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُو۟لٰٓئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّـهُ يَدْعُوٓا۟ إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِۦ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

[2] وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا۟ الْكِتٰبَ مِن قَبْلِكُمْ

[3] ختلفوا في معنى ” المحصنات ” فذهب أكثر العلماء إلى أن المراد منهن الحرائر ، وأجازوا نكاح كل حرة ، مؤمنة كانت أو كتابية ، فاجرة كانت أو عفيفة ، وهو قول مجاهد

[4] Al Husain bin Masud Al Baghawi, Tafsir Al Baghawi, قوله تعالى : ( ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ) هذا إجماع : لا يجوز للمسلمة أن تنكح المشرك

[5] Imam Nawawi dalam Raudatut Talibin  menerangkan: لطرف الثاني : في ترتيب الأولياء ، فتقدم جهة القرابة ، ثم الولاء ، ثم السلطنة . ويقدم من القرابة الأب ، ثم أبوه ، ثم أبوه ، إلى حيث ينتهي ، ثم الأخ من الأبوين ، أو من الأب ، ثم ابنه وإن سفل ، ثم العم من الأبوين ، أو من الأب ، ثم ابنه وإن سفل ، ثم سائر العصبات . والترتيب في التزويج ، كالترتيب في الإرث ، إلا في مسائل

[6] Hadits riwayat Abu Daud dari Ummu Habibah: السلطان ولي من لاولي له

[7] Al Mawardi dalam Al Hawi al Kabir fi Fiqhi Madzhabil Imam as-Syafi’I  mengatakan: ا فلا يكون الكافر وليا لمسلمة ولا المسلم وليا لكافرة

Pernikahan Beda Agama dalam Islam
Kembali ke Atas