Buku A. Fatih Syuhud

Visi, pemikiran dan karya tulis A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Aspirasi Negara Islam di Indonesia

Aspirasi Negara Islam. Masih perlukah umat Islam menginginkan negara Islam yakni suatu negara dengan sistem syariah Islam secara penuh sementara muslim bebas melakukan dan mengamalkan ajaran agamanya tanpa harus merubah sistem negara?
Oleh A. Fatih Syuhud
Juga dimuat di Buletin Al-Khoirot
Ponpes Al-Khoirot Malang

I. Neo NII / NII KW 9

Pada awal tahun 2000-an sebuah koran bernama Galamedia sering mengekspos sebuah topik berita yang tidak umum pada saat itu: adanya gerakan Neo NII yang menamakan dirinya dengan NII Komandemen Wilayah 9 atau disingkat dengan NII KW 9. Pada saat itu, NII KW 9 sudah merasuki kawasan kampus-kampus di Bandung dan Jakarta. Menurut laporan koran tersebut pada Februari tahun 2000, tak kurang dari 200 mahasiswa ITB yang terancam drop out (DO). Mereka mengalami kemerosotan prestasi akademis, dan malah diam-diam meninggalkan bangku kuliah, sambil menunggak SPP. Mereka disinyalir terlibat kegiatan NII.[1]

NII KW 9 adalah sempalan dari NII Kartosoewirjo yang tamat seiring dengan wafatnya pendirinya di depan regu tembak pada September 1962.

NII KW 9 adalah sosok organisasi kontroversial yang mengklaim mewakili atau meneruskan gerakan NII Kartosuwiryo. Namun banyak simpatisan NII Kartosuwiryo yang membantah hal tersebut. Mereka beanggapan NII KW 9 tak lebih dari gerakan Islam sesat yang memiliki motif ekonomi dan/atau politis dan karena itu menghalalkan berbagai macam cara untuk mencapai tujuan.[2] Beberapa kesesatan yang paling fundamental adalah ajaran NII KW 9 yang membolehkan para pengikutnya untuk melawan orang tua, meninggalkan keluarga, mencuri, mabuk, dan berzina. Soal dosa, bisa diurus tobatnya oleh sang imam.[3]

Terlepas dari kontroversi menyangkut NII KW 9, gerakan yang dipimpin oleh Abu Toto Syekh A.S. Panji Gumilang ini mempunyai anggota yang cukup besar. Menurut Solahudin, seorang peneliti Darul Islam/NII, saat ini ada sekitar 151.000 orang yang menjadi anggota tetap NII KW 9. Ini merupakan faksi NII terbanyak di antara 14 faksi NII yang ada.[4]

NII Kartosuwiryo dan Negara Islam

 

Semua kontroversi aktual seputar NII KW 9 bagaimanapun tidak terlepas dari akar sejarah masa lalu. Yakni adanya NII atau Negara Islam Indonesia yang didirikan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (1905-1962) pada 7 Agustus 1949.

Gerakan ini bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya NII menyatakan bahwa hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah hukum Islam. Dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa “Negara berdasarkan Islam” dan “Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits”. Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk memproduksi undang-undang yang berlandaskan syari’ah Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur’an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan “hukum kafir”, dengan merujuk pada Al Qur’an Surah Al-Maidah 5:145.

Bentuk asli proklamasi NII adalah sebagai berikut:

PROKLAMASI

Berdirinja NEGARA ISLAM INDONESIA

Bismillahirrahmanirrahim Asjhadoe anla ilaha illallah wa asjhadoe anna Moehammadar Rasoeloellah

Kami, Oemmat Islam Bangsa Indonesia MENJATAKAN:

Berdirinja”NEGARA ISLAM INDONESIA”

Maka hoekoem jang berlakoe atas Negara Islam Indonesia itoe, ialah: HOEKOEM ISLAM

Allahoe Akbar! Allahoe Akbar! Allahoe Akbar!

Atas nama Oemmat Islam Bangsa Indonesia

Imam NEGARA ISLAM INDONESIA

Ttd

(S M KARTOSOEWIRJO)

MADINAH-INDONESIA, 12 Sjawal 1368 / 7 Agoestoes 1949

Gerakan NII Kartosuwiryo pada dasarnya mewakili sebuah mimpi sebagian umat Islam Indonesia untuk mendirikan sebuah negara yang berbasiskan syariat Islam. Banyak cara telah dilakukan untuk mewujudkan mimpi itu. Mulai dari yang konstitusional dengan mendirikan partai berbasis Islam, sampai cara-cara yang sangat ekstrim dengan melakukan upaya-upaya kekerasan yang umum dikenal dengan istilah terorisme.

Semua itu memunculkan sejumlah pertanyaan: kenapa sebagian umat begitu ingin mendirikan negara Islam? Betul-betul perlukah mendirikan negara Islam di Indonesia? Negara Islam seperti apa? Negara Islam secara total atau cukup penegakan hukum-hukum syariah seperti di Aceh dengan sistem negara tetap demokratis? Kalau toh dianggap perlu mendirikan negara Islam, kapan waktu yang ideal dan bentuknya seperti apa?

II.

Negara Islam Kontemporer

Saat ini ada empat negara yang menyebut dirinya sebagai negara Islam. Negara-negara ini memakai istilah republik Islam (al jumhuriyah al islamiyah atau Islamic Republic) yaitu Pakistan, Iran, Afghanistan, dan Mauritania. Arab Saudi disebut juga sebagai negara Islam karena mengimplementasikan sebagian hukum syariah walaupun negara ini bersistem monarki.

Pakistan mengadopsi nama republik Islam di bawah konstitusi tahun 1956. Mauritania memakai nama ini pada 28 November 1960. Iran memberlakukan nama ini setelah revolusi Iran pada 1979 yang berhasi melengserkan dinasti Pahlevi. Sedang Afghanistan memakai istilah ini di sejumlah kawasan yang dikuasai Taliban antara tahun 1992 sampai dengan 2001. Istilah republik Islam tetap dipakai Afghanistan pasca tahun 2001 sejak terjungkalnya rezim Taliban. Kendati memakai nama yang serupa negara-negara tersebut memiliki perbedaan menyolok dalam tata cara pemerintahan maupun hukum yang diberlakukan.[5]

Istilah negara atau republik Islam secara faktual memiliki makna yang berbeda-beda, bahkan terkadang saling kontradiktif. Bagi sebagian pemikir muslim di Timur Tengah dan Afrika yang mendukung istilah ini, republik Islam adalah sebuah negara yang berada di bawah bentuk pemerintahan teokrasi. Mereka melihat bentuk ini merupakan bentuk kompromi antara bentuk murni Khilafah Islam, dan nasionalisme sekuler dan republikanisme. Dalam pandangan mereka tentang konsepsi republik Islam, hukum negara harus sesuai dengan hukum syariah, dan negara tidak boleh berbentk monarki seperti negara-negara Timur Tengah saat ini.

Pada kasus lain, pemakaian istilah republik Islam tak lebih dari simbol identitas budaya, seperti dalam kasus Pakistan saat mengadopsi istilah ini. Banyak pemikir muslim yang berpendapat bahwa istilah Republik Islam adalah jalan tengah antara bentuk pemerintahan yang murni sekuler dan yang murni teokrasi.[6]

***

Pakistan

Pakistan adalah negara pertama pasca Perang Dunia II yang memproklamirkan diri sebagai negara Islam setelah negara ini memperoleh kemerdekaannya dari imperialisme Inggris pada 1947. Kendatipun konsekuensi logis dari sebuah negara yang berasaskan Islam adalah mengimplementasikan hukum syariah, namun faktanya tidak ada satupun hukum syariah yang masuk menjadi bagian dari hukum positif Pakistan.[7] Ironisnya, saat Presiden Zia Ul Haq berencana hendak memberlakukan hukum syariah pada tahun 1988, mayoritas partai politik di Pakistan menentangnya.[8]

Oleh karena itu, kendatipun menyandang nama Islamic Republic of Islam, negara ini pada dasarnya tak lebih daripada negara sekuler demokratis biasa yang menganut sistem parlementer. Bahkan dalam perilaku sehari-hari tidak sedikit dari para pejabat dan anggota parlemennya yang sama sekali tidak menggambarkan nuansa Islami. Mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto, umpamanya, yang cara berjilbabnya tak lebih baik dari kalangan artis di Indonesia. Ayahnya Benazir yaitu Zulfikar Ali Bhutto bahkan dikenal sebagai politisi yang suka minum minuman keras. Ali Jinnah, pendiri Pakistan sendiri, adalah seorang muslim Syiah yang sebenarnya jauh dari kesan taat.[9] Dalam konteks Pakistan, berdirinya negara bukanlah berasal dari cita-cita suci. Ia tak lebih dari sebuah balas dendam pendirinya yaitu Ali Jinnah yang didukung penuh oleh penjajah Inggris yang sepakat untuk membagi Hindustan menjadi India dan Pakistan.[10]

Iran

Sejak Revolusi Islam terjadi, pada 1 April 1979 Iran menyebut dirinya dalam bahasa Persia sebagai Jumhuri-ye Islami-ye Iran atau Republik Islam Iran (Islamic Republic of Iran). Sistem politik negara Iran sebagian mengadopsi sistem demokrasi dengan adanya pemilu presiden dan parlemen. Selain itu ada pemimpin tertinggi (supreme leader) yang disebut dengan Pemimpin Revolusi. Pemimpin Revolusi adalah posisi tertinggi dalam pemerintah Iran yang merupakan panglima tertinggi militer, mengontrol intelijen dan operasi keamanan; dan memiliki kekuatan tunggal untuk mendeklarasikan perang atau damai. Setingkat di bawah Pemimpin Revolusi adalah jabatan Presiden.

Ketua Mahkamah Agung, jaringan radio dan televisi, kepala polisi dan militer dan enam anggota Dewan Pengawal (Guardian Council) ditunjuk oleh Pemimpin Revolusi. Sedang Pemimpin Revolusi diangkat oleh Dewan Ahli (Assembly of Experts). Dewan Ahli bertugas mengangkat dan menurunkan Pemimpin Revolusi dan mengawasi tugas kesehariannya. Sementara tugas presiden Iran adalah semua tugas-tugas eksekutif umumnya kecuali yang sudah menjadi tugas dari Pemimpin Revolusi.[11] Dalam bidang hukum, Iran memberlakukan hukum syariah yang disebut dengan Qanon-e Ta’zir dan Qanon-e Qesas.

Mauritania

Negara kecil berpenduduk sekitar 3.291.000 ini mendeklarasikan diri sebagai Republik Islam sejak kemerdekaannya dari penjajahan Prancis pada 1960. Sistem politik negara ini adalah republik dengan partai tunggal. Walaupun Mauritania telah menyatakan diri sebagai republik Islam sejak awal kemerdekaannya, namun baru pada 1985 negara ini menyatakan bahwa syariah adalah hukum negara berdasarkan pada Piagam Konstitusional 1985.

Afghanistan

Sejak tergulingnya Taliban pada 2001, Afghanistan menganut sistem demokrasi presidensial di mana presiden sebagai penguasa eksekutif tertinggi. Presiden dipilih berdasarkan pemilu multipartai. Sejak 2003 Afghanistan mengadopsi konstitusi baru, merubah pemerintahan menjadi republik Islam.

Namun demikian, dalam Konstitusinya, sistem hukum yang dipakai adalah hukum sekuler walaupun dengan catatan tidak boleh bertentangan dengan syariah. Di samping itu pengadilan dibolehkan untuk menggunakan fiqh Hanafi dalam kasus-kasus yang belum ditentukan oleh hukum negara. Begitu juga, apabila pihak yang berperkara adalah kelompok syiah maka diperbolehkan memutuskan dengan hukum Syiah.[12]

Arab Saudi

Arab Saudi tidak pernah menyebut diri sebagai negara Islam. Sistem politik negara adalah monarki absolut dengan atribusi nama pendirinya sebagai nama negara: Al Mamlakatul Arabiyah Assa’udiyah. Di mana keluarga kerajaan mendominasi pemerintahan dari atas sampai bawah. Namun demikian,  keunikan dari negara ini adalah para ulama (Wahabi) mendapat peran penting dalam pemerintahan. Karena itu tidak heran apabila dalam Hukum Dasar Arab Saudi, pada 1992, menyatakan bahwa Quran sebagai konstitusi negara, yang diatur berdasarkan hukum Islam. Hukum Islam yang dimaksud di sini kebanyakan mengacu pada fiqh Hanbali.[13] Namun demikian, dalam sistem pengadilan Arab Saudi Raja tetaplah sebagai hakim tertinggi yang berhak memberi ampunan pada apapun kesalahan yang dilakukan terdakwa.

III

Partai Islam di Indonesia

Pada tahun 1955 Indonesia mengadakan pemilu yang dikatakan banyak pengamat sebagai paling fair dan demokratis pertama kali dan diikuti oleh 29 partai.

No.

Nama Partai

Persentase Suara

1 Partai Nasional Indonesia

22,32 %

2 Masyumi

20,92%

3 Nahdlatul Ulama

18,41%

4 Partai Komunis Indonesia

16,36%

5 Partai Syarikat Islam Indonesia

2,89%

Seperti dapat dilihat dari tabel di atas, ada 3 partai Islam yang masuk 5 besar yaitu Masyumi, NU dan PSII yang kalau ditotal jumlah perolehan suaranya mencapai 42.22%, artinya tidak mencapai 50%. Sementara pemenang nomor 1 dan nomor 4 dipegang oleh PNI dan PKI. Dan yang tak kalah mengejutkan adalah Parkindo (Partai Kristen Indonesia) dan Partai Katolik masing-masing menempati urutan nomor 6 dan 7 dengan perolehan suara 2,66 dan 2,04. Perlu dicatat, bahwa pada saat pemilu 1995 berlangsung, pemberontakan NII (DI/TII) Kartosoewirjo sedang gencar-gencarnya terjadi. [14]

Setelah pemilu 1955 tidak ada lagi pemilu yang dianggap demokratis sampai era reformasi tiba pada 1999 di mana saat itu partai peserta pemilu mencapai 48 partai. Kendati ada rentang waktu 44 tahun antara pemilu pertama dengan pemilu era Reformasi pada 1999, namun yang dominan menduduki 5 besar tidak mengalami banyak perubahan sebagai berikut: [15]

Hasil Pemilu DPR 1999: hanya satu partai Islam yaitu PPP yang masuk 5 besar itupun dengan suara hanya 10%

No.

Nama Partai

Persentase Suara

1 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

33,74%

2 Partai Golongan Karya

22,44%

3 Partai Persatuan Pembangunan

10,71%

4 Partai Kebangkitan Bangsa

12,61%

5 Partai Amanat Nasional

7,12%

Hasil Pemilu DPR 2004: hampir sama dengan hasil tahun 1999. Hanya PPP yang menempati posisi 5 besar.

No

Nama Partai

Persentase Suara

1 Partai Golongan Karya 23,27%
2 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 18,53%
3 Partai Kebangkitan Bangsa 9,45%
4 Partai Persatuan Pembangunan 10,55%
5 Partai Demokrat 10,00%

Hasil Pemilu DPR 2009: ada sedikit peningkatan tapi tidak signifikan. Ada 2 partai Islam yang masuk 5 besar yaitu PKS dan PPP

No

Nama Partai

Persentase Suara

1 Partai Demokrat 20,85%
2 Partai Golongan Karya 14,45%
3 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 14,03%
4 Partai Keadilan Sejahtera 7,88%
5 Partai Persatuan Pembangunan 5,32%

Performa partai-partai Islam semakin lama semakin menurun kalah jauh dari partai nasionalis. Pada pemilu mendatang, partai Islam yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak lagi mengklaim sebagai partai Islam. Dengan demikian, hanya tinggal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menjadi partai Islam satu-satunya yang bertengger di 5 besar. Masih perlu dilihat bagaimana nasib PPP pada pemilu 2014 mendatang.

Banyak faktor –kata sejumlah pengamat politik—yang menjadi penyebab semakin merosotnya pamor dan perolehan partai Islam. Di antaranya, jaringan organisasi kurang solid dan kurang luas; kalah strategi, visi kurang tajam, kurang tepat dalam mengedepankan prioritas program,  terlalu mengedepankan perbedaan furu’iyah, perilaku aktivis partai Islam kurang Islami sehingga diragukan niat tulusnya dan citra anjok, dan lain-lain. Hasyim Muzadi bahkan secara sarkastis mengatakan bahwa (aktivis) partai Islam tidak sesuci ajarannya.[16]

Terlepas dari itu semua, dengan semakin merosotnya pamor partai Islam dengan grafik yang mengkhawatirkan, maka semakin jauh pulalah harapan umat pendukung diberlakukannya hukum syariah di Indonesia. Pertanyaan berikutnya, perlukah negara Islam di Indonesia? Atau dalam pertanyaan ala fiqh: wajibkah kita memiliki negara Islam?

IV

Perlukah Negara Islam?

 

Dalam pandangan Dr. Said Agil Siraj, ketua umum PBNU, negara Islam di Indonesia itu tidak wajib, bahkan tidak perlu. “NU tak basa-basi menyatakan dukungannya terhadap Pancasila. Yang paling tepat kita membentuk negera kebangsaan, negara yang damai atau Darussalam.”

Menurut Agil, Nabi Muhammad tidak mendirikan negara Islam. Tetapi Negara Madinah yang menjunjung tinggi persamaan, keadilan, perdamaian dan kemanusiaan.

“Nabi Muhammad bukan membangun negara Islam, [tetapi negara Madinah yang] penduduknya [terdiri dari] Islam, Kristen, Yahudi, semua sama di mata hukum, tidak dibedakan di mata masyarakat. Piagam Madinah tidak satu pun mengandung kata Islam, yang ada keadilan, kesamaan. Bagi NU, NKRI, Pancasila, itu sudah final, yang paling tepat menurut kita,” tuturnya.[17] Sikap resmi Nahdlatul Ulama yang menolak negara Islam dan menganggap Pancasila bersifat final diprakarsai oleh KH. Ahmad Siddiq dalam muktamar NU ke 26 di Situbondo pada 1984. Keputusan muktamar NU yang dipromotori KH Ahmad Siddiq itu akhirnya mengilhami ormas Islam lainnya menerima azas tunggal Pancasila sebagaimana NU.[18]

Senada dengan Said Agil Siradj adalah Qomaruddin Khan, seorang intelektual muslim Pakistan. Khan berpendapat bahwa “istilah Negara Islam itu sendiri tidak pernah sekalipun dipakai dalam teori dan praktek dalam ilmu poltik Islam sebelum abad ke-20”[19] Ide negara Islam itu sendiri sebenarnya muncul pada abad ke-20 setelah  intelektual muslim bersinggungan dengan Eropa.

Di Indonesia pelopor tidak perlunya negara Islam adalah Nurcholis Madjid yang terkenal dengan jargon: “Islam Yes. Partai Islam No.”

Nurcholis Madjid menganggap aspirasi negara Islam dari sebagian kalangan umat tidak lebih sebagai tendensi apologetik umat saat dihadapkan pada ideologi Barat seperti demokrasi, sosialisme, komunisme dan lain-lain. Apologi ini mengarah pada apresiasi politik ideologi Islam yang pada gilirannya memunculkan keinginan adanya “Negara Islam,” yang serupa dengan negara demokrasi, negara sosialis, negara komunis, dan seterusnya.[20]

Bagi Nurcholis Madjid penggunaan Islam untuk tujuan politis melanggar prinsip pokok teologi Islam yakni tawhid, dengan mencampur keesaan Allah dengan politik duniawi.[21]

Advokat Negara Islam

Banyak yang tidak sepakat dengan adanya negara Islam, namun tidak sedikit pula yang mendukung terbentuknya negara Islam. Berikut beberapa organisasi dan pemikir muslim yang mendukung terbentuknya negara Islam.

Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir percaya bahwa sistem khilafah akan memberikan stabilitas dan keamanan baik pada muslim dan non-muslim di kawasan-kawasan mayoritas muslim. Organisasi yang didirikan oleh Taqiuddin al-Nabhani ini mempromosikan program mendetail untuk institusi khilafah yang akan menegakkan Syariah dan menyebarkan “Da’wah Islam” ke seluruh dunia.[22]

Organisasi yang saat ini memiliki anggota lebih dari 1 juta ini percaya bahwa transformasi politik akan memberikan kepemimpinan yang jujur, perlindungan dan kepedulian pada warga negara dan berjuang melawan “kebijakan kolonial asing” Amerika dan bangsa Barat lain. Hizbut Tahrir bertujuan untuk menyatukan seluruh umat Islam dunia ke dalam satu negara yang disebut khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah.[23]

Ikhwanul Muslimin (IM): Tujuan dari organisasi yang didirikan oleh Hasan Albanna ini adalah untuk menegakkan Qur’an dan Sunnah sebagai “satu-satunya sumber rujukan” untuk mengatur kehidupan individu, keluarga, komunitas muslim dan negara. Dan untuk itu,  mendirikan negara Islam adalah suatu kemestian bagi Ikhwanul Muslimin.[24]

Pemerintahan Islam harus berdasarkan pada Quran dan Sunnah  dan akhirnya bersatu dalam Khilafah. Hassan al-Banna, penggagas IM, menegaskan bahwa tujuan akhir dari gerakan ini adalah untuk mendapatkan kembali kejayaan dan kekuasaan Islam masa lalu yang menyebar dari Spanyol sampai Indonesia.[25]

Namun demikian, seiring dengan dinamika terjadinya revolusi damai di Mesir pada 25 Januari 2011 yang merubah negara piramid ini dari kekuasaan diktator menuju demokrasi, kalangan IM mulai berubah pendirian.

Dr. Mohamed El-Sayed Habib, wakil ketua umum Ikhwanul Muslimin, menyatakan dalam situs resmi IM berbahasa Inggris sebagai berikut (penekanan dari saya):

We believe that the political reform is the true and natural gateway for all other kinds of reform. We have announced our acceptance of democracy that acknowledges political pluralism, the peaceful rotation of power and the fact that the nation is the source of all powers. As we see it, political reform includes the termination of the state of emergency, restoring public freedoms, including the right to establish political parties, whatever their tendencies may be, and the freedom of the press, freedom of criticism and thought, freedom of peaceful demonstrations, freedom of assembly, etc. It also includes the dismantling of all exceptional courts and the annulment of all exceptional laws, establishing the independence of the judiciary, enabling the judiciary to fully and truly supervise general elections so as to ensure that they authentically express people’s will, removing all obstacles that restrict the functioning of civil society organizations, etc.

(Kami percaya bahwa reformasi politis adalah solusi yang benar dan natural untuk segala bentuk reformasi. Kami telah mengumumkan penerimaan kami pada sistem demokrasi yang mengakui pluralisme politik, rotasi kekuasaan yang damai dan fakta bahwa bangsa adalah sumber segala kekuasaan. Menurut pendapat kami, reformasi politik termasuk penghentian keadaan darurat, mengembalikan kebebasan publik, termasuk hak mendirikan partai politik, apapun tendensi politiknya, dan kebebasan pers, kebebasan mengkritisi dan mengungkapkan fikiran, kebebasan demonstrasi damai, kebebasan berkumul, dan lain-lain. Termasuk juga pembubaran pengadilan dan hukum tambahan, membentuk pengadilan independen, memungkinkan pengadilan untuk mengawasi pemilu untuk menjamin bahwa hasil pemilu betul-betul mewakili kehendak rakyat, membuang seluruh kendala yang membatasi berjalannya fungsi organisasi civil society (masyarakat madani), dan lain-lain).[26]

Pernyataan tokoh IM ini jelas merupakan perubahan signifikan dari pandangan pendirinya. Masih perlu dilihat apakah itu merupakan sikap yang tulus dari IM atau hanya sekedar langkahy taktis. Terlepas dari itu semua, perubahan visi organisasi dan haluan politik IM ini akan mempengaruhi kalangan sosial politik di luar IM yang selama ini terinspirasi gerakan IM. Saya kira bukan kebetulan kalau Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam munas terakhir pada 19 Juni 2010 menyatakan perubahan dari partai Islam menjadi partai terbuka.[27] Seperti diketahui, PKS adalah partai yang berasal dari gerakan tarbiyah dakwah kampus yang terinspirasi dari gerakan Ikhwanul Muslimin.

Abul Ala Maududi. Pemikir muslim asal Pakistan ini dianggap oleh banyak kalangan sebagai tokoh yang pertama kali memperkenalkan istilah Negara Islam dan perlunya negara Islam. Jalan pikirannya banyak mempengaruhi Syed Qutb seorang pemikir Mesir dan juga tokoh Ikhwanul Muslimin.

Pemikir Pakistan ini berpendapat bahwa tanpa hukum syariah, umat Islam tidak dapat disebut berperilaku islami.

Jadi, kalau umat Islam secara sadar memutuskan untuk tidak menerima syariah, dan membentuk konstitusi dan hukum sendiri atau meminjamnya dari sumber lain dengan meninggalkan syariah, berarti mereka telah memutuskan hubungan dengan Allah dan tidak punya hak untuk disebut islami.[28]

Hidup ber-Syariah di Alam Demokrasi

 

Dari dua pendapat yang saling kontradiktif di atas, ada seorang filsuf dan intelektual muslim ternama kontemporer bernama Tariq Ramadan yang menawarkan solusi jalan tengah. Tariq Ramadan adalah cucu dari Hasan al-Banna dan saat ini menjadi profesor Islamic Studies di Oxford University, Inggris. Pada tahun 2009, majalah Foreign Policy Amerika menempatkannya dalam ranking nomor 49 di antara 100 intelektual dunia paling berpengaruh.

Dalam bukunya, Islam, the West and the Challenges of Modernity, Ramadan menawarkan solusi untuk bagaimana seorang muslim dapat hidup dalam sistem demokrasi dengan tetap setia pada syariah.

Berikut sejumlah pandangan Tariq Ramadan tentang syariah.

  • Syariah adalah Islam itu sendiri yang bertujuan melakukan transformasi moral dan sosial umat Islam. Oleh karena itu, syariah tidak identik dengan fiqh (hukum Islam). Fiqh hanyalah salah satu bagian kecil dari syariah.[29]
  • Fiqh memiliki peran untuk mencapai tujuan syariah. Akan tetapi transformasi moral dan sosial adalah sebuah proses multidimensi yang tidak akan terpecahkan hanya dengan fiqh.
  • Syariah bertujuan membebaskan umat manusia dari rasa takut pada selain Allah, bukan malah mengekang mereka seperti yang ditunjukkan oleh sebagian penguasa dengan mengatasnamakan syariah.[30]
  • Melaksanakan rukun Islam yang lima adalah wujud pengamalan syariah.
  • Pendidikan dan pencerahan umat sebagai usaha transformasi sosial hendaknya menjadi prioritas utama yang harus didahulukan dari jinayat.
  • Melihat situasi moral dan sosial umat saat ini, maka mengedepankan implementasi hukum hudud dan qisas dan membelakangkan transformasi sosial umat sama dengan memulai sesuatu dari garis finish menuju garis start. Hal ini berlawanan dengan cara dan langkah Nabi dalam membangun umat.[31]
  • Pesan utama Al Quran adalah keadilan sosial yang merupakan prioritas utama jauh di atas aktivitas hukum. Oleh karena itu segala usaha, regulasi, prosedur yang dibuat yang mengarah pada peningkatan dan pembelaan hak-hak dasar umat dan keadilan sosial merupakan aplikasi konkrit dari syariah.[32] Saat Umat bin Khattab baru saja mengganti Abu Bakar sebagai Khalifah kedua, terjadi bencana kelaparan, Umar menunda pelaksanaan hukum potong tangan bagi pencuri sampai masa paceklik itu berakhir. Salah satu bukti bahwa pelaksanaan fiqh sosial (muamalah) dapat ditunda sampai saat yang ideal.[33]

Jadi, dalam pandangan Tariq Ramadan, mencita-citakan sebuah negara yang berlandaskan syariah dalam arti menjadikan hukum fiqh sebagai bagian dari hukum positif negara itu sah-sah saja. Dengan catatan, bahwa hal itu hendaknya dilakukan saat sudah tercapai transformasi sosial dan moral di kalangan mayoritas umat.

Yang dimaksud dengan transformasi sosial termasuk, tapi tidak terbatas pada, meratanya pendidikan, baik formal dan nonformal, meratanya keadilan dan kemakmuran, serta tercerahkannya umat terhadap dasar-dasar wawasan keagamaan.

V

Kesimpulan

Umat Islam diberkahi dengan pola pikir (mindset) terbuka. Yang menganggap perbedaan opini para ulama-nya sebagai rahmat.[34] Setiap individu muslim adalah unik karena ia dilahirkan dalam suatu masa, situasi dan latarbelakang yang tidak sama. Dari perbedaan itu, timbullah perbedaan dalam banyak hal. Berbeda dalam sudut pandang, berbeda dalam menilai baik dan buruk, berbeda dalam menentukan prioritas.

Ijtihad ulama dibolehkan selagi ijtihad itu tidak bertentangan secara pasti dengan nash dan dilakukan oleh mereka yang memang ahli di bidangnya dan dikenal memiliki reputasi yang baik dan komitmen keagamaannya tidak diragukan. Dengan demikian, mengikuti salah satu dari ijtihad itupun juga dibolehkan. Yang terpenting adalah sikap toleran dalam menyikapi perbedaan. Karena toleransi adalah kunci dapat solidnya umat. Begitu juga sebaliknya, sikap intoleransi adalah penyebab utama terpecah-belahnya umat.

Dalam konteks perlunya negara Islam dan implementasi syariah di Indonesia, kita mendapat banyak pilihan yang menurut saya sama-sama sah dalam pandangan syariah. Yang terpenting kita memilihnya dengan hati yang jernih dan pemikiran mendalam dengan mempertimbangkan berbagai aspek maslahahnya. Wallahu a’lam bishshawab.

*Tulisan ini disampaikan pada kuliah umum Tarbiyatul Muallimin Pondok Pesantren Sidogiri pada 11 Juli 2011.

[1] “Mengobok-obok Islam dengan Jubah NII”, Majalah Adil, Februari 2000.

[2] Salah satunya adalah Al Chaidar, penulis buku  Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo. Dalam wawancaranya dengan Detik (27/04/2011)  dia mengatakan bahwa “NII KW 9 adalah program palsu yang dibuat oleh pemerintah. Tujuannya, supaya negara Islam (NII) yang diperjuangkan Kartosoewirjo tidak pernah berhasil berdiri di Indonesia”

[3] ibid. 1.

[4] “NII KW9 Sempat Titipkan Uang ke Bank Century”, Metrotvnews.com, 30 April 2011. Menurut Wagub Jawa Barat, Dede Yusuf, faksi NII banyak tidak hanya empat. Lihat  “Dede Yusuf: Ada Banyak Faksi NII”, Tempointeraktif.com 11 Mei 2011.

[5] Hussin Mutalib and Taj U. Hashmi, Islam, Muslims and the Modern State: Case Studies of Muslims in Thirteen Countries, Palgrave Macmillan, 1996.

[6] M. Nazeer Akhtar, Implementation of Shariah Law in Pakistan, Faculty of Islamic Studies, University of Karachi, 1999, hal. 79.

[7] Ibid., hal. 98.

[8] Ibid., 80.

[9] Aziz Beg, Jinnah and His Times: A Biography, Babur & Amer Publications, 1986.

[10] Rafiq Zakaria, Indian Muslim: Where have they gone wrong?, Popular Prakashan, Mumbai, 2004.

[11] William Roe Polk, Understanding Iran: Everything You Need to Know, from Persia to the Islamic Republic, from Cyrus to Ahmadinejad, Palgrave Macmillan, 2011.

[12] Thomas Barfield, Afghanistan: A Cultural and Political History, Princeton University Press, 2010.

[13] Madawi Al-Rasheed, A History of Saudi Arabia,  Cambridge University Press, 2010.

[14] “Pemilu 1955” dalam Kpu.go.id.

[15] “Pemilu 1999” dalam Kpu.go.id

[16] “Partai Islam Sulit sesuci Ajarannya,” Investor Daily, 4 Januari 2011.

[17] “Said Agil Siradj: Indonesia Bukan Negara Islam,” gp-ansor.org

[18] “Penggagas Asas Tunggal Pancasila, KH Ahmad Siddiq Layak Pahlawan”, gp-ansor.org.

[19]  Qamaruddin Khan, Political Concepts in the Quran, Islamic Book Foundation, Lahore, 1982, hal. 74.

[20] Bahtiar Effendy, “Islam dan Negara di Indonesia: Munawir Sjadzali dan Pengembangan Dasar-Dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, Paramadina dan IPHI,  Jakarta, 1995, hal. 404.

[21] A. Saeed, “Ijtihād and Innovation in Neo-Modernist Islamic Thought in Indonesia”, Islam and Christian-Muslim Relations, Vol. 8, No. 3, 1997, hal. 279-295.

[22] “The Re-establishment of the Khilafah is an obligation upon all Muslims”, khilafah.com.

[23] Karya utama Taqiuddin Nabhani tentang negara Islam dapat dibaca dalam versi bahasa Inggris dengan judul The Islamic State, Al-Khilafah Publications, 1995. Dalam bahassa Arab berjudul Ad-Dawlah al-Islamiyah.

[24] Richard P. Mitchell, The Society of the Muslim Brothers, Oxford University Press, USA, 1993.

[25] Lawrence  Davidson, Islamic Fundamentalism, Greenwood Press, Westport, USA, 1998, hal. 97–98.

[26] ikhwanweb.com/faq.php

[27] “PKS: Jadi Partai Terbuka Adalah Ajaran Islam”, vivanews.com, 19 Juni 2010..

[28] Abul Ala Maudidi, Islamic Law and Its Introduction, Islamic Publications, LTD, 1955, hal.13-4.

[29] Tariq Ramadan, Islam, the West and the Challenges of Modernity, The Islamic Foundation, UK, 2001, hal. 47.

[30] Ibid.

[31] Ibid., 49.

[32] Ibid., 50.

[33] Ibid., 13.

[34] Sebuah kitab fiqh karya Muhammad bin Abdrurrahman Ad-Dimasyqi Al-Utsmany Asy-Syafi’i memiliki judul yang unik yang menggambarkan betapa terbukanya Islam terhadap perbedaan. Perbedaan pendapat para ulama bukan hanya baik, tapi juga membawa rahmat bagi umat karena memberi banyak pilihan. Kitab itu berjudul: رحمة الامة في اختلاف الائمة

============
* Makalah ini disampaikan pada Seminar PP Sidogiri 12 Juli 2011

Aspirasi Negara Islam di Indonesia
Kembali ke Atas